PADA kurun waktu 2010-2014, DPR dan pemerintah telah menyelesaikan pembahasan 114 rancangan undang-undang. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ternyata target penyusunan undang-undang setiap tahunnya tidak pernah mencapai target. Ada apakah gerangan?

Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 Ignatius Mulyono kepada Litbang Kompas menuturkan, setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab kinerja Badan Legislasi DPR tidak pernah mencapai target dalam menyelesaikan penyusunan UU.

Pertama, adanya tugas rangkap anggota Badan Legislasi DPR. Selain bertugas di Badan Legislasi, anggotanya juga bertugas di komisi. Akibatnya, pekerjaan tidak fokus. Kedua, pembahasan RUU dengan pemerintah umumnya alot sekali, satu RUU bisa memerlukan waktu 1-4 tahun. Ketiga, lemahnya kualitas anggota DPR dalam menyelesaikan legislasi.

Oleh karena itu, Badan Legislasi DPR periode 2009-2014 mengusulkan ada Badan Perancang UU yang dibentuk melalui Sekretariat Jenderal DPR. Selain itu, Badan Legislasi periode kemarin juga mengusulkan dibentuk pusat legislasi yang bertugas menghimpun semua UU dan menyusun database UU sejak Indonesia merdeka. Namun, kedua usul ini tidak pernah disetujui oleh DPR.

Kajian yang dilakukan Setara Institute menilai, kinerja legislasi DPR periode 2009-2014 buruk. Selain produktivitas rendah, UU yang dihasilkan DPR juga banyak diperkarakan di Mahkamah Konstitusi (MK). Rendahnya produktivitas ini disebabkan dinamika politik yang sengit di parlemen sehingga menghilangkan fokus kinerja legislasi DPR. Setara Institute mencatat, 114 UU yang telah dihasilkan DPR sebagian diperkarakan di MK karena UU tersebut tidak memenuhi standar dan indikator konstitusionalitas norma.

Ignatius Mulyono menambahkan, pembahasan RUU sangat lambat dan tidak efisien sehingga membuat fungsi legislasi terkesan dikesampingkan dibandingkan dengan pelaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran.

Faktor lain yang membuat pembahasan RUU lambat adalah belum semua judul RUU yang terdapat dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dilengkapi dengan draf dan naskah akademik. Akibatnya, proses pembahasan di DPR menjadi terkendala karena antara DPR dan pemerintah mempunyai sudut pandang yang berbeda.

Di lain pihak, juga terdapat pengajuan RUU di luar Prolegnas yang sering kali dianggap penting sehingga harus dilakukan pembahasan dengan cepat dengan mengesampingkan daftar urutan RUU yang lebih dulu terdapat dalam Prolegnas.

Tidak merata

Persoalan lain adalah penargetan jumlah RUU yang tidak merata. Hal ini terlihat dari penumpukan beban kerja pembahasan RUU pada beberapa komisi tertentu. Hal itu karena tidak ada pembatasan yang tegas tentang jumlah maksimal pembahasan RUU yang dibebankan kepada komisi.

Lemahnya koordinasi internal di DPR dalam pembahasan RUU juga menyebabkan pembahasan tidak berjalan lancar. Di samping itu, jumlah keanggotaan panitia khusus (pansus) yang membahas RUU dalam praktik sering kali hanya sedikit yang hadir sehingga menyu- litkan tercapainya kuorum. Konsekuensinya, pembahasan kerap ditunda.

Selain itu, juga ada persoalan sinkronisasi. RUU yang sudah disetujui di tingkat Badan Legislasi sering kali mengalami perubahan yang tidak sesuai dengan substansi dan semangat awal penyusunan ketika ditangani pansus atau komisi. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar anggota pansus kurang memahami semangat dan substansi awal RUU. Sebagian besar
anggota pansus tidak mengikuti atau terlibat dalam pembahasan RUU tersebut ketika masih di Badan Legislasi.

Dalam penyusunan RUU inisiatif dan peraturan DPR, terkadang Badan Legislasi mengalami kendala dalam koordinasi dengan alat kelengkapan lain. Hal itu akibat kedudukan lembaga tersebut sebagai pusat harmonisasi dalam penyusunan undang-undang di DPR tidak dipahami.

Kendala teknis juga banyak ditemukan, seperti mekanisme kerja yang kaku, kurun waktu legislasi yang terbatas, serta tata hubungan dengan alat kelengkapan lain yang kurang maksimal. Kondisi ini berpengaruh pada berlarut-larutnya proses penyusunan RUU dan peraturan DPR.

Belajar dari pengalaman kinerja Badan Legislasi sebelumnya, pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla bersama DPR periode 2014-2019 diharapkan menyusun Prolegnas yang lebih baik dan melaksanakannya secara disiplin.

(Litbang Kompas)