Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Mongabay.co.id) Petani Menagih Janji: Mana Reforma Agraria? Mana Distribusi 9 Juta Hektar Lahan?

12/12/2018



“Lawan Liberalisasi Agraria!” “Bentuk Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria.” “Laksanakan Reforma Agraria Sejati…” Begitulah antara lain, spanduk dan poster tuntutan yang dibawa para petani kala aksi memperingati Hari Tani Nasional (HTN) di depan istana Negara Jakarta, Senin (21/9/15). HTN jatuh pada 24 September 2015, bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha, hingga aksi dimajukan.

Sekitar seribuan massa petani dari berbagai daerah dari Jawa Barat sampai Jawa Tengah ini, menagih janji Presiden Joko Widodo yang akan menjalankan reforma agraria. Presiden juga berkomitmen mendistribusikan 9 juta hektar lahan. Namun, para petani dan organisasi masyarakat sipil pendukung menilai, baru janji semata alias belum ada realisasi.

“Saya ke sini mau menuntut ini,” kata Dada, petani hutan dari Indramayu. Sejak lama dia menggarap lahan PT Perhutani seluas dua hektar. Dia menanami padi dan sayur mayur serta buah-buahan.

Meskipun kini tak diusir-usir seperti dulu, tetapi mereka tetap khawatir karena tak ada kepastian lahan. Pria paruh baya ini bela-belain datang dari Indramayu, bersama sang istri, ikut aksi dan berpanas-panasan di Jakarta, demi menuntut distribusi lahan ini.

Para petani menagih janji Jokowi. Foto: Sapariah Saturi

Para petani menagih janji Jokowi. Foto: Sapariah Saturi

“Jangan berhenti menuntut redistribusi lahan,” teriak Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria dari atas mobil bak terbuka, berorasi.

Dia mengatakan, pendistribusian tanah-tanah yang digarap serikat-serikat tani, seperti  Serikat Tani Indonesia, Serikat Tani Indramayu, dan lain-lain, itulah yang seharusnya pertama kali diselesaikan.

“Pemerintah harus jalankan reforma agraria, selesaikan konflik dana prioritaskan lahan buat warga, bukan pengusaha,” ucap Iwan.

Pemerintahan Jokowi, berkomitmen banyak hal kepada rakyat termasuk petani, antara lain menjalankan reforma agraria dengan berupaya memperbesar hak kelola rakyat yang selama ini terjepit. Komitmen ini dijabarkan dalam rencana-rencana aksi di kementerian dan lembaga, seperti distribusi  9 juta hektar lahan—4,5 juta hektar ditangani Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 4,5 juta hektar dari kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada juga alokasi hutan buat rakyat, yang ditargetkan dalam lima tahun ke depan sebesar 12,7 juta hektar. KLHK, juga ‘menyegarkan’ lagi perhutanan sosial, antara lain berbentuk hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, kemitraan sampai hutan adat. Pemerintah juga berjanji membentuk lembaga khusus penyelesaian konflik agraria yang begitu banyak. Berbagai aturan mulai dibuat, ada yang masih proses seperti pembentukan satgas masyarakat adat. Namun, para petani menilai janji itu baru janji.

“Presiden harus kembalikan tanah 9 juta hektar kepada rakyat. Hentikan liberalisasi modal ke petani. Hentikan kriminalisasi dan selesaikan konflik-konflik agraria,” kata Surti Handayani dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Kala aksi itu, beberapa perwakilan menemui Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki. Mereka menyampaikan berbagai tuntutan.

Dewi Kartika, Wakil Sekjen KPA mengatakan, dalam pertemuan itu perwakilan aksi menyampaikan soal reforma agraria terkait disktribusi lahan, belum ada kejelasan obyek, sampai desakan pembentukan lembaga khusus penyelesaian konflik agraria.

Saat itu, kata Dewi, Teten menanggapi segera melakukan pertemuan dengan kementerian dan lembaga, seperti KLHK, Kementerian ATR, Kementerian Pertanian, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Dalam Negeri. “Ini untuk membahas bagaimana distribusi tepat sasaran dan selesaikan ketimpangan.”

Mengenai lembaga penyelesaian konflik, katanya, Teten menyampaikan memang tengah ada inisiasi unit khusus di bawah Presiden yang akan menyelesaikan konflik sosial di seluruh sektor, baik pertanahan, kehutanan, tambang dan lain-lain.

“Mari kita nanti dan kawal bersama,” kata Dewi.

Aksi Hari Tani di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Aksi Hari Tani di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Kondisi petani memang makin miris dari tahun ke tahun. Kemiskinan terjadi di pedesaan karena tak ada akses dan pengawasan atas lahan sebagai alat produksi utama mereka. Data BPS 2013, menyebutkan, sekitar 65% penduduk pedesaan merupakan buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan rata-rata tanah kurang 0,5 hektar.

Belum lagi, banyak lahan-lahan pertanian produktif beralih fungsi atau terancam berubah fungsi ke berbagai sektor industri seperti pemukiman, perhotelan, perkebunan sampai pertambangan.

Data BPS juga menyebutkan, kurun 10 tahun (2003-2013), Indonesia kehilangan sekitar 5,7 juta rumah tangga petani. “Proses deagrarianisasi dan kehilangan jumlah rumah tangga petani masif ini menyebabkan Indonesia tak mampu berdaulat pangan dan tergantung impor,” kata Iwan.

Tuntutan petani Riau

Aksi serupa juga dilakukan di berbagai daerah, seperti di Riau. Beberapa organisasi masyarakat sipil bergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Reforma Agraria (ARRRA)  aksi dan menuntut daulat tani, buruh tani dan rakyat kecil terhadap sumber daya agraria di Gedung DPRD Riau, Senin (21/9/15).

Taufik Rahman, Koordinator Aksi mengatakan, pembangunan mengandalkan investasi ekstraktif menunjukkan kegagalan. “Petani dan rakyat dijanjikan mendapatkan kesejahteraan dari laju investasi, malah jadi korban praktik buruk korporasi. Bencana ekologis, konflik dan kemiskinan yang diperoleh rakyat. Korporasi dimiliki segelintir orang terus mengumpulkan pundi kekayaan dari alam Riau,” katanya dalam keterangan kepada media.

Kedaulatan pangan, katanya, tak akan pernah tercapai apabila petani penghasil pangan terus diintimidasi kekuatan modal. “Tanah dirampas, kekerasan dan kriminalisasi kepada petani.”

Boneng dari Serikat Petani Indonesia, mengatakan, kalau negara tak memberikan perlindungan kepada petani dan sumber daya agraria, cita-cita kedaulatan pangan nasional hanya mimpi.

Menurut dia, lebih 60% daratan Riau dikuasai korporasi. Dari 8,9 juta hektar daratan Riau, 6 juta hektar terbebani izin korporasi. Lahan-lahan itu, katanya, hanya untuk tiga sektor, akasia menunjang industri pulp and paper, perkebunan sawit dan pertambangan.

Kebijakan yang lebih memihak korporasi ini, katanya, menciptakan ketimpangan penguasaan lahan di Riau. “Bagaimana mungkin kedaulatan pangan terwujud, bila negara terus memberikan hak penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam pada korporasi,” kata Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau.

Dia mengatakan, janji Presiden Joko Widodo, distribusi 9 juta hektar lahan dan ada Pansus Lahan di DPRD Riau, seharusnya menjadi jalan mengkaji ulang izin-izin bermasalah. “Cabut saja izin perusahaan pembakar lahan, areal konsesi berlebih, terlibat korupsi kehutanan.”

Misngadi dari Serikat Petani Indonesia menambahkan, dari pencabutan izin ini, tanah-tanah bisa didistribusikan kepada rakyat.