Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(OkeZone.com) 2 TAHUN JOKOWI-JK: Nilai Rapor Kabinet Kerja Jokowi-JK Masih 60-70

12/12/2018



PEMERINTAHAN Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) akan genap berusia 2 tahun pada 20 Okotber 2016. Dalam bentang waktu tersebut, pemerintah telah berupaya melakukan tugas-tugasnya, termasuk mengelola dan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul di negeri ini. Salah satu langkah yang dilakukan yakni melakukan perombakan kabinet atau reshuffle.

Tercatat, Presiden Jokowi sudah dua kali merombak kebinetnya. Pergantian pembantu presiden itu pertama kali dilakukan pada Agustus 2015. Ada enam menteri yang diganti. Tiga menteri koordinator dan tiga menteri yang memiliki fungsi teknis.

Dalam pidato kenegaraan di sidang DPR ketika itu, Presiden Jokowi mengungkap alasannya melakukan perombakan. "Seperti saudara-saudara ketahui, saya baru saja melakukan perombakan kabinet kerja. Keputusan ini saya ambil guna memperkuat kinerja pemerintah untuk percepatan implementasi program aksi pembangunan."

"Para-putra terbaik bangsa harus mau berkeringat, membanting tulang membangun bangsa dan negara. Bagi saya, perombakan kabinet kerja adalah salah satu jembatan terbaik untuk memenuhi janji saya pada rakyat, yaitu meningkatkan kesejahteraan dalam perikehidupan mereka."

Belum genap satu tahun setelah bongkar pasang menteri, pada Juli 2016, pemerintahan Jokowi-JK kembali mengubah susunan kabinetnya. Ada delapan menteri yang lengser saat itu. Memang, perubahan kabinet pimpinan Jokowi sangat cepat jika dibandingkan dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hal tersebut bisa dilihat pada 2004 saat SBY memimpin, di mana pada 2005, kabinet mengalami perombakan, kemudian perombakan kedua baru terjadi pada 2007. Namun, saat menjadi pemimpin tertinggi untuk kedua kalinya, SBY sudah melakukan perombakan sebanyak lima kali, yakni 2010, 2011 dan terakhir 2013.

Sementara perombakan jilid dua kabinet kerja, dari menteri yang turun tahta, sejumlah menteri dianggap kerap membuat pernyataan yang membuat gaduh. Bahkan pernyataan sesama menteri dan program tidak sinkron.

Hal itu kerap menggangu efektivitas dan kinerja pemerintahan, serta menimbulkan kebingungan dari masyarakat, yang akhirnya bisa menurunkan tingkat kepercayaan mereka terhadap pemimpin dan pemerintahnya.

Pembuat Kegaduhan atau Kinerja Buruk?

Masalah kegaduhan menteri yang paling santer adalah drama perselisihan antara Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Keduanya berbeda pendapat terkait kebijakan minyak dan gas (migas) nasional.

Sumber masalahnya yakni rencana pembangunan kilang di Blok Masela, Maluku. Rizal Ramli menginginkan agar pembangunan kilang menggunakan skema pipanisasi di darat (onshore LNG/OLNG), sedangkan Sudirman Said menginginkan kilang dibangun di laut menggunakan skema LNG terapung (floating LNG/FLNG/offshore).

Saling lempar opini merasa paling benar, Rizal Ramli dan Sudirman Said harus menerima kenyataan. Keduanya dipaksa angkat kaki dari lingkaran Istana. Rizal digantikan oleh Luhut Binsar Pandjaitan sedangkan Sudirman Said digantikan oleh Arcandra Tahar.

Khusus untuk Arcandra, Presiden Jokowi terkesan melakukan blunder saat menunjuk kepala kementerian tersebut. Pasalnya, baru bekerja selama 20 hari, Arcandra lengser lantaran diketahui memiliki paspor Amerika. Ia digantikan sementara oleh Luhut Binsar Pandjaitan, yang menjadi pelaksana tugas (Plt) Menteri ESDM. Bahkan hingga kini, Jokowi belum menunjuk pengganti resmi Archandra.

Selain kedua menteri tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi dinilai juga membuat kegaduhan.

Masalahnya, KemenPAN-RB saat ditunggangi Yuddy memasang target pemecatan 1 juta pegawai negeri sipil (PNS) hingga 2019.

Berarti ratusan ribu orang akan menjadi pengangguran tiap tahunnya. Jika itu terlaksana, ada sekira jutaan masyarakat yang akan sengsara akibat kepala keluarga, kerabat mereka tidak memiliki pekerjaan.

Melihat potensi kegaduhan itu, Presiden Jokowi akhirnya mendepak Yuddy dan perannya digantikan oleh Asman Abnur.

Nama lain yang dinilai membuat publik jengah yaitu Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Sumber kemarahan publik ketika itu yakni kemacetan luar biasa di pintu keluar Tol Brebes Timur pada arus mudik Idul Fitri 2016, dan menyebabkan belasan orang meninggal.

Melihat masalah tersebut, Jonan membuat pernyataan bahwa penyebab korban meninggal bukan karena kemacetan yang terjadi di tol, namun karena faktor sakit dan dehidrasi. Ia juga menilai bahwa kemacetan tol menjadi tanggung jawab Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.

Saling lempar tanggung jawab tersebut akhirnya membuat nama Jonan keluar dari jajaran kabinet kerja Jokowi. Sedangkan Basuki aman di singgasananya.

Nama menteri yang juga menjadi korban dari pusarwan Istana adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Padahal berdasarkan hasil berbagai lembaga survei, tingkat kepuasan publik terhadap Anies tinggi. Namun data tersebut tak membuat nama Anies aman di pemerintahan Jokowi-JK. Ia digantikan oleh Prof Muhajir Effendy.

Belum Membaik

Perombakan jilid 2 kabinet kerja pimpinan Jokowi-JK hingga tiga bulan setelah melakukan perombakan dianggap belum membaik. Sejumlah kalangan menilai bahwa kinerja pembantu presiden tak ada perubahan yang signifikan.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan bahwa kinerja menteri dan pemerintahan Jokowi-JK belum memuaskan.

“Saya kira belum ada signifikan dan memuaskan kerja pemerintahan Presiden Jokowi. Termasuk menteri yang baru menjabat sejak Juli yang lalu, juga enggak nampak signifikan kerja atau progres pemerintahan,” tuturnya kepada Okezone, Jumat (7/10/2016).

Ia melihat bahwa permasalahan pemerintahan saat ini berada di bagian hulu bukan pada bagian hilir. Selain itu kepemimpinan Presiden Jokowi juga dipertanyakan.

“Strong leadership Presiden Jokowi dipertanyakan. Berapa kali pun reshuffle, gonta ganti menteri namun kalau presidennya yang lemah dan enggak mampu memompakan meningkatkan kerja kabinet.

Pembantu presiden seperti menteri semua tergantung pada kemampuan presiden mengkomandai pasukannya. Jadi dugaan saya, presidennya yang perlu meningkatkan performa kinerjanya,” tutur Pangi.

Penilaian kurang baik pemerintahan Jokowi-JK juga dilontarkan pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio. menganalogikan bahwa pemerintahan Jokowi-JK masih diwarnai kegaduhan.

“Diantara angka 10-100, nilai Jokowi masih 60-70. Ekonomi belum membaik dan pemerintahan masih diwarnai kegaduhan,” ujarnya singkat tanpa menjelaskan secara rinci.