Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

OPINI - Di Atas Wakil Rakyat

12/12/2018



Oleh Aichiro Suryo Prabowo

Gedung parlemen Jerman memiliki arsitektur yang unik. Bangunannya klasik, namun atapnya futuristik, menyerupai kubah besar yang terbuat dari kaca. Dari dalam kubah tersebut, seseorang dapat memandang tembus ke luar dan ke bawah. Ialah Reichstag, salah satu tempat paling bersejarah, gedung pemerintahan paling penting, sekaligus obyek wisata paling digemari turis di ibukota Jerman.

Dari dalam kubah Reichstag, langit dan kota Berlin memang terlihat cantik. Namun bagi saya, pemandangan di bawahnya justru tampak lebih menarik: sidang parlemen yang sedang berlangsung. Sungguh mendalam makna yang tersirat, bahwa parlemen bekerja dengan transparan, dan bahwa di atas parlemen selalu ada rakyat yang mengawasi. Genap lah pesan “Dem Deutschen Volke” yang terukir di gerbang depan Reichstag, Kepada Rakyat Jerman.

Sistem politik di Jerman dan di Indonesia tidak sama. Walakin, prinsipnya tetap saja sama: wakil rakyat bekerja dengan terbuka, rakyat berpartisipasi dengan aktif. Di Senayan, walau atap Gedung DPR-nya tidak tembus pandang, hampir semua rapatnya terbuka untuk umum. Bagi yang berdomisili di luar Jakarta, maka rapat dapat diakses melalui website resmi DPR. Sayangnya, Gedung DPR bukanlah Reichstag, tidak klasik dan futuristik, hingga rakyat tak terlalu memedulikannya. Sekalipun rapat dinyatakan tertutup, yang mana dimungkinkan oleh tata tertib berlaku, mereka akan berkata,Bukan urusan saya.

Berdasarkan data KPU, angka partisipasi rakyat Indonesia dalam pemilu legislatif 2014 tergolong tinggi, sekitar 75 persen. Angka ini lebih tinggi ketimbang capaian Amerika Serikat dan India di pemilu terakhir mereka, keduanya hanya di bawah 70 persen. Yang ideal, keaktifan ini terus dipertahankan meski pemilu telah selesai. Namun kelihatannya, tidak demikian. Silakan tanya ke saudara, tetangga, atau kolega, adakah yang masih ingat apa saja janji politik caleg pilihannya di dapil masing-masing. Jangankan janji politik, siapa caleg yang dipilih dan terpilih saja kemungkinan besar sudah lupa. Lantas para wakil rakyat itu sedang mewakili rakyat yang mana? Di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, perwakilan menjelma jadi pupuk bawang, dan tak seorang pun ambil pusing.

Ketidakpedulian yang seperti ini dapat berimbas pada kinerja wakil rakyat yang tidak terkontrol. Kinerja didasarkan bukan lagi pada aspirasi konstituen, melainkan pada kepentingan yang lebih sempit. Coba ingat kembali apa yang terjadi dalam lima tahun terakhir, ada saja wakil rakyat yang sikap politiknya inkonsisten: saling melempar fitnah saat pilpres, tapi rukun berkoalisi saat pilkada; berseberangan sebelum pilpres, tapi bergandeng tangan setelah pilpres. Konstituennya sama, lalu kenapa sikap politiknya plinplan? Karena mereka tahu, bahwa konstituennya tidak tahu. Plinplan tidak apa-apa, toh posisinya sebagai wakil rakyat tetap aman tak tergoyahkan.

Dalam studi ekonomi politik, politikus kerap disebut sebagai makhluk rasional, yang segala tindakannya dilakukan demi memenuhi hasrat untuk mendapatkan atau mempertahankan kursi kekuasaan. Di sistem demokrasi, kekuasaan diperoleh manakala seorang politikus berhasil mendapatkan suara terbanyak. Dengan logika yang demikian, maka politikus akan selalu berupaya memperjuangkan aspirasi mayoritas, sebab hanya dengan cara itulah ia dapat meraup 50 persen plus satu suara.

Akan tetapi, hitung-hitungannya menjadi lain ketika rakyat tak lagi peduli. Sebelumnya, bagi politikus, tidak memperjuangkan aspirasi mayoritas sama dengan mengurangi peluangnya untuk mendapatkan suara terbanyak di pemilu mendatang. Kini, dengan atau tanpa memperjuangkan aspirasi mayoritas, peluangnya untuk memperoleh suara terbanyak tetap tidak berubah. Justru memperjuangkan aspirasi mayoritas membutuhkan biaya dan energi yang lebih besar ketimbang tidak melakukannya. Maka sebagai makhluk rasional, politikus tadi akan memilih untuk tidak memperjuangkan aspirasi mayoritas. Kata mereka, Bukan urusan saya.

Di negara demokrasi seperti Indonesia, suara rakyat akan selalu penting. Bahkan politikus paling oportunis pun akan mendengarkan aspirasi mayoritas, karena hanya itulah jalan satu-satunya untuk mereka naik ke kursi kekuasaan. Pertanyaannya, apakah rakyat sadar bahwa suaranya begitu menentukan? Menentukan yang saya maksud di sini tidak sebatas partisipasi ketika mencoblos saja, tetapi juga sehari-hari saat rakyat ingin mengutarakan aspirasinya. Kembali pada pendekatan rasional, rakyat yang sadarnya hanya ketika pemilu saja akan direspon dengan caleg yang pedulinya juga hanya menjelang pemilu saja.

Pada akhirnya, rakyat Indonesia sendiri, ya, kita, yang tahu jawabannya. Kalau bukan kita, siapa lagi? Dan kalau bukan sekarang, kapan lagi? Memang benar, tidak setiap hari rakyat naik ke atap Gedung DPR, karena itu memang bukan obyek wisata yang klasik atau futuristik. Namun sejarah mencatat, rakyat pernah bersama-sama mendudukinya pada 1998. Dan rasanya, ini sudah lebih dari cukup, untuk mengingatkan kita semua bahwa di atas wakil rakyat selalu ada rakyat Indonesia. Bersama, kita seharusnya bisa, demi Indonesia yang lebih hebat.

@AichiroSuryo - www.aichiros.wordpress.com

Kredit foto: http://www.fosterandpartners.com/