Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Rakyat Merdeka) DPR Diminta Tiru Hongkong dalam Pembuatan RUU Perlindungan TKI

12/12/2018



DPR Prioritaskan Revisi UU Perlindungan TKI

Anggota Komisi IX DPR Djoni Rolindrawan mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia sudah masuk ke dalam RUU Prioritas 2015. RUU ini akan memberikan payung hukum perlindungan TKI untuk menghadapi mafia buruh migran yang marak terjadi dan seakan tak pernah teratasi itu. "Sehingga tidak ada lagi cerita sedih yang sering kita dengar terhadap nasib pahlawan devisa kita di luar negeri sana," kata Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) IX DPR Fraksi Hanura ini dalam diskusi forum legislasi Revisi UU Perlindungan TKI bersama Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, Direktur Mediasi dan Advokasi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Teguh Hendro

Cahyono, dan Juliaman Saragih, Pemerhati Sosial Ketenagakerjaan dan Direktur Eksekutif Nation and Character Building Institute (NCBI) di Gedung DPR Jakarta, Selasa (3/3).

Sementara itu, peneliti masalah buruh migran dari Nation and Character Building Institue, Juliaman Saragih, menyarankan agar RUU Perlindungan TKI itu juga menjelaskan terhadap jaminan sosial yang dimiliki oleh buruh migran pada saat bekerja. Sebab selama ini, dia melihat ambiguitas bahwa jaminan sosial yang menjadi program wajib negara hanya berupa konsorsium asuransi.

"Yang menjadi pertanyaan besar bahwa tenaga kerja asing dan tenaga kerja wajib memiliki jaminan sosial minimal enam bulan dari masa kerja. Kenapa TKI kita tidak diberikan jaminan sosialyang sama," katanya.

Pemerhati Migran Care, Anis Hidayah, menambahkan yang seharusnya dilakukan DPR dan pemerintah adalah RUU yang dimaksud harus direvisi mengikuti ratifikasi konvensi perlindungan buruh migran ILO pada 1989 dan 2011 yang mengatakan, pekerja rumah tangga tidak bisa disebut sebagai pekerja informal dan PRT harus diberi lingkungan kerja yang layak. "Yang kedua bagaimana industrialisasi buruh migran itu harus dihentikan. Industrialisasi mengarah ke perdagangan manusia," imbuh Anis.

Anis menilai yang selama ini terjadi peran negara dalam memberikan perlindungan kepada buruh migran tidak tampak. Sehingga swasta memainkan perannya dan memperlakukan TKI layaknya komoditas yangdiperdagangkan. "Jangan lagi negara hadir lewat swasta. Akhirnya mereka jadi objek bisnis. Biaya jadi mahal," tegas Anis.

Anis menginginkan RUU Perlindungan TKI itu juga mengatur bagaimana pelayanan calon buruh migran itu bisa hadir semenjak dari desa. Agar informasi yang dibutuhkan bisa didapatkan semenjak dari awal seorang warga yang ingin menjadi buruh."Itu juga memotong biaya yang tidak semestinya," kata Anis.

Teguh sepakat BNP2TK1 sepakat dengan Kemenakertrans bahwa kita akan memaksimalkan Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai pusat latihan calon tenaga kerja. Hanya saja BNP2TK1 itu membutuhkan angggaran yang memadai untuk meningkatkan calon TKI itu sendiri.

Kasus penyiksaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Erwiana Sulistyaningsih di Hong Kong harus menjadi pelajaran berharga bagi anggota DPR. Dalam kasus Erwiana, pemerintah dan legislatif Hong Kong mengaku prihatin, bahkan sampai mengundang Erwiana berbicara di depan DPR setempat.

Peristiwa ini berbeda jauh dengan DPR yang terlihat setengah hati dalam memperhatikan nasib TKI. Buktinya, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. ada rencana revisi UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri (UU PPTKILN) sedangkan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak masuk dalam Prolegnas 2015. Padahal sebagian besar TKI merupakan PRT.

"Harusnya DPR belajar dari DPR Hong Kong yang ikut membela warga luar dalam memperjuangkan keadilan," kata Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JB MI), Iweng Karsiwen dalam jumpa pers di Kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhary, Jakarta, kemarin.