Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

RUU Bank Indonesia - Rapat Komisi 11 dengan 4 Mantan Gubernur BI

12/12/2018



Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Bank Indonesia (Panja RUU BI) Komisi 11 mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada tanggal 29 Juni 2015 dengan 4 mantan Gubernur Bank Indonesia (Gubernur BI) terkait Revisi UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

RDPU dipimpin oleh Ketua Komisi 11 Fadel Muhammad dari Gorontalo. RDPU dihadiri oleh 15 dari 48 anggota Komisi 11. Ketua Rapat sudah tercapai kuorum dan rapat terbuka untuk umum.

Pemaparan Mitra

Berikut adalah pemaparan dari mantan Gubernur BI, Adrianus Mooy:

  • Saya bagian dari masa Orde Baru jadi tidak mengalami UU Bank Indonesia (BI). Pendapat saya hanya sebagai pengamat.

  • Saya merasa perlu penyempurnaan UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sudah banyak perkembangan perbankan global dan nasional.

  • Sudah terjadi banyak krisis-krisis. Dulu krisis berawal dari negara berkembang, tapi yang terakhir malah berawal dari negara maju.

  • Perlu minimalisir dampak dan perlu ruang untuk lakukan tindakan preventif. Kalau tidak biayanya terlalu ‘mahal’.

  • Satu hal yang perlu jadi catatan adalah tidak ada satu kebijakan yang jadi panacea dan sembuhkan semua masalah.

  • Perlu ada bauran kebijakan yang tepat. Jadi tidak bisa BI saja. Lembaga lain juga punya peran krusial.

  • Kerjasama antar lembaga menjadi sangat penting.

  • Di UU sebelumnya makroprudensial di BI dan mikroprudensial di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tapi di draft RUU BI tidak ada. Saya saran ini perlu diperjelas.

  • BI dulu belajar dari Bank of England (BoE) untuk ‘pisah atap’ antara makro dan mikro. Tapi sekarang BoE sudah balik haluan dan jadi ‘satu atap’ lagi.

  • Tapi kalau usul ini dianggap terlalu ekstrem, pertanyaan saya adalah ‘jalan tengah’nya apa?

  • Koordinasi adalah barang mahal. Dalam praktek tidak mudah dan bertele-tele. Dalam satu atap saja susah apalagi antar lembaga.

  • Terkait pembauran kebijakan, perlu ada rumusan pada saat krisis. BI perlu ada wewenang khusus untuk koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Saya garis bawahi bahwa ‘kerjasama’ sangat penting.

  • Terkait independensi BI, setuju perlu ada independensi karena peran BI pisahkan yang punya dan perlu uang, namun pada saat yang sama perlu uang.

  • Terkait pengangkatan dewan gubernur, setuju untuk hanya usul 1 kandidat, bukan 3. Karena dengan usul 3 kandidat belum tentu yang terbaik yang terpilih.

  • Untuk Gubernur dan Senior Deputi saya setuju perlu ke DPR. Tapi untuk level lainnya apakah perlu ke DPR? Pertimbangannya adalah BI perlu teamwork yang baik.

  • Fit & Proper Test sebaiknya lebih evaluasi moral, karakter dan leadership, bukan kompetensi.

Interupsi Rapat

Berikut interupsi rapat oleh:

Interupsi oleh Mukhamad Misbakhun dari Jatim 2. Misbakhun belum terima draft UU Bank Indonesia (UU BI) yang dimaksud oleh Mitra Rapat. Menurut Misbakhun memang belum ada kesepakatan atas draft ataupun akan memakai draft versi yang mana.

Interupsi oleh Andreas Eddy Susetyo dari Jatim 5. Andreas menekankan ke Ketua Rapat bahwa mekanisme pembuatan draft UU bukan seperti ini.

Jawaban dari Ketua Rapat Fadel Muhammad: Menurut Fadel Panitia Kerja RUU Bank Indonesia (Panja RUU BI) sudah empat kali rapat di ruangan ini dan meminta input dari Poksi-Poksi. Menurut Fadel mungkin kalian tidak hadir.

Interupsi oleh Rudi Hartono Bangun dari Sumut 3. Rudi saran ke Ketua Rapat bahwa pembahasan tentang penentuan draft RUU Bank Indonesia ini baiknya dilakukan pada rapat terpisah. Namun demikian Rudi ingatkan Ketua Komisi 11 untuk mengikuti prosedur dan mekanisme pembuatan draft RUU yang ada.

Pemaparan Mitra - Lanjutan

Berikut adalah pemaparan dari mantan Gubernur BI, Syahril Sabirin:

  • Saya menjabat Gubernur dari Februari 1998 - Mei 2003. UU No.23 tahun 1999 ada ketika saya masih menjabat.

  • Independensi BI banyak dapat sorotan. Dari sisi pengalaman, independensi adalah tantangan bersama dan sarat resiko bagi kami. Disini saya mau garis bawahi independensi tidak hanya secara harafiah tetapi pada pelaksanaannya.

  • Saya rasa perlu akomodir perubahan-perubahan perbankan terakhir. Krisis ekonomi makin sering terjadi di dunia dan kita tidak tahu kapan dan dimana akan mulai.

  • Sebuah Lembaga Koordinator pada saat krisis sangat diperlukan. Dulu ada KKSK dan sekarang JPSK perlu dirumuskan dengan baik agar tidak ada penyimpangan wewenang dan tidak kesulitan untuk tangani krisis keuangan.

  • Terkait pasal ‘Tugas BI’, di UU No.23 tahun 1999 definisi tugas beragam tetapi di draft sekarang di definisikan menjadi ‘menjaga stabilitas harga atau inflasi’. Saya setuju atas usul Pak Mooy bahwa tujuannya sebaiknya menjadi ‘untuk menjaga stabilitas sistem keuangan negara dan mendukung pertumbuhan ekonomi’.

  • Terkait koordinasi dengan OJK, dari pengalaman koordinasi mudah diucapkan tapi sulit dilakukan. Apalagi antar instansi pada saat krisis.

  • Terkait pasal ‘Dewan Gubernur’, setuju dengan Pak Mooy bahwa Dewan Gubernur merupakan kesatuan dan kolektif. Di dalam UU No.23 tahun 1999 bila tidak adak keputusan bulat, Gubernur BI punya hak veto. Ini penting karena keputusan sering harus diambil pada saat itu juga.

Berikut adalah pemaparan dari mantan Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah:

  • Ini kesempatan untuk memikirkan bersama untuk tingkatkan kejelasan, wewenang dan batasan dari BI.

  • Kita sepakat independensi untuk ambil keputusan perlu diserahkan ke profesional (policy dan penggunaan instrumen).

  • Di awal era saya, saya usul untuk ditunda pembentukan OJK karena itu bukan menyelesaikan krisis dan belum ada studi yang konklusif dengan adanya lembaga seperti OJK, sistem perbankannya lebih bagus.

  • Tapi sekarang karena OJK sudah berdiri, saya berikan benefit of the doubt.

  • Terkait pasal ‘Tujuan BI’, saya usul ‘pencapaian stabilitas sistem keuangan dan pembangunan’.

  • Tambahan terkait SSK kebijakannya di makroprudensial bukan di sistem keuangan. Perlu ditambahkan ‘pengelolaan rupiah’.

  • Menyikapi draft RUU BI ini kita perlu tanya, dalam situasi pelik apakah UU BI akan memberikan ruang kepada BI untuk menyelesaikan krisis atau tidak. Contohnya, mungkin dalam skenario dimana instrumen moneter biasa tidak ada dampaknya, apakah mungkin untuk BI diberi wewenang dalam waktu sementara dan untuk mengendalikan situasi. Perlu dikaji kemungkinan perluasan cakupan wewenang BI dalam menghadapi krisis.

  • Terkait pasal ‘Modal’, di international best practice tidak banyak bank sentral yang mencantumkan berapa modalnya.

  • Terkait OJK, dulu Sir Mervyn King (Gubernur Bank of England atau BoE) di kritik ketika mau bailout Northern Rock. Kebijakannya dianggap banyak pihak ‘too-little-too-late’. Mervyn King tidak cukup data untuk buat keputusan karena datanya di Financial Services Authority (FSA, lembaga yang mirip dengan OJK).

  • Saya harap mudah-mudahan Indonesia tidak perlu lalui pengalaman pahit BoE. Tapi saya harap OJK digabungkan lagi dalam ‘satu atap’ di BI.

Berikut adalah pemaparan dari mantan Gubernur BI, Darmin Nasution:

  • Saya fokus ke 2 hal saja: ‘Tujuan’ dan ‘Tugas’ BI.

  • Terkait pasal ‘Tujuan’ - saya usul untuk ganti ‘stabilitas harga’ jadi ‘menjaga nilai Rupiah’. Dan ditambahkan ‘ikut serta mendukung stabilitas sistem keuangan’. Tapi kembali lagi, ini semua tergantung pasal-pasal penjelasan berikutnya.

  • Karena kalau menggunakan ‘harga’, nanti apa yang dimaksud dengani Inflasi? Asset atau Core Inflation? Jadi harus jelas karena kalau tidak akan dispute di kemudian hari.

  • Saya usul untuk masukkan ‘pertumbuhan yang berkesinambungan’. Bahwa di Amerika Serikat tujuan dari Federal Reserve termasuk ‘employment’.  

  • Di Amerika definisi tujuan lebih detil. Di Eropa lebih sederhana dan tunggal. Wisdom dibutuhkan untuk memilih ‘Tujuan’ yang tepat untuk BI.

  • Saya nilai UU No.23 tahun 1999 perlu amandemen karena konfigurasi kelembagaan sudah berubah dan kalau tidak segera disempurnakan ketika krisis bisa kacau balau.

  • Koordinasi itu ‘mahal’. Yang kita perlukan adalah ‘Kolaborasi’. BI dan OJk ingin bagi tugas, tapi pada prakteknya batas-batas antara makroprudensial dan mikroprudensial tidak pernah jelas.

  • Contohnya Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Sekarang setiap hari BI kumpulkan LHBU dan digunakan untuk Operasi Moneter. Di UU OJK, LHBU seharusnya dipindahkan ke OJK, tapi OJK tidak pernah gunakan. LHBU itu sifatnya jam-per-jam bahkan menit-per-menit, dan BI perlu tahu dengan cepat untuk netralisir situasi kalau ada bank yang kalah kliring.

  • Terkait definisi ‘Suku Bunga’, perlu juga kejelasan. Di BI anggap Suku Bunga itu adalah BI Overnight Rate. Tapi di dalam draft tidak jelas.

  • Terkait pasal ‘Sistem Pembayaran’, di draft sangat miskin pengaturannya. Sistem Pembayaran itu bukan hanya kliring dan sementara perkembangan di perbankan sudah pesat sekali. Sekarang sudah ada tunai dan non-tunai. Ini terkait kelembagaan dan infrastruktur dan perlu koordinasi dengan Kementerian Informasi dan Teknologi karena terkait informasi teknologi juga. Jadi perlu kejelasan.

Pemantauan Rapat

Berikut respon dari fraksi-fraksi terhadap pemaparan Mitra Rapat:

Fraksi PDI Perjuangan: Oleh Andreas Eddy Susetyo dari Jatim 5. Andreas sependapat dengan masukan dari 4 mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) untuk memperjelas pasal mengenai ‘Tujuan BI’ di draft Revisi UU Bank Indonesia (RUU BI). Andreas menilai tujuan bank sentral tiap negara berbeda-beda. Andreas menilai Panitia Kerja (Panja) RUU BI perlu kaji dan definisikan apa itu ‘kepentingan nasional’ karena itulah tujuan akhir dari RUU BI ini. Andreas menilai Panja RUU BI perlu mencari dulu ‘rohnya’ dan mempertimbangkan juga situasi dan perkembangan terakhir.

Andreas tidak setuju Tugas Bank Indonesia (BI) menjadi ‘Kopkamtib’ sistem keuangan dan sepakat BI perlu koordinasi dengan lembaga lain. Sehubungan dengan pasal mengenai ‘Tugas BI’ terkait kebijakan Tingkat Bunga Overnight, Andreas sepakat dengan usulan merubah ‘Tujuan BI’ menjadi menjaga stabilitas sistem keuangan menimbang sudah tidak ada lagi Direktorat Jenderal Moneter dan Direktorat Jenderal Sistem Keuangan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Terkait sistem pembayaran, Andreas menilai perlunya pendalaman oleh Panitia Kerja (Panja) RUU BI karena sekarang tidak jelas antara wewenang BI dan Kemenkeu dalam mengatur bank dan non-bank.

Andreas minta klarifikasi ke empat mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) dimana batasan ‘conflict of interest’ pada Operasi Moneter. Menurut Andreas batasan tersebut ‘kabur’ karena kalau sukses tidak masalah tapi ketika gagal tidak jelas siapa yang tanggung jawab.

Maruarar Sirait dari Jabar 9. Maruarat menggaris bawahi bahwa ia seorang Anggota DPR, namun belum lihat draft RUU Bank Indonesia (BI) yang dibahas pada rapat ini. Karena kita semua sedang berada di DPR dan DPR adalah lembaga politik, Maruarar ingin mengangkat ini dari sisi politiknya. Kepada Ketua Komisi 11, Maruarar minta klarifikasi draft RUU BI ini siapa yang buat. Maruarar desak Ketua Komisi 11 untuk ‘buka-bukaan’ saja.

Menurut Maruarar di Mahkamah Konstitusi (MK) masih ada pending keputusan tentang siapa yang berwenang mengawasi perbankan antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Menimbang belum melihat wujud draft RUU BI ini, Maruarar mencium adanya ‘pertarungan’ antara OJK dan BI. Menurut Maruarar dulu Pak Agus Martowardojo (Gubernur Bank Indonesia) ketika masih Menteri Keuangan ‘mendorong’ sekali OJK. Maruarar menekankan kepada Komisi 11, bahwa sebagai anggota DPR perlu tahu konstelasi politiknya dan siapa yang diuntungkan dengan RUU BI ini.

Maruarar menegaskan bahwa kalau UU ini untuk membuat satu lembaga lebih dominan atau melemahkan lembaga lain, Maruarar berdiri menentang. Tapi kalau UU ini untuk memajukan rakyat, Maruarar dan partainya (PDIP) pasti dukung.

Fraksi Golkar: Oleh Mukhamad Misbakhun dari Jatim 2. Menurut Misbakhun ada 2 kategori mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), yang dari ‘dalam BI’ dan yang dari ‘luar’. Menurut Misbakhun, Pak Darmin yang dari ‘luar’ uraiannya lebih atraktif dibanding uraian yang dari ‘dalam’. Misbakhun menilai banyak uraian dari empat mantan Gubernur BI itu sebagai keniscayaan keadaan di BI sekarang. Misbakhun mengingatkan bahwa dulu BI ‘memegang’ semua wewenang di sistem keuangan nasional dan lihatlah apa yang terjadi sekarang.

Misbakhun menyoroti antara lain Kasus Bank Indover, lahirnya Pakto 88 dan bencana BLBI. Misbakhun menilai sistem kita tidak ideal untuk pembuat dan pengawas berada di ‘satu atap’. Misbakhun sepakat dengan Andreas Eddy Susetyo untuk kaji kembali pasal ‘Tujuan BI’ karena ia nilai ada bahaya di dalamnya. Misbakhun ingin BI fokus penuh menjaga makroprudensial. Menurut Misbakhun perlu ada jarak antara BI dan industrinya. Oleh karena itu Misbakhun merancang UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK).

Misbakhun selalu mempermasalahkan independensi BI. Misbakhun menilai BI boleh independen dalam pelaksanaan tugas tapi tidak boleh dalam tujuannya. Menurut Misbakhun cara BI mengelola inflasi dengan TPID dan hanya menggunakan 1 instrumen itu sangat amatiran sekali. Oleh karena itu Misbakhun ingin RUU Bank Indonesia (RUU BI) membuat BI lebih profesional dan kelas dunia.

Fraksi PAN: Oleh Jon Erizal dari Riau 1. Terkait Laporan Harian Bank Umum (LHBU) yang sampai sekarang masih dilaporkan ke Bank Indonesia (BI), menurut Jon BI mutlak untuk selalu dapat akses ke data-data tersebut karena menurut Jon BI adalah lender of last resort. Jon juga minta pendapat dari ke empat mantan Gubernur BI tentang penamaan yang lebih sesuai, apakah ‘Bank Indonesia’ atau ‘Bank Sentral’.

Fraksi Nasdem: Oleh Johnny G Plate dari NTT. Johnny apresiasi kepada para senior untuk berbagi pengalaman dalam Revisi UU Bank Indonesia (RUU BI). Johnny memanggil ke empat mantan Gubernur Bank Indonesia dengan sebutan ‘Keempat Hulu Balang’. Johnny harap RUU BI ini tidak salah arah. Johnny sepakat independensi BI perlu dijaga. BI perlu dilindungi karena tujuannya menjaga sistem keuangan nasional. Johnny mohon perhatian khusus dari Komisi 11 terutama tentang distribution of authority dan crisis protocol antar lembaga perlu diperjelas.

Sehubungan dengan sistem keuangan, Johnny menilai ini sangat terkait dengan perkembangan teknologi, terutama informasi teknologi. Johnny saran ke Panitia Kerja (Panja) RUU BI untuk lakukan pendalaman instrumen-instrumen apa yang BI bisa gunakan di masa depan.

Respon Mitra

Berikut respon dari Adrianus Mooy terhadap pertanyaan dan masukan dari Komisi 11:

  • Perlu diperjelas antara ‘orang dalam’ vs. ‘orang luar’. Saya juga ‘orang luar’. Saya di Bappenas 20 tahun dan 5 tahun di BI.

  • Setiap persoalan bisa berbeda bila dilihat dari luar atau dari dalam. Tapi bobot dari ‘dalam’ lebih berat.

  • Menanggapi Mukhamad Misbakhun, faktanya kebijakan moneter dieksekusi melalui sistem perbankan. Jadi data-data mikroprudensial sangat diperlukan. Availability of information dalam ‘satu atap’ menurut saya sangat penting.

  • Kenapa BI dipisah? Ada terkesan bahwa BI tidak berhasil mengawasi perbankan sehingga perlu dipisah. Tapi sejarahnya adalah Gubernur BI di November 1996 dan lagi di April 1997 sudah serahkan ke Presiden (Presiden Suharto) daftar bank-bank yang perlu ditutup. Ada faktor ‘X’ yang terjadi pada saat itu dan bukan karena pengawasan BI gagal.

  • Kalau orang-orang BI tidak bisa dipercaya, pertanyaannya kenapa ⅔ orang-orang di OJK berasal dari BI?.

  • Saya berpendapat dengan yang lain bahwa pemisahan BI dan OJK ini mengganggu pelaksanaan tugas BI.

  • Tentang pasal ‘Tujuan BI’, saya tidak menyebut BI punya multiple purpose (sejajar). Tapi saya sebut ‘Tujuan BI’ seharusnya ‘bertahap’. Stabilitas harga → yang kemudian mendukung stabilitas sistem keuangan → yang kemudian mendukung pertumbuhan ekonomi.

  • Inflasi ini ibaratnya seperti ‘sakit panas’. Obat panas tidak bisa diminum untuk menyembuhkan sesuatu yang struktural. Jangan terkesan BI adalah super-agency yang bisa menyembuhkan semua penyakit.

  • Terkait BI menyalurkan kredit, ini ada sejarahnya. Di 1968 Pemerintah tidak mampu memberikan subsidi dan BI diminta untuk beri subsidi kredit kepada bank-bank untuk disalurkan lagi ke UKM.

  • Setelah UU No.23 Tahun 1999, BI sudah ‘lepas’ dari kebijakan pemberian kredit tersebut.

  • Terkait stabilitas harga vs. stabilitas rupiah, ini pilihan antara stabilitas barang vs. stabilitas uang. Saya cenderung gunakan istilah ‘nilai Rupiah’ karena itu wewenang BI. Kalau ‘barang’ menurut pandangan saya ‘abu-abu’.

Berikut respon dari Syahril Sabirin terhadap pertanyaan dan masukan dari Komisi 11:

  • Kita sudah pensiun 12 tahun lebih, bahkan Pak Mooy sudah 18 tahun lebih. Apa yang dikemukakan kami tidak ada kepentingannya lagi dengan OJK vs. BI.

  • Menanggapi Mukhamad Misbakhun, BI dapat keuntungan dari jual devisa adalah konsekuensi dari BI menjalankan tugasnya mengurus devisa. Bukan tujuan.

  • Informasi-informasi Operasi Moneter BI adalah sangat rahasia dan dosa besar bagi kami kalau sampai bocor.

Berikut respon dari Burhanuddin Abdullah terhadap pertanyaan dan masukan dari Komisi 11:

  • Apapun kebijakan BI (floating vs. fixed, Operasi Moneter atau tidak, dll) kalau setelah itu tidak ada disiplin dalam menjaga defisit dan inflasi, ujung-ujungnya sama saja yaitu devaluasi.

  • Semua kebijakan BI perlu dibarengi disiplin dan komitmen banyak pihak untuk menjaga stabilitas.

Kesimpulan Rapat

  1. Ketua Rapat berterima kasih kepada para mantan Gubernur BI yang sudah meluangkan waktunya untuk memberi masukan kepada Komisi 11.

  2. Rapat ini untuk mengumpulkan masukan untuk pra-draft RUU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Ketua Rapat menutup RDPU pukul 16:26 WIB.

 

Untuk membaca rangkaian livetweet RDPU dengan 4 mantan Gubernur BI tentang RUU Bank Indonesia kunjungi http://chirpstory.com/li/274078.


wikidpr/sith