Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Tempo) Editorial: Jauhi Urusan Golkar

12/12/2018



Langkah pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla menolak mengesahkan kepengurusan baru Partai Golkar yang diajukan kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono sudah tepat. Tak perlu pemerintah ikut campur dalam konflik internal partai politik itu.

Senin lalu, kubu Aburizal meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly mengesahkan kepengurusan baru Partai Golkar. Mereka mengajukan Aburizal untuk kembali memimpin partai tersebut hingga 2019. Pada hari itu juga, Menteri Yasonna menerima permohonan kubu lainnya, yang mengajukan Agung Laksono sebagai ketua.

Menurut aturan, jika tak ada masalah dalam partai, Menteri Hukum dan HAM mesti menetapkan kepengurusan itu tujuh hari sejak diajukan. Hal ini juga yang didesakkan oleh kedua kubu yang bertikai. Di sinilah Menteri Yasonna diharapkan tidak terburu-buru menetapkan kepengurusan Partai Golkar yang baru.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya pasal 24, mengatur bahwa pengesahan pengurus baru suatu partai hanya bisa dilakukan bila perselisihan internal mereka selesai. Artinya, pemerintah berwenang menolak mengesahkan kepengurusan partai yang sedang berkonflik. Posisi itulah yang harus dipegang teguh pemerintah

Golkar perlu didorong agar segera menyelesaikan konflik internalnya. Kalau mengikuti undang-undang, resolusi internal ini merupakan wewenang mahkamah partai dan harus selesai 60 hari sejak mulai dibahas. Jika penyelesaian internal gagal, pihak yang berselisih boleh maju ke pengadilan. Pengadilan negeri juga diberi waktu paling lama 60 hari untuk memutuskan. Dan jika setelah itu dibawa ke Mahkamah Agung, keputusannya tak boleh lebih dari 30 hari.

Menteri Yasonna jangan mengulang langkahnya dalam menangani konflik di Partai Persatuan Pembangunan. Dalam kasus ini, keputusan yang ia ambil akhirnya hanya mencoreng wibawa pemerintah. Entah lantaran terburu-buru atau karena ingin melakukan intervensi, pada 28 Oktober lalu Yasonna mengesahkan kepengurusan PPP yang diajukan kubu M. Romahurmuziy. Setelah digugat kubu Suryadharma Ali, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memerintahkan pemerintah untuk menunda keputusan tersebut hingga partai menyelesaikan konflik internalnya.

Dalam polarisasi politik yang ekstrem seperti saat ini, konflik dalam tubuh Golkar boleh jadi merupakan peluang bagi pemerintah Jokowi untuk mengubah perimbangan kekuatan politik. DPR jelas masih dikuasai koalisi Prabowo. Tapi perimbangan kekuatan ini akan berubah jika pemerintah memenangkan kubu Agung Laksono, yang terang-terangan telah berjanji membawa Golkar hengkang ke koalisi Jokowi. Bagi koalisi Jokowi, ini berarti tambahan 91 suara di DPR. Peta politik parlemen jelas akan berubah.

Tapi mencampuri urusan internal Golkar demi kepentingan sesaat hanya akan membawa praktek politik kepartaian kembali ke masa Orde Baru. Pada masa itu pemerintah memang punya kepentingan untuk mengendalikan partai politik demi kesinambungan rezim Soeharto. Maka, agar kita tidak mundur lagi, pemerintah Jokowi harus mengabaikan godaan tersebut dan membiarkan Golkar menyelesaikan urusannya sendiri.