Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Tempo.co) Angkutan Pedesaan Menjerit, Butuh Bantuan Pemda

12/12/2018



TEMPO.COSemarang - Pemerintah daerah diminta berpihak kepada angkutan pedesaan, karena  terancam punah. “Peran pemerintah belum kelihatan. Padahal angkutan pedesaan itu kewenangan tingkat dua,” kata Kepala Puslitbang Transportasi Jalan dan Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan, Sigit irfansyah, dalam diskusi angkutan pedesaan, di Semarang, Selasa (19/4).

Menurut Sigit, kepedulian angkutan pedesaan bisa dilakukan dengan mengatur kemasan angkutan yang diimbangi tingkat kepadatan penduduk, dengan interaksi sosial yang bersifat homogen. “Rata-rata penduduknya bermatapencaharaian agraris. Sehingga angkutan pedesaan itu mampu interaksi dengan wilayah di sekitarnya,” kata dia.

Sayangkya, kata Sigit, tak diimbangi dengan sikap pemerintah daerah yang hanya menjadikan operasional angkutan pedesaan jadi pemasukan asli daerah. Pemahaman itu dinilai keliru, karena persoalan angkutan pedesaan di kabupaten berkutat pelayanan. “Dalam kondisi itu Pemda diminta berani tangani angkutan pedesaan,” katanya.

Kepala Laboratorium Transportasi, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menyatakan sangat sulit memberikan pemahaman kepala daerah di Jawa Tengah, agar peduli terhadap angkutan pedesaan. “Di Jateng saja baru ada dua daerah yang punya masterplan angkutan pedesaan. Kabupaten Semarang dan Klaten. Selama ini Dinas Perhubungan diperas untuk mengeruk PAD,” kata Djoko.

Kondisi itu menimbulkan efek angkutan pedesaan semakin lemas, dan berkurang. Menurut dia, setiap tahun angkutan pedesaan di sejumlah daerah di Jawa Tengah terus menurun, hingga di bawah 23 persen. “Tahun depan turun lagi,” kata Djoko.

Hasil kajianya menujukan di desa yang makmur tak ada angkutan pedesaan. Namun sebaliknya motor lebih banyak. Padahal, Djoko menjelaskan, banyak angkutan di pedesaan yang beroperasi melebihi kapasitas angkut. Dia mencontohkan kapasitas angkutan penumpang pedesaan 12 orang disi hingga 30 orang.

Akibatnya, berefek pada tingkat kelanjutan siswa sekolah miskin di desa menipis, karena tak ada angkutan. “Karena sekolah lanjutan adanya di kota kecamatan. Siswa miskin mau beli motor tak punya uang. Angkutan tak ada. Akhirnya bodoh dan tetap miskin,” katanya.