Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Penjelasan Tim Ahli terhadap Penyusunan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual — Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Rapat Panja dengan Tim Ahli Baleg DPR-RI

Tanggal Rapat: 16 Nov 2021, Ditulis Tanggal: 9 Mar 2022,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Tim Ahli Baleg DPR-RI

Pada 16 November 2021, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI mengadakan Rapat Panja dengan TIm Ahli Baleg DPR-RI mengenai Penjelasan Tim Ahli Baleg terhadap Penyusunan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Rapat dipimpin dan dibuka oleh Willy Aditya dari Fraksi Nasdem dapil Jawa Timur 11 pada pukul 10.28 WIB. (Ilustrasi: Media Indonesia)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Tim Ahli Baleg DPR-RI
  • TIm Ahli Baleg menyampaikan perbaikan draft berdasarkan masukan dan pendapat dari Bapak/Ibu Anggota DPR-RI pada Rapat Panja 1 November 2021 yang lalu. Begitu juga masukkan yang disampaikan melalui masukan tertulis. Sebelum itu, Tim Ahli Baleg menyampaikan bahwa seperti yang sudah dimaklumi bersama RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang tadinya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini merupakan inisiatif Baleg DPR-RI untuk menjawab aspirasi masyarakat, karena banyak korban kekerasan seksual kesulitan memperoleh keadilan dan malah mengalami kekerasan berikutnya, bahkan stigma yang seharusnya tidak perlu mereka alami.
  • Setidaknya ada dua sebab mengapa korban kekerasan seksual sulit mengakses keadilan hingga saat ini, yang pertama undang-undang yang sudah ada sangat terbatas mengatur tentang KS, sehingga ada banyak jenis KS yang tidak bisa diproses oleh penegak hukum, dan yang kedua adalah karena hukum acara yang tidak berpihak kepada korban.
  • Fakta empiris yang ditemukan seringkali terjadi viktimisasi berikutnya dalam proses penyidikan dan pemeriksaan serta pembuktian yang menyulitkan korban yang sejatinya telah menderita dan mengalami trauma.
  • RUU TPKS disusun menjadi RUU Tindak Pidana Khusus dengan pertimbangan agar lebih fokus pada pelanggaran pidana kekerasan seksual, sehingga memudahkan penegak hukum dalam rujukan implementasi tanpa mengabaikan pengaturan terkait pencegahan. Selain itu, karena beberapa pelanggaran KS sudah dimuat dalam UU TPPO, UU Perlindungan Anak, dan UU PKDRT serta RKUHP dan RUU Perlindungan Data Pribadi, maka agar tidak redundant dan tidak diatur lagi di dalam RUU ini tapi hukum acara hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban mengikuti RUU ini. Hal itu terdapat di Pasal 47. Jadi, RUU ini menjadi payung hukum pelanggaran kekerasan seksual yang diupayakan semaksimal mungkin melindungi korban. Oleh karena itu, masukan Bapak/Ibu kami upayakan terakomodasi ke dalam draft sesuai dengan apa yang kami sampaikan diatas, bahwa RUU ini merupakan tindak pidana khusus, maka harus ada korban untuk menjadi dasar penindakan.
  • Pada bagian pertama konsideran, TIm Ahli Baleg telah sempurnakan sesuai masukan Prof. Zainudin Maliki bahwa kekerasan seksual merendahkan harkat martabat dan merusak keseimbangan hidup manusia, manusia dalam hal ini adalah korban, serta mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat. Yang kedua, pada bagian ketentuan umum umum kami memasukkan para penyandang disabilitas sesuai dengan masukkan beberapa Anggota Panja, kami ditempatkan dalam Ketentuan Umum (KU) Nomor 9 yaitu penyandang disabilitas adalah setiap orang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama ia menjalani berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Ini sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2016.
  • Selain itu, terkait penyandang disabilitas ini kami juga sudah menyusun di Pasal 20 Ayat 5 dan 6 itu sudah mengakomodasi penyandang disabilitas kesaksiannya itu sama dengan bukan penyandang disabilitas. Hal tersebut sudah disampaikan pada Rapat Panja yang lalu.
  • Perbaikan term rehabilitasi di dalam Ketentuan Umum untuk akuntabilitas kami menghilangkan kata korban pada draft sebelumnya, karena rehabilitasi justru lebih banyak diterapkan untuk pelaku guna mencegah keberulangan kasus.
  • Tim Ahli Baleg menyusun asas dan tujuan sesuai masukan Bapak/Ibu agar nanti memberikan arah keseluruhan RUU. Tadinya kami tidak susun karena pada undang-undang tindak pidana lazimnya tidak perlu ada asas dan tujuan, namun menyadari ini juga menyusun hukum acara khusus kekerasan seksual dan mengatur pencegahan harus dilakukan, maka sebaiknya memang diperlukan batasan asas dan tujuan (Pasal 2 dan 3).
  • Selanjutnya, Pasal 5, 6, dan 7, sebenarnya bukan konsep terkait pemaksaan kontrasepsi, poinnya adalah medical concern. Terkait pemaksaan kontrasepsi pada Pasal 5 dan 6, sebenarnya harus diatur juga pemaksaan aborsi, tetapi karena sudah diatur di dalam KUHP, kami tidak mengatur lagi di sini.
  • Persetujuan dimaksud adalah medical concern yang biasa diberikan pasien sebelum diberikan treatment atau pembedahan oleh dokter atau tenaga medis, karena tindakan itu akan menyebabkan konsekuensi kepada pasien. Demikian penjelasannya.
  • Bu Luluk pernah menanyakan pemaksaan hubungan seksual, benar bahwa itu sebenarnya penyebutan lain dari pemerkosaan, karena awalnya kami menganggap tidak mungkin RUU ini tidak memuat kata perkosaan. Padahal, perkosaan sudah diatur di dalam RKUHP dan karena itu kami mencari kata lain yang sama artinya dengan perkosaan. Namun sebenarnya karena RUU ini akan menjadi payung hukum acara pidana terhadap semua pelanggaran kekerasan seksual, seandainya tidak diatur dalam RUU ini akan tetap ditindak sesuai dengan RUU ini, meskipun ada di RKUHP.
  • Pada Pasal 62, sesuai masukan Bapak/Ibu terkait pencegahan untuk lebih memprioritaskan kelompok rentan, yaitu anak dan penyandang disabilitas, maka kami memasukkan point Panti Yatim dan Panti Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Bentuk pencegahan itu lebih rinci diharapkan dapat diatur di dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang akan menjadi delegasi RUU ini. Misalnya dalam bentuk kunjungan rutin tidak terjadwal ke panti panti tersebut dengan menyertakan psikolog untuk membaca gelagat para penghuni panti. Jadi bukan dalam bentuk laporan panti semata, sehingga dapat terjadi deteksi bila terjadi sebenarnya kasus-kasus kekerasan seksual.
  • Selama ini info yang kami terima tidak pernah ada pengurus panti yang menjadi terpidana artinya sudah melewati semua proses peradilan selama ini, sehingga semua kasusnya terhenti begitu saja, meskipun terjadi kekerasan seksual.
  • Pasal 66 menjadi 2 ayat karena pada draft sebelumnya pada Pasal 65 dan 66 itu dipisah, tetapi setelah kami cek kembali itu seharusnya hanya satu pasal dengan 2 ayat. Kami sampaikan ini untuk akuntabilitas, karena jumlah pasalnya meskipun ditambah 2 pasal pada hasil akhirnya hanya bertambah satu pasal. Jadi, dari 74 pasal menjadi 75 pasal.
  • Demikian hasil perubahan draft berdasarkan masukkan Rapat Panja sebelumnya. Mohon maaf apabila ada kekurangan, karena ada masukan yang belum diakomodasi disebabkan akan mengubah sepenuhnya draft ini, seperti masukan-masukan misalnya judul, apabila hanya tindak pidana artinya dimungkinkan tidak adanya korban, sehingga tidak dibutuhkan penindakan. Pengaturannya akan lebih bersifat normatif dan arahnya berubah dari RUU yg semula bertujuan untuk melindungi korban kekerasan seksual yg ada saat ini.
  • Masukan dari kami adalah hal-hal terkait masukan yang mengakomodasi misalnya penyimpangan seksual, norma, budaya, dan norma agama untuk diatur, maka itu memerlukan RUU yang berbeda dari RUU TPKS ini, karena dia akan lebih bersifat normatif mengatur masyarakat dan bukan menindak pelaku yang menimbulkan korban kekerasan seksual seperti yang menjadi tujuan dari RUU ini.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan