Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pemantauan dan Peninjauan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah — Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Perusahaan Pengelolaan Sampah

Tanggal Rapat: 16 Jun 2022, Ditulis Tanggal: 28 Jun 2022,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Perusahaan Pengelolaan Sampah

Pada 16 Juni 2022, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Perusahaan Pengelolaan Sampah mengenai Pemantauan dan Peninjauan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh M. Nurdin dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dapil Jawa Barat 10 pada pukul 13.25 WIB. (Ilustrasi: dlh.bulelengkab.go.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Perusahaan Pengelolaan Sampah

Akademisi ITB:

  • Seperti halnya suatu sistem yang lain, maka sistem pengelolaan sampah bisa kita bagi menjadi 2 bagian atau aspek, yaitu yang pertama adalah aspek teknis dan aspek non teknis yang mana kedua aspek ini saling mempengaruhi satu sama lain.
  • Di dalam aspek teknis di UU itu juga sudah dikemukakan ada tahapan pengurangan terlebih dahulu, kemudian penanganan sampah dimana penanganan sampah terdiri dari pewadahan, penampungan, pengumpulan dan pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir.
  • Pengumpulan dan pengangkutan itu membutuhkan armada, kemudian pengolahan dan pemprosesan karena berhubungan dengan kapasitas sampah yang besar, maka membutuhkan fasilitas yang spesifik juga.
  • Dari aspek non teknis ada peran serta masyarakat, pembiayaan, kelembagaan, dan pengaturan. Dari masing-masing aspek teknis dan aspek non teknis ini, Akademisi ITB coba untuk mengevaluasinya satu persatu.
  • Perwakilan Akademisi ITB mencoba untuk memperlihatkan potret pengolahan sampah di Indonesia saat ini. Pertama adalah dari aspek teknis. Terkait dengan pengurangan, di dalam tahapan pengurangan sampah ini memang capaian target pengurangan sampah masih belum dapat diukur dengan metode yang memadai, sementara di dalam Peraturan Presiden sudah ditetapkan target pengurangan sampah itu adalah 30%. Akademisi ITB tahu pengurangan sampah juga dilakukan oleh sektor informal tetapi di mana kehadiran Pemerintah masih dirasakan kurang berhubungan dengan pendampingan, pembimbingan, dan intervensi dari sektor formal termasuk adalah Pemerintah.
  • Jadi, sektor informal selama ini dinegasikan atau diabaikan dalam suatu sistem pengelolaan sampah, sementara capaian mereka mengumpulkan sampah itu dinilai sebagai pengurangan yang dilakukan oleh Pemerintah. Bisa dikatakan overclaim.
  • Terkait adalah pendataan timbulan. Ini sangat penting berhubungan dengan seberapa besar prasarana sarana yang harus dibutuhkan. Pemerintah Kota/Kabupaten memang diwajibkan untuk membuat perencanaan induk tetapi umurnya sudah sekian puluh tahun atau kemudian pendataan timbulan dan juga karakteristik sampah termasuk komposisinya tidak dilakukan dengan metode yang memadai dan juga tidak dilakukan secara berkala, sehingga ketika data dasar perencanaan itu tidak ada, tentu saja Pemerintah Daerah hanya berdasarkan feeling saja. Di dalam UU 18/2008 sudah disebutkan bahwa penghasil sampah orang dan seterusnya termasuk badan hukum tetapi yang perlu saya highlight di sini bisa saja penghasil sampah itu adalah pemanfaatan produk (konsumen) tetapi yang mungkin belum tersentuh secara eksplisit di dalam definisi undang-undang yang ada itu adalah penghasil produk, karena kita tahu ketika suatu produk itu dihasilkan, maka pada suatu saat dia akan juga menghasilkan atau menjadi sampah. Hal itu masih belum tereksplisitkan di dalam undang-undang yang ada walaupun kemudian sekarang sudah ada PerMen LHK terkait roadmap kewajiban produsen. Ada roadmap-nya dari PerMen LHK terkait dengan Extended Producer Responsibility (EPR). Jadi tanggung jawab produsen bukan hanya ketika barang itu sudah sampai ke konsumen, tetapi berbagai macam by produk, kemasan, dan produknya sendiri itu seharusnya ada tanggung jawab produsen. Menurut Akademisi ITB harus ada insentif dan harus ada lintas sektor perdagangan, perindustrian, dan seterusnya. Terkait ketersediaan prasarana yang belum memadai, terutama terkait dengan keberadaan (Tempat Pemrosesan Akhir). Di banyak kasus Kota/Kabupaten ketika mencari TPA mencari jarak yang jauh yang belum ada aksesnya. Begitu, kemudian ada TPA dibukakan aksesnya, permukiman menjadi tumbuh di sana, tetapi ketika TPA itu ingin dikembangkan ada persyaratan lokasi TPA terhadap permukiman.
  • Prioritas penanganan sampah sudah dicantumkan juga bahwa untuk kesehatan, perlindungan lingkungan, dan seterusnya dan termasuk juga sebagai sumber daya. Namun, seharusnya menurut saya itu menjadi prioritas yang kesekian karena ketika itu sudah menjadi suatu sumber daya, maka harus diiringi dengan tahapan yang berikutnya yang di Indonesia masih relatif kurang. Industri yang mampu memanfaatkan sampah, walaupun ada begitu tetapi masih relatif kurang.
  • Hal itu kemungkinan karena belum adanya insentif yang lebih dari Pemerintah. Potret pengolahan sampah dari aspek non teknis ada 4. Pertama adalah peran serta masyarakat.
  • Selama ini kita mengharapkan peran serta masyarakat itu lebih banyak finansial. Finansialnya pun sangat sedikit, kalau dihitung kita membuang sampah sangat murah yaitu hanya Rp200 per orang per bulan. Retribusi tanah ini sangat kecil.
  • Bagaimana kemudian Pemerintah Daerah dapat memberikan pelayanan yang baik ketika kontribusi dari masyarakat sebagai penghasil sampah itu menjadi sangat kurang.
  • Bukan hanya finansial tetapi juga ada lingkup yang lain seperti kebiasaan sehat, tidak membuang sampah, dan seterusnya. Besaran dan tingkat partisipasi kontribusi pembiayaan tadi masih sangat rendah.
  • Keberpihakan politik anggaran masih sangat rendah, karena seharusnya pengelolaan sampah itu harus masih dianggap sebagai call center, karena masih sebagai public services, di mana Pemerintah harus hadir untuk menyediakan pelayaran pengelolaan sampah. Kalau kita menghitung benefit ada berbagai macam komponen yang tidak bisa diuangkan secara langsung, tetapi sebenarnya bisa diuangkan.
  • Biasanya Pemerintah Pusat sudah berinisiatif mengetahui bahwa Pemerintah Daerah itu ada keterbatasan anggaran, sehingga untuk investasi biasanya juga bisa dibantu oleh Pemerintah Pusat, tetapi masalahnya adalah ketika Pemerintah Pusat sudah membangunkan TPA dengan kaidah rekayasa ilmiah yang sudah sesuai, tetapi ketika operasionalnya mengharapkan dari Pemerintah Daerah, ini yang menjadi masalah, sehingga operasionalnya menjadi tidak baik atau tidak memadai. Biasanya ketika ada Pemerintah Daerah yang menginginkan adanya bantuan investasi dari PUPR, mereka harus mencantumkan atau melampirkan Surat Komitmen.
  • Menurut Akademisi ITB, itu kurang terlalu kuat, karena hanya pada tataran komitmen saja, tidak secara regulasi. Mungkin bentuknya harus ada Peraturan Daerah terlebih dahulu, sehingga memastikan berbagai macam investasi prasarana sarana yang diadakan oleh Pusat bisa dioperasikan dengan baik. Ketiga berkaitan dengan kelembagaan. Secara ideal harus ada pemisahan antara regulator dan operator. Yang terjadi saat ini adalah siapa yang menetapkan peraturannya tidak boleh membuang sampah dan seterusnya, kemudian yang melakukan pengumpulan pengangkutan juga Pemerintah Daerah yang kemudian tidak bisa menyediakan 100%, artinya akan ada sisa yang tercecer dan yang akan menegakkan Pemerintah Daerah juga. Jadi, ibaratkan jeruk makan jeruk. Ada regulator dan operator yang menjadi satu, walaupun sekarang sudah ada upaya pembentukan UPTD atau BLUD tapi kembali lagi karena idealnya adalah operator dan regulator itu harus dipisah, maka harusnya ada berbagai macam bentuk insentif kepada swasta yang akan berkecimpung atau yang akan masuk ke dalam pengelolaan sampah untuk operatornya.
  • Jadi bayangan Akademisi ITB, kalau di luar negeri Pemerintah Daerah sudah menentukan siapapun boleh melakukan pengangkutan tetapi harus memenuhi syarat-syarat.
  • Terkait diseminasi yang juga berkaitan dengan capacity building atau kelembagaan daerah. Ini sangat penting, karena apapun bentuk kelembagaan pengelolaan sampah di daerah itu rotasinya sangat cepat sehingga bagaimana kita dapat mengharapkan kinerja yg baik ketika itu rotasi sangat cepat. Terlebih, kualifikasi pekerja lapangannya tidak terlalu baik, sehingga diseminasi ataupun capacity building menjadi penting. Itu yang masih dirasakan kurang.
  • Terkait dengan beberapa usulan mengenai definisi. Misalnya definisi Penghasil Sampah itu ditambahkan produsen barangnya, kemudian definisi Jenis Sampah Rumah Tangga itu bisa ditambahkan “dan/atau yang memiliki karakteristik sama dengan sampah rumah tangga". Ada di beberapa bagian di undang-undang ini yang sebenarnya sudah diamanatkan, tetapi masih belum dilaksanakan oleh Pemerintah.
  • Diantaranya adalah kewenangan Pemerintah Kabupaten termasuk juga ada beberapa kebutuhan Peraturan Pemerintah yang masih belum diwujudkan, walaupun kemudian ada yang bisa di merge.
  • Termasuk diantaranya dari sisi teknis adalah dalam undang-undang itu seharusnya tidak boleh lagi ada TPA pendamping yang cuman dikumpulkan saja di satu tempat. Seharusnya itu tidak boleh lagi ada.
  • Kenyataannya pada saat ini pun masih banyak ditemui dan itu dominan. Hanya Pemerintah Daerah yang memiliki komitmen dan juga kekuatan finansial yang bisa mengoperasikan TPA dengan baik dan benar.
  • Perwakilan Akademisi ITB berdiskusi dengan beberapa pegiat di nasional maupun daerah ternyata rencana untuk meninjau ulang undang-undang atau menyempurnakan undang-undang ini ada dua suara. Pertama, ikut sepakat dan mendorong. Kedua, mereka merasa tidak perlu. Mereka menilai undang-undang tahun 2018 sudah cukup yang hilang adalah bagaimana disiplin kita untuk mengimplementasikannya.
  • Menurut Akademisi ITB undang-undang ini yang usianya sudah 14 tahun belum ada perubahan signifikan. Parameternya;
    • TPA yang ditutup belum sebanyak itu
    • Cakupan pelayanan belum 100%
    • Pengelolaan sampah belum jadi prioritas
  • Sebenarnya tidak sepenuhnya berbagai elemen tidak bekerja. Akademisi ITB mengapresiasi Pemerintah melakukan banyak inisiatif Akademisi ITB membayangkan inisiatifnya berantakan, tidak terintegrasi menjadi satu panduan yang harmonis.
  • Di dalam pemerintahan pun banyak PR. Salah satunya adalah anggaran Dinas Lingkungan Hidup itu kecil dan urusan sampah dibawah Dinas Lingkungan Hidup.
  • APBD tidak bisa diandalkan untuk memenuhi 100% cakupan pelayanan dan pengelolaan sampah yang baik. Menurut Akademisi ITB solusinya adalah menciptakan pendanaan baru yang tidak bergantung pada APBD yaitu siapa yang membuang sampah dia yang bayar.
  • Akademisi ITB harus mendorong retribusi berkeadilan dan layak. Artinya per Kg sampah nilainya harus layak prinsipnya ekonomi menengah ke bawah disubsidi dan menengah ke atas membayar.
  • Jadi Kota/Kabupaten akan sangat kesulitan mengatasi masalah sampah kalau tidak dimodali.

Perusahaan Pengelolaan Sampah:

  • Tentang master plan, betul Perusahaan Pengelolaan Sampah mendorong Kota/Kab memiliki masterplan sayangnya masterplan ini designnya fokus ke teknis. Asumsi pembuat masterplan ini harus didanai APBD dimana statemen kami APBD itu tidak mampu ujung-ujungnya masterplan ini jadi dokumen yang tidak pernah dieksekusi karena tidak ada dananya.
  • Jadi sorotan evaluasi kami hampir seluruh peraturan undang-undang di level nasional sebenarnya sudah telah dibuat walau penerbitannya suka telat.
  • Lembaga yang mengurusi sampah banyak sekali. Karena Value chain nya panjang. Kalau dinilai perlu diperlukan badan khusus menurut Perusahaan Pengelolaan Sampah itu langkah yang tepat.
  • Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sudah lumayan ada, artinya masih perlu ditingkatkan.
  • Tentang peran serta masyarakat. Ternyata tingkat ketidakpedulian masyarakat terhadap isu lingkungan salah satunya adalah isu sampah.
  • Perusahaan Pengelolaan Sampah juga menyampaikan aspirasi dari teman-teman researcher yaitu sistem persampahan sangat sulit dibangun di dalam sistem birokrasi yang masih belum beres.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan