Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Hasil Harmonisasi RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) — Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Rapat Pleno dengan Pengusul RUU KSDAHE (Komisi 4 DPR-RI)

Ditulis Tanggal: 22 Feb 2022,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Pengusul (Komisi 4 DPR-RI)

Pada 20 Januari 2022, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI mengadakan Rapat Pleno dengan Pengusul RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) mengenai Hasil Harmonisasi RUU tentang KSDAHE. Rapat Pleno ini dibuka dan dipimpin oleh Supratman Andi Agtas dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dapil Sulawesi Tenggara pada pukul 10.31 WIB. (ilustrasi: inapos.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pengusul (Komisi 4 DPR-RI)
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) telah berumur lebih dari 30 tahun, dan saat ini lingkup pengaturannya dinilai belum mengakomodir perubahan-perubahan yang telah terjadi, di antaranya:
    • Berubahnya sistem politik dan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dan demokratisasi;
    • Terjadinya tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antar-kementerian di bidang konservasi; dan
    • Perubahan pada tataran global berupa bergesernya beberapa kebijakan internasional dalam penyelenggaraan konservasi.
  • Pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE belum mengakomodir prinsip-prinsip konservasi yang telah diratifikasi di dalam beberapa perjanjian internasional, yaitu terkait dengan Konvensi CBD, Cartagena, dan Nagoya.
  • Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE masih bersifat umum dan terlalu banyak didelegasikan di dalam peraturan pelaksanaannya.
    • Poin 1-3 diakomodir dalam perubahan butir a s.d. f yang dijadikan pertimbangan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE.
  • Masih diperlukan adanya penyeragaman istilah dan penyempurnaan redaksional definisi terkait Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
    • Poin 4 diakomodir dalam perubahan pada Pasal 1 dengan beberapa perbaikan, yaitu berupa:
      • Perbaikan redaksional pada definisi Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam;
      • Perubahan definisi dilakukan pada definisi Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, Ekosistem, dan Cagar Biosfer;
      • Penambahan definisi mengenai Perlindungan Sistem, Penyangga Kehidupan, Pengawetan Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pemanfaatan Keanekaragaman Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, Tumbuhan, Kawasan Konservasi, Ekosistem Penting di Luar Kawasan Konservasi, Konservasi in situ, Konservasi ex situ, Masyarakat Hukum Adat, Korporasi, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah.
  • Sumber Daya Alam Hayati terdapat pada tiga tingkatan, yaitu pada tingkat genetik, jenis, dan ekosistem. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama Sumber Daya Alam Hayati tersebut mempunyai fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, dimana konservasi terhadap Sumber Daya Alam Hayati harus mampu menghasilkan dan memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Untuk itu, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan, pengawetan keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE belum mengatur mengenai kebutuhan dasar hidup manusia. Untuk itu, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan, pengawetan keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE belum mengatur mengenai konservasi di tingkat genetik, terutama dalam kegiatan perlindungan dan pengawetannya.
  • Konservasi dilakukan di wilayah darat, perairan, maupun di pesisir dan pulau-pulau kecil. Saat ini, lingkup pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE lebih menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi di darat, sementara pengaturan atas konservasi di wilayah perairan, maupun pesisir dan pulau-pulau kecil materinya dirasa masih kurang. Disamping itu, pengaturan konservasi di wilayah perairan, maupun pesisir dan pulau-pulau kecil saat in masih tersebar di beberapa undang-undang.
  • Guna terjaminnya kelestarian manfaat Sumber Daya Alam Hayati dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, maka kegiatan konservasi terhadap Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan tidak hanya di Kawasan Konservasi, tetapi juga dilakukan di luar Kawasan Konservasi. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE belum mengatur penyelenggaraan konservasi di luar kawasan konservasi.
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE dinilai belum memberikan peran yang maksimal kepada badan usaha/lembaga non pemerintah, peneliti dan akademisi, para pegiat konservasi, serta pihak pemangku kepentingan lainnya dalam kegiatan konservasi.
    • Poin 5 s.d. 8 diakomodir dalam:
      • Perubahan Pasal 2 tentang asas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
      • Perubahan Pasal 3 mengenai tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
      • Perubahan Pasal 5 mengenai rang, lingkup wilayah, dan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
      • Perubahan Pasal 7 mengenai tujuan perlindungan sistem penyangga kehidupan.
      • Perubahan Pasal 8 mengenai penyelenggaraan perlindungan sistem penyangga kehidupan.
      • Perubahan Pasal 9 mengenai hak dan kewajiban para pemegang hak atas tanah pada ekosistem penting di luar kawasan konservasi.
      • Perubahan Bab Ill (Pasal 11 s.d. 13) secara keseluruhan yang mengatur pengawetan keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yang dilakukan mulai dari level genetik, jenis, hingga ekosistem sehingga terjamin keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
      • Perubahan Pasal 14 mengenai Kawasan Suaka Alam.
      • Perubahan Pasal 16 mengenai sistem pengelolaan Kawasan Suaka Alam.
      • Perubahan Pasal 20 mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang dilakukan dengan menetapkan status perlindungan jenis tumbuhan dan satwa dalam tiga kategori beserta aturan pemanfaatannya.
      • Perubahan Pasal 26 s.d. 28 pada Bab VI yang mengatur mengenai pemanfaatan secara lestari keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
      • Perubahan Pasal 29 s.d. 35 pada Bab VI yang mengatur mengenai pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam, termasuk di dalamnya pemanfaatannya.
      • Perubahan Pasal 36 mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
  • Saat ini, lingkup pengaturan konservasi mencakup seluruh aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan. Perlu adanya pengaturan yang komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE untuk menjamin pemulihan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terhadap kawasan konservasi yang sudah terlanjur rusak.
    • Poin 9 diakomodir dalam perubahan Pasal 10 mengenai pemulihan terhadap wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami degradasi, rusak, atau hancur, baik yang berada di kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi yang merupakan ekosistem penting bagi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
  • Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE perlu adanya ketentuan pengaturan mengenai ketentuan pemanfaatan keanekaragaman genetik tumbuhan dan satwa yang diatur dengan undang-undang tersendiri.
    • Poin 10 diakomodir dalam penambahan satu pasal di antara Pasal 28 dan Pasal 29 (Pasal 28A) mengenai ketentuan pemanfaatan keanekaragaman genetik Tumbuhan dan Satwa yang diatur dengan undang-undang.
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE dinilai belum memberikan peran yang maksimal kepada masyarakat, terutama masyarakat sekitar Kawasan Konservasi dan Masyarakat Hukum Adat dalam kegiatan konservasi. Selanjutnya, kearifan lokal masyarakat di sekitar Kawasan Konservasi dan Masyarakat Hukum Adat merupakan hal penting yang juga perlu diperhatikan.
    • Poin 11 diakomodir dalam perubahan Pasal 37 yang mengatur mengenai peran serta masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat sekitar kawasan kawasan konservasi dan masyarakat hukum adat.
  • Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE perlu pengaturan yang lebih jelas mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, koordinasi antar-kementerian, serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam rangka keberhasilan penyelenggaraan konservasi.
    • Poin 12 diakomodir dalam perubahan Bab X (Pasal 38 s.d. 38B) mengenai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
  • Penyelenggaraan Konservasi dan pengelolaan pengelolaan Kawasan Konservasi memerlukan dana yang cukup dan terjamin setiap tahun berdasarkan Rencana Pengelolaannya. Selaras dengan model pengelolaan kolaboratif, sumber pendanaan untuk pengelolaan Kawasan Konservasi idealnya merefleksikan kontribusi dari masing masing pemangku kepentingan. Pendanaan yang berkelanjutan mencakup aspek perolehan pendapatan termasuk upaya penggalangan dana, penggunaan dana yang merujuk pada perencanaan, regulasi keuangan yang berlaku termasuk otonomi daerah, keuangan negara, dan regulasi lain yang terkait, serta administrasi pengelolaan dana yang dilakukan. Oleh karenanya, pendanaan menjadi hal penting untuk diatur dalam perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE.
    • Poin 13 diakomodir dalam penambahan bab baru mengenai pendanaan (Bab XA, Pasal 38C).
  • Lingkup pengaturan mengenai sanksi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE dipandang masih belum memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan konservasi, karena ada beberapa tindakan yang belum diatur seperti perusakan dan/atau perambahan kawasan konservasi serta perburuan dan/ atau perdagangan ilegal terhadap tumbuhan dan satwa dilindungi.
    • Poin 14 diakomodir dalam:
      • Penghapusan Pasal 19 mengenai larangan kegiatan di Kawasan Suaka Alam.
      • Penghapusan Pasal 21 mengenai larangan setiap orang terkait konservasi keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
      • Penghapusan Pasal 22 mengenai pengecualian larangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21.
      • Penambahan bab baru (Bal XB) mengenai larangan yang semula berada pada Pasal 19, 21, dan 22 yang dihapus dan sudah disesuaikan pengaturannya dengan substansi perubahan
      • Perubahan Pasal 39 Bab XI mengenai penyidikan.
      • Perubahan Pasal 40 Bab XIl mengenai ketentuan pidana.
  • Beberapa usulan perubahan bab dan/atau pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE dalam rangka mengakomodir pengaturan penyelenggaraan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah:
    • Penambahan bab baru (Bab XIIA, Pasal 40D) mengenai ketentuan pelaksanaan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    • Penambahan satu pasal di antara Pasal 42 dan Pasal 43 (Pasal 42A) yang mengatur mengenai peraturan peralihan terhadap kepemilikan bagian-bagian dari satwa yang dilindungi sebelum undang-undang ini diubah.
    • Penghapusan Pasal 44 mengenai penyebutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 sebagai Undang-Undang tentang Konservasi Hayati.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan