Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan atau Pandangan terhadap RUU tentang Perubahan Kedua atas UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) - RDPU Komisi 1 dengan Pakar atau Akademisi

Tanggal Rapat: 25 Jan 2023, Ditulis Tanggal: 24 Feb 2023,
Komisi/AKD: Komisi 1 , Mitra Kerja: Edmon Makarim, Akademisi UI

Pada 25 Januari 2023, Komisi 1 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pakar atau akademisi tentang masukan atau pandangan terhadap RUU tentang Perubahan Kedua atas UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Rapat dipimpin dan dibuka oleh Abdul Kharis dari Fraksi PKS dapil Jawa Tengah 5 pada pukul 12.00 WIB. (Ilustrasi: Lampung-I News.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Edmon Makarim, Akademisi UI
  • Terkait keberadaan internet yang berawal dari sistem pertahanan yang kemudian dimanfaatkan oleh dunia pendidikan dan industri-perdagangan.
  • Kita cermati bahwa pembicaraan tentang keberadaan sistem komunikasi elektronik global yang berbasis komputer sesungguhnya telah ada sebelum dipopulerkannya internet untuk pemakaian publik.
  • Indonesia dengan UU ITE mendapatkan pandangan dari akademisi Australia, karena di dalamnya ada soal informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah.
  • Catatan dalam implementasi UU ITE:
    • Pengertian terhadap pengumuman secara online yang berarti mendistribusikan suatu informasi elektronik baik secara aktif maupun pasif, baik dengan sistem komunikasi privat maupun publik.
    • Kebijakan blocking dan filtering yang dapat berhalangan dengan prinsip Net-neutrality dan dapat berpotensi unfair competition di belakang hari.
    • Online advertising yang bersifat mengganggu seperti melakukan pencegatan pada saat pengguna mengakses internet via mobile tellecomunication.
    • Perkembangan Directive on e-signature menjadi e-IDAS dan pembahasannya di UNCITRAL.
    • Isu online privacy dan pelindungan data pribadi yang kemudian sudah diatur lebih lanjut menjadi UU Khusus PDP, namun masih ada beberapa hal yang belum sesuai harapan, khususnya isu kelembagaan independent dan tanggung jawab pemerintah sebagai pengelola data pribadi.
    • Tanggung jawab kepastian penghapusan data pribadi terhadap perolehan yang tidak halal baik dalam negeri maupun luar negeri.
    • Isu tanggung jawab dan kewenangan pemerintah dalam cybersecurity, apakah dapat dimasukkan dalam revisi UU ITE karena ada syarat keamanan, ataukah harus memerlukan satu UU tersendiri.
    • Kemungkinan tindakan retaliasi ataupun counter-meesures oleh pemerintah terhadap tindakan lain yang ofensif kepada sistem elektronik di Indonesia yang dapat berpotensi konflik antar bangsa dan negara.
    • Perbedaan definisi IE dan DE, serta e-signature dan e-certificate yang cenderung masih agak membingungkan dan terkesan belum mencakup identitas digital.
    • Definisi Penyelenggara Sistem Elektronik yang terkesan hanya operator padahal seharusnya mencakup berkontribusi dalam penyelenggaraan suatu sistem elektronik.
    • Definisi sistem elektronik yang hanya dipersepsikan sebagai sistem komputer padahal seharusnya mencakup sistem informasi dan sistem komunikasi serta Artifficial Intelegence. Sistem informasi sebagai suatu kebendaan ini akan berkonsekuensi dapat dilakukan penyitaan.
    • Pasal 5 (4) UU ITE yang terkesan kontraproduktif dengan ketetapan administrasi secara online dan tidak dapat bergeraknya pejabat umum menjalankan e-notary.
    • Kedudukan informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah dan mengikat yang dapat dikatakan sebagai (1) perluasan alat bukti yang telah dikenal atau (2) sebagai alat bukti baru yang berdiri sendiri sepanjang jelas peristiwa hukumnya dan subyektif hukum yang bertanggungjawab terhadap informasi elektronik tersebut.
    • Lebih banyak mengemuka cybercrime terhadap online defarmation ketimbang yang lainnya terlebih setelah revisi UU ITE yang merevisi ancaman, namun prosedural kembali terhadap KUHAP, sehingga mengakibatkan pertanyaan apakah kurang tepat substansi hukumnya atau pasca penerapannya, sejauh mana sebenarnya freedom of expressions, apakah kebebasan mutlak tanpa batasan dan pertanggungjawaban hukum?
  • Kalo kita bicara cyber crime ada 2 hal, yaitu computer as a target dan computer as a tool. Dengan adanya UU ITE sebagai lex specialis terhadap keberadaan sistem elektronik dan mencakup sistem elektronik yang berbasis internet protocol dan under protocol.
  • Sebenernya ada upaya dari Pemerintah untuk membuat UU konvergensi untuk menyatukan cara berpikir terkait telekomunikasi, media, dan informatika sebagaimana yang telah digambarkan.
  • Pasal 622 Ayat 1 huruf r UU 1/2023 tentang KUHP mencabut beberapa pasal pidana UU ITE, yaitu Pasal 27 Ayat 1, Pasal 27 Ayat 3, Pasal 28 Ayat 2, Pasal 30, Pasal 31 Ayat 1, Pasal 31 Ayat 2, Pasal 36, Pasal 45 Ayat 1, Pasal 45 Ayat 3, Pasal 45A Ayat 2, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 Ayat 2.
  • Catatan terhadap usulan revisi kedua:
    • Sebaiknya tidak hanya aspek pidananya saja melainkan juga aspek keperdataannya dan administrasinya.
    • Idealnya semua tindak pidana berada dalam 1 kodifikasi KUHP, namun karena sesuatu kekhususan, maka diperlukan rumusan cyber crime.
    • Ketegasan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dan mengikat, jika dihasilkan oleh sistem keamanan yang reliable dan rational certified.
    • Pencabutan Pasal 5 ayat (4) yang sesuai sejarahnya saat itu adalah untuk mencegah radikalnya perubahan media cetak ke elektronik dan mengikuti model Law e-commerce yang sekarangpun sudah ditiadakan. Faktanya semua dapat di elektronikan sehingga dari awal berpendapat bahwa seharusnya tidak ada ayat ini karena menghambat penerapan TIK, karena seharusnya dapat dikembalikan kepada dinamika pengaturan sektoralnya.



Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan