Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Draf Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) — Komisi 11 DPR-RI Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Keuangan (Menkeu), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Tanggal Rapat: 7 Mar 2016, Ditulis Tanggal: 6 Jul 2021,
Komisi/AKD: Komisi 11 , Mitra Kerja: Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Gubernur BI, dan Komisioner OJK

Pada 7 Maret 2016, Komisi 11 DPR-RI mengadakan Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Keuangan (Menkeu), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai Draf Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK). RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Ahmadi N. Supit dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) dapil Kalimantan Selatan pada pukul 10:52 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: katadata.co.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Gubernur BI, dan Komisioner OJK

Ahmadi N. Supit dari Fraksi Golkar Dapil Kalimantan Selatan 1

  • Pembahasan akan dimulai dari Pasal 3 ayat 2 yang menjadi krusial yaitu tentang pembagian pekerjaan sektor sekitar. Pasal 3 ayat 1 tidak ada masalah dan sudah disetujui. Pasal 3 ayat 2 terdapat a) moneter, b) fiskal, c) mikro dan makro prudensial, d) pasar keuangan, e) infrastruktur keuangan. Konsepnya belum ada, jadi perlu dijelaskan secara tertulis maksud dari pasar keuangan itu apa saja. Usulan Pasal 3 ayat d tidak diperlukan karena masuk ke Pasal 1. Dalam UU Pasal 1 tentang pasar keuangan dan infrastruktur keuangan dengan sistem masyarakat. Pasal 3 tentang keuangan lebih baik ditinggal saja dan ayat d memerlukan penjelasan. Pasal 3 disepakati.
  • Terkait Pasal 4 dalam pembahasan Panja adalah mengenai bank sistemik dan non sistemik.
  • Dalam Pasal 27 bank sistemik akan dibeli oleh KKSK. Dengan demikian tidak ada perubahan dalam Pasal 27.
  • Pasal 41 ayat 4 mengenai pendanaan program rekonstruksi yang masuk dalam pendanaan Pasal 51.
  • Kewenangan dalam keadaan darurat berada di tangan Presiden.
  • Pasal 42 ayat 4 huruf b merupakan bailout. Tidak ada peranan APBN dalam hal peminjaman.

Menteri Keuangan (Menkeu)

  • Menkeu sepakat dengan spirit yang dibahas di Panja tanpa ada pembagian.
  • Dalam konteks penanganan krisis keuangan, hal itu masuk ke dalam Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). UU Sektoral tetap berjalan dengan integrasi kewenangan masing-masing.
  • Untuk pasar modal, uang termasuk pasar surat berharga. Pasar keuangan masuk instrumen semuanya.
  • Pasal 3 ayat d masuk dalam Pasal pasar keuangan dimana definisinya dalam Pasal di surat berharga negara, pasar keuangan, dan sebagainya. Untuk Pasal 3 hanya yang berada di batang tubuh saja.
  • Menkeu membahas mengenai koordinasi dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
  • Dalam catatan yang dibahas adalah Ayat 2 huruf a-e. Menkeu meminta Pasal 3 ayat 2 ditambahkan huruf f mengenai resolusi bank.
  • Pasar keuangan mencakup pasar modal, pasar uang, dan sebagainya.
  • Pasal 3 ayat 2 huruf f mengenai resolusi bank terkait dengan re-solvabilitas sistem keuangan bank sistemik maupun nonsistemik. Dalam revolusi bank, harus dimasukkan mengenai UU huruf f dalam koordinasi dan pemantauan. Pasal 3 ayat 2 ini diharapkan dapat menjelaskan Pasal 1 agar KKSK ini benar-benar berjalan. Sudah sangat lengkap mengenai bank sistemik ayat 2 dalam pemantauan dan pengendalian keuangan.
  • Usulan Kemenkeu adalah 2 ayat dari penjelasan ayat 2 dan penjelasan dari ayat 1.
  • Pasal 3 ayat 2 mengenai pasar modal. Pasal 3 ini mengenai krisis Pasal 1 huruf c mengenai penanganan bank sistemik.
  • Dalam Pasal 27 tersebut terdapat pendanaan dari bank sistemik. Penanganan bank sistemik dilakukan oleh LPS. Kemenkeu mengusulkan tidak perlu dalam kondisi krisis. Untuk Pasal 27 jika bank sistemik krisis lebih baik dimasukkan ke dalam Pasal 51. Tentunya yang menjadi perhatian modalnya tersedia dan konsistensi pasal 27.
  • Pasal 27 dibuat secara konsisten.
  • Pasal 41 ayat 4 tetap karena itu membahas mengenai proses restrukturisasi perbankan dan bagaimana Pemerintah terlibat di dalamnya. Di Pasal 41 ayat 4 diharapkan dapat menjadi jembatan dengan negara. Tidak ada istilah dari LPS langsung ke perbankan dan ini bukan bailout seperti tahun 1998. Pemerintah ingin APBN bukan bailout untuk perbankan,tetapi untuk LPS. Cash dari penjualan surat berharga negara yang dipinjamkan ke LPS. terdapat Pasal 51 yang membahas mengenai LPS hanya bersifat pinjaman. Karena pinjaman, maka LPS harus mengembalikan pinjaman tersebut. Dari tulisannya memang tidak terlihat, tetapi nanti akan dilaporkan dalam pertanggungjawaban APBN.
  • Perbedaan JPSK yang sekarang dengan yang dulu adalah menekankan pada bailin. UU PPSK yang baru ini akan dimuat detailnya pada bailin. OJK mempunyai kewenangan untuk membuat aturan mengenai mekanisme bailin. Dalam kondisi berat yang mengejar potensi bank sistemik yang akan menjadi parah.
  • Pencegahan dan penanganan dalam hal jika dalam kondisi krisis adalah Presiden bisa menggunakan kewenangan eksekutifnya. Kalau bailout, bank tidak perlu mengembalikan suntikan dana.
  • Pinjaman diperlukan sebab dana LPS mengalami keterbatasan. Jika diatas Rp60 Triliun, LPS harus meminjam. Jika melakukan pinjaman ke BI, dalam proses peminjamannya harus mengeluarkan surat berharga.
  • Surat Utang Negara (SUN) bisa diterbitkan dan dibeli oleh Pemerintah kemudian diberikan ke LPS, tetapi LPS harus mengembalikan uang itu.
  • UU LPS ini bisa lex specialis terhadap UU Keuangan Negara. Konteks UU LPS dapat memperoleh pinjaman dari siapapun termasuk Pemerintah. Pinjaman ini adalah pinjaman Pemerintah ke LPS dan LPS mengembalikan dengan kontribusi dari bank-bank yang dijaminkan. Ketika LPS harus mengembalikan, pinjaman didapat dengan memperoleh premi bank tersebut. Kalau batasan pinjaman ini sudah batasan mati, maka perlu diubah UUnya.
  • Untuk Pemerintahan manapun kalau tidak ada UU PPSK maka sulit untuk menghadapi situasi-situasi yang tidak terbayangkan, misalnya tahun 1998. Jika tidak ada penjamin, UU JPSK tidak dapat mengakibatkan bank kolaps. LPS akan meminjam jika melebihi dari kapasitas LPS tersebut. Kemenkeu ingin menekankan bahwa Kemenkeu hanya memberikan pinjaman ke LPS jika ukuran krisis di luar kapasitas LPS. Pemerintah meminjamkan ke LPS. LPS dijaga kelangsungannya dan LPS akan dibuat perjanjian dengan negara. Kalau BI langsung meminjamkan ke LPS itu tidak bisa. Kalau Pemerintah memberikan pinjaman ke LPS, maka Pemerintah menerbitkan SUN dan dibeli oleh BI, kemudian dari BI dipinjamkan ke LPS. BI tidak boleh meminjam dari LPS dengan opsi Pemerintah mengeluarkan SUN dengan pembayaran bunga saat pengembalian. Jika ada kondisi dimana sistem kolaps, maka Pemerintah tidak boleh membiarkan hal itu terjadi setelah melalui mekanisme yang ada.
  • Saat ini tidak berbicara kondisi normal dan moral hazard, tetapi membicarakan UU yang lengkap.
  • APBN tidak dipakai begitu saja. Ada banyak proses. Pemerintah akan hadir di ujung mekanisme yang ada.
  • Untuk batasan, dibebaskan dengan ketentuan apa namun lebih baik dalam bentuk nilai uang.
  • Kalau Pemerintah membutuhkan dana untuk darurat APBN, maka Pemerintah bisa langsung menerbitkan SBN.

Gubernur Bank Indonesia (BI)

  • Dalam kondisi normal, bank yang dilikuidasi dijual ke pasar, sedangkan jika dalam krisis dijual ke BI. Likuiditas bisa dijual habis.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan