Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan terhadap RUU IKN - Rapat Panja Komisi 2 dengan Pakar

Tanggal Rapat: 18 Sep 2023, Ditulis Tanggal: 23 Oct 2023,
Komisi/AKD: Komisi 2 , Mitra Kerja: M. Herdiansyah (Pakar)

Pada 18 September 2023, Komisi 2 DPR-RI melaksanakan Rapat Panja dengan Pakar tentang masukan terhadap RUU IKN. Rapat dipimpin dan dibuka oleh Ahmad Doli Kurnia dari Fraksi Golkar dapil Sumatera Utara 3 pada pukul 11.25 WIB. (Ilustrasi: Radar Sampit)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Imam Koeswahyono (Pakar)
  • Tanah bagi bangsa Indonesia adalah satu objek yang memiliki esensi penting terutama bilamana dikaitkan dengan konstitusi bahwa tugas negara adalah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan serta kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia dan sehubungan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwasanya tugas negara adalah menguasai atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
  • Indonesia sebagai negara agraris, maka sudah barang tentu hubungan hukum antara bangsa Indonesia khususnya Petani dalam kaitanya dengan tanah sebagai sumber kehidupan dan penghidupan mereka. Sehubungan dengan itu, maka amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) direalisaikan oleh UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Di dalam UU ini terdapat asas atau pondasi dasar meliputi 9 hal : (1) Asas kebangsaan, Pasal 1, (2) Asas menguasai negara, Pasal 2, (3) Asas pengakuan hak ulayat, Pasal 3, (4) Asas hukum agraris nasional berdasarkan hukum adat, Pasal 5, (5) Asas fungsi sosial, Pasal 6, (6) Asas landreform, Pasal 7, 10, dan 17, (7) Asas tata guna tanah, pasal 13, 14, dan 15, (8) Asas kepentingan umum, Pasal 18, dan (9) asas pendaftaran tanah, Pasal 19.
  • Dari asas-asas tersebut, ada beberapa hal prinsip esensial: (1) Secara objektif, tanah memiliki karakteristik bersifat terbatas, tidak mungkin tanah untuk semua manusia. Oleh karena itu, maka yang dapat dilakukan adalah negara memberikan sebanyak mungkin manusia mendapatkan akses untuk memiliki tanah prinsip; (2) Secara subjektif, filosofis, dan kultural, karakter manusia Indonesia adalah Dwitunggal, sebagai makhluk individu dan sosial, sehingga dengan kondisi relatif ini akan melahirkan adanya hak yang dimiliki secara individual tetapi juga ada hak yang dimiliki secara komunal; (3) Berdasarkan sudut pandang negara hukum RI, maka di dalam perwujudannya memberikan hak-hak atas tanah sebagaimana tertera di dalam Pasal 16 ayat (1) dan memberikan berbagai bentuk atau macam-macam hak atas tanah; (4) Ditinjau dari konteks hak, maka harus terdapat keseimbangan antara hak individu dan kolektif atau perwujudan dari fungsi sosial; (5) Dimungkinkan pergeseran pemberian hak kepada individu dan kepada masyarakat atau dimiliki oleh negara. Tugas negara di dalam pemerintahan memperkuat hubungan-hubungan orang yang tidak dapat langsung memiliki akses terhadap sumber daya tanah, maka di dalam akses yang sifatnya publik ini, diciptakan suatu organisasi kelembagaan berupa subjek atas tanah, baik itu individual maupun yang berkarakter publik. Kemudian di dalam hal masyarakat tidak dapat memiliki akses terhadap sumber daya tanah, maka UU Pokok Agraria memberikan peluang aksesibilitas ini untuk mengolah tanah dalam bentuk bagi hasil tanah pertanian. Tugas negara di dalam hal ini adalah memperkuat dan menjamin tidak ada tujuan untuk menghilangkan hubungan hukum antara orang dengan tanah dengan menggunakan kekuasaan; dan (6) Membuat aturan organisasi badan hukum publik, membuat kebijakan dan pengaturan dalam perwujudan keseimbangan rakyat, dan melakukan desentralisasi di dalam tata kelola sumber daya agraria termasuk di dalamnya adalah tanah.
  • Dari apa yang diuraikan tadi, maka poin penting yang akan kami sampaikan adalah: (1) Pada pasal 5 bahwa hukum agraria Indonesia berdasarkan pada hukum adat maka dalam kerangka semangat nasionalisme, perwujudan dari asas yang terdapat di dalam Pasal 5 ini tentunya: menekankan kepada pentingnya kepastian hukum (legal certainty) atas tanah dan menghapuskan konsepsi hukum agraria kolonial. Oleh karenanya, di dalam dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal 5 itu diperlukan adanya suatu strategi di dalam memaknai dan menterjemahkan esensi pada Pasal 5 itu. Pertama, menerjemahkan dan memberikan interpretasi baru terhadap norma berdasarkan pikiran partisipatif; Kedua adalah menterjemahkan dan memberikan interpretasi baru atas norma berdasarkan interpretasi hermeneutika teks ke dalam konteks, menentukan perbuatan hukum dalam konsepsi hak tersebut ke dalam hak kebendaan dan hak perorangan, menentukan hak kebendaan yang lahir karena perjanjian atau menetapkan kedudukan fungsi peranan masyarakat khususnya masyarakat umum yang ada di dalam relasinya dengan tanah mengingat bahwa mereka lebih dulu ada daripada NKRI.
  • Secara esensial, maka perlu mempertimbangkan kembali memasukkan esensi hak kepemilikan de jure dan de facto dalam konteks relasi antara negara, masyarakat, masyarakat hukum adat, sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi.
  • Di dalam hal mengelaborasi pentingnya pengawasan ketat dan perbuatan dalam hal perbuatan pemberian hak atas tanah, termasuk di dalamnya adalah pengambilalihan tanah oleh negara. Mengelaborasi dan mengimplementasikan konsepsi dasar hukum pertahanan adat menurut para pemikir hukum adat bahwasanya hak-hak tersebut di dalam kenyataannya masih ada.
  • Di dalam kenyataan dilapangan terdapat beberapa macam status tanah yaitu berupa hak milik, hak penguasaan dan seterusnya yang sudah barang tentu perlu diakui, di akomodasi dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin kepastian dan adanya perwujudan dari nilai-nilai keadilan yang tertuju kepada kelompok masyarakat.
  • Di dalam kerangka revisi atas UU IKN, maka konsepsi yang dapat kami kemukakan dalam konteks ini adalah jangka waktu hak atas tanah yang berlaku secara umum dipandang mungkin kurang menarik bagi investasi dalam jangka panjang sehingga harus diatur jangka waktu yang berbeda dan bersifat kompetitif. Namun demikian, dalam kerangka inilah harus diingat walaupun dalam aras menarik investasi diperlukan adanya penyesuaian pengaturan yang dapat memberikan tanah di kawasan IKN, tidak hanya terbatas pada pemerintah pusat atau otorita IKN untuk melindungi hak-hak masyarakat baik individu, badan hukum, maupun masyarakat yang ada di wilayah kawasan IKN tersebut untuk dapat memiliki tanah di IKN baik keperluan individu maupun keperluan investasi.
  • Di dalam kerangka ini, maka dalam menegaskan keberadaan tanah sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat satuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan berkehidupan. Sedangkan capital asset, tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yg sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. Namun demikian, di dalam kerangka ini, pentingnya mengingat dan mengemplimentasikan bunyi Pasal 6 UU Pokok Agraria bahwasanya asas fungsi sosial hak atas sana memberikan kewenangan kepada pemilik hak untuk mempergunakan kepemilikan atas tanah dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan negara. Kepemilikan atas tanah bukan hanya merupakan hak tetapi lebih dari itu merupakan fungsi sosial. Kondisi ini memunculkan konsekuensi adanya hak dan kewajiban pemegang hak atas tanah dalam memanfaatkan tanah tersebut.

Gabriel Lele (Pakar)
  • Kalau melihat desain yang diusung oleh UU IKN beserta keseluruhan pengaturannya, secara umum bisa disimpulkan unsur asimetrisnya, cuman pertanyaannya lebih pada asimetri dalam konteks apa, untuk apa, dan konsekuensi yang harus diantisipasi.
  • Ada 3 isu krusial yang dikira masih terpenting untuk diklarifikasi dalam RUU perubahan ini adalah:
    • Urgensi atau rasionalnya
    • Model atau desainnya
    • Konsekuensi
  • Kalau kita melihat model asimetri IKN secara umum, perbandingan dengan berbagai negara, ada 4 poin yang harus diperhitungkan secara hati-hati:
    • Pilihan sistem, apakah ibukota nanti diberlakukan sebagai sebuah unit yang sifatnya itu Self Governing ataukah Share Governing. Sepertinya model yang diusung sampai dengan titik ini adalah model Self Governing;
    • Pilihan lokus ibukota, apakah ibukota akan diperlakukan sebagai wilayah sendiri atau bagian dari pemerintah daerah. Nampaknya, kuat sekali arah ke wilayah sendiri;
    • Dilema kepentingan, apakah nanti desain sebuah ibukota negara itu akan condong merefleksikan kepentingan nasional dan jika demikian bagaimana kemudian ruang untuk kepentingan lokalnya dan di titik itu ada catatan soal representasi yang dikira penting dan belajar dari pengalaman komparatif belum cukup diklarifikasi di dalam RUU yang ada;
    • Soal stabilitas atau efisiensi dan legitimasi.
  • Cakupan asimetri yang diberlakukan pada IKN umunya mencakup 3 hal yaitu secara politik, administratif, dan fiskal. Pakar kira cakupan asimetris secara administratif dan fiskal relatif sudah clear dalam RUU yang ada, tetapi cakupan asimetris secara politik masih samar-samar dan butuh klarifikasi soal kewenangan untuk mengambil keputusan strategis: hak legislasi dan diskresi secara regulasi.
  • Pertanyaan turunan ketika bicara asimetris politik, apakah yang diatur IKN hanya eksekutif atau eksekutif dan legislatif. Saya melihat sekilas condong hanya memilih eksekutif padahal saat yang bersamaan otorita IKN diberlakukan setingkat Kementerian dan saat yang lain juga sebagai pemerintah daerah, jadi perlu diklarifikasi. Kalau misal Kepala Otorita disebut sebagai Pemerintah Daerah yaitu Gubernur, lalu apakah akan dipilih langsung atau ditunjuk. Sepertinya sejauh ini memilih akan ditunjuk. Kalau ditunjuk, pertimbangan legitimasi vs stabilisasi/efesiensi. Soal kewenangan, apakah memiliki kewenangan legislasi atau semata-mata kewenangan regulasi.
  • Ada 3 model yang dirujuk dalam memberlakukan Ibu kota negara:
    • Model distrik/federal (Washington DC): ibu kota negara diberlakukan dengan status hukum khusus, diberi kewenangan yang berbeda tetapi tidak memiliki kedaulatan konstitusional membuat legislasi, hanya memiliki kewenangan secara regulatif, tidak memiliki representasi secara nasional. Dari pelacakan literatur, model yang paling umum bagi pembentukan ibu kota negara yang baru adalah model ini.
    • Ibukota Negara diberlakukan sebagai provinsi (Spanyol): ibu kota negara diberlakukan sebagai kota sekaligus provinsi otonom dengan perlakuan asimetris tetapi size nya relatif besar, pengelolaannya sedikit kompleks.
    • Ibukota dijadikan kota di dalam provinsi (Kanada): ibukota salah satu bagian dari provinsi yang diberlakukan sebagai asimetris.
  • Klarifikasi atas model yang mana akan membantu menjawab pertanyaan desain kelembagaan hanya eksekutif atau eksekutif dan legislatif. Jika legislatif dan eksekutif, bagaimana hal dan kewenangannya dan model pemilihannya seperti apa.
  • Institusionalis selalu percaya bahwa pilihan model apapun tidak ada yang benar dan salah sepenuhnya, setiap model ada plus minusnya, tinggal bagaimana memaksimalkan nilai positif sambil mengantisipasi nilai minusnya.
  • Ada 2 kecenderungan yang nantinya sangat mungkin terjadi di dalam penyelenggaraan pemerintah di ibukota ketika otorita diberlakukan selevel Kementerian sekaligus Pemerintah Daerah, biasanya 2 kecenderungan yang umum adalah kalau situasinya lagi baik-baik saja saling mengklaim, tetapi ketika situasinya bermasalah maka saling tolak tanggung jawab.
  • Saya berpendapat bahwa sebaiknya tidak dicampur antara otorita setara Kementerian, lalu pada saat yang bersamaan diberlakukan sebagai Pemerintah Daerah, yang diperlukan adalah kejelasan pilihan, untuk tahapan persiapan pembangunan pemindahan, otorita masih bisa difungsikan, tetapi begitu masuk ke taraf yang sudah normal di penyelenggaraan pemerintahan maka yang sepenuhnya dikembalikan sebagai pemerintah daerah. Kenapa begitu, karena 2 pilihan dengan konsekuensi yang berbeda ketika dicampur aduk maka kemudian konsekuensinya akan menjadi semakin serius.
  • Dalam RUU ini, perlu diatur secara eksplisit, soal bagaimana mengelola hubungan antar pemerintahan baik secara horizontal di daerah lain, kolaborasi di satu sisi dan kontestasi di sisi yg lain; secara vertikal dengan K/L, sinergi atau korkurensi maka harus ada klarifikasi yang jelas terhadap siapa bertanggung jawab atas apa dan kemudian harus dipertanggungjawabkan dengan mekanisme bagaimana; atau pengaturan-pengaturan tertentu yang sifatnya eksklusif, maka kemungkinan yang muncul adalah konflik.
  • Kalau ke depan, ada pikiran bahwa Otorita IKN akan mengikuti model-model ibukota negara lain, di mana ada eksekutif dan legislatif dan dua-duanya dipilih, maka yang harus diantisipasi adalah kemungkinan yang disebut sebagai kohabitasi politik, dimana eksekutif untuk ibukota negara berasal dari kekuatan politik tertentu yang sangat mungkin berbeda dengan kekuatan yang berada di balik eksekutif nasional.
  • Pasal 24 dan 25 diatur tentang pajak dan retribusi, prinsipnya secara normatif "no tax without representation" artinya kalau tidak ada wakil rakyat di situ sama sekali tidak boleh ada kewenangan untuk memungut pajak, kita memberikan kewenangan memungut pajak dan retribusi pada otoritas yang tidak dipilih oleh rakyat dan oleh karena itu kalau kita mau tertib dengan pengalaman-pengalaman komparatif, mungkin ini juga poin yang harus diklarifikasi.
  • Kita bisa memilih apakah desain yang dipilih saat ini adalah pemerintahan yang bersifat temporer transisional seperti model Amerika yang membutuhkan waktu sekitar 300 tahun untuk bisa sampai dengan kondisi yang seperti sekarang, kalau itu pilihannya lalu berapa lama masa transisinya. Atau pakai model yang sifatnya permanen sejak awal, kita menggunakan otoritas tetapi dgn beberapa klasifikasi, tinggal bagaimana visibilitas secara politik.







Yuli Indrawati (Pakar)
  • Sangat penting untuk menentukan sikap terkait lembaga apa yang akan digunakan atau yang dipilih karena ini akan berimplikasi kepada tata cara dari pengelolaan keuangannya.
  • Sebenarnya, dasar yang utama adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yg menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Dalam menjalankan pemerintahan tersebut, Presiden membentuk lembaga penyelenggara pemerintahan, dalam hal ini bisa dengan membentuk Otorita Ibukota Negara Nusantara, tentu karena ada ibukota negara maka sifatnya menjadi khusus maka disini melahirkan yang namanya Otorita Khusus. Otorita khusus ini ternyata mempunyai dua peran dan fungsi yaitu sebagai Lembaga Pemerintahan dan sebagai Pemerintah Daerah.
  • Jika Otorita IKN sebagai lembaga yang setara dengan Kementerian atau Lembaga dengan sifat-sifat khususnya, maka Saya menyarankan adalah suatu lembaga yang Sui-Generis, tidak seperti Lembaga Pemerintahan biasa tetapi ada sifat khususnya yaitu untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan persiapan dari keberadaan ibukota ini sendiri.
  • Sebenarnya kita sudah mengenal beberapa macam otorita selama ini. Kalau dasar pembentukan untuk Otoritas IKN adalah desentralisasi khusus, sementara Otorita lainnya adalah sifatnya teknis. Seperti Otorita Batam hanya mengurus perizinan atau perdagangan dan Otorita Borobudur hanya untuk pariwisata di lingkungan Borobudur. Kalau Otorita yang lain berada di bawah Kementerian teknis, maka Otorita IKN adalah sebagai lembaga pemerintah yang Sui-Generis artinya setara. Terkait tindakan pemberian kekuasaan pengelolaan keuangannya, kalau untuk otoritas lain maka sifatnya dilimpahkan artinya hanya mengurus atau sebagai pengguna saja, sedangkan kalau Otorita IKN maka dengan sifat kekhususan tersebut bisa dikuasakan, pengguna sekaligus pengelola anggaran.
  • Kalau Otorita IKN sebagai pengelola anggaran, maka bisa melakukan pengelolaan sendiri mulai dari perencanaan, melaksanakannya, termasuk didalamnya adalah dana yang bersumber dari APBN atau pendapatan lembaga pemerintahan itu sendiri atau pendapatan lainnya selaku pengelola anggaran. Dalam melakukan pinjaman, tetap harus melalui Kementerian Keuangan, demikian juga dalam menerima hibah dan pengelolaan atas Barang Milik Negara yang dikuasakan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  • Menurut pandangan kami, ketika ada penetapan pemindahan ibukota maka Otorita IKN sudah tidak layak sebagai lembaga pemerintahan Sui-Generis karena kalau Otorita IKN sebagai Pemerintah Daerah maka kedudukannya adalah sebagai subjek hukum, tidak lagi fungsinya sebagai teknis tetapi sudah fungsi otonom karena dengan adanya penetapan pemindahan ini maka diberikanlah wewenang otonomi.
  • Perbedaan mengenai pengelolaan pada Lembaga Pemerintah Sui-Generis dengan Pemerintah Daerah Khusus (1) Lembaga Pemerintah Sui-Generis tidak berwenang mengakui Barang Milik Negara sebagai Barang Milik Otorita, berbeda dengan Pemerintah Daerah Khusus yang setelah penetapan maka seluruhnya menjadi Barang Milik Daerah. Untuk itu, maka perlu ada pemindahtanganan dari negara kepada daerah; (2) Di dalam UU IKN, Otorita IKN dapat membentuk Badan Usaha. Pandangan kami, jika Otorita IKN sebagai lembaga pemerintah Sui-Generis maka tidak mungkin, karena membentuk badan usaha subjek hukum lain perlu adanya subjek hukum, dalam hal ini lembaga pemerintah Sui-Generis bukan subjek hukum. Namun, ketika Otorita IKN disebut sebagai Pemerintah Daerah Khusus maka mempunyai kewenangan untuk membentuk Badan Usaha, seperti BUMD; (3) Terkait dengan penerbitan surat berharga, kewenangan ini hanya dapat dimiliki pada negara dan daerah karena sebagai subjek hukum. Jadi, sepanjang Otorita IKN masih lembaga pemerintah Sui-Generis maka tidak diperkenankan untuk menerbitkan surat berharga, tetapi ketika sudah menjadi Pemerintah Daerah Khusus maka diperkenankan untuk menerbitkan surat berharga, baik obligasi ataupun suku; (4) Dasar pungutan pajak atau retribusi adalah harus ada persetujuan dari Wakil Rakyat karena ini sesuatu yang membebani rakyat. Ketika Otorita IKN masih sebagai Lembaga Pemerintah Sui-Generis maka tidak punya kewenangan tersebut, yang dipunyai adalah hak untuk menarik pungutan didasarkan pada pelayanan yang diberikan; (5) Terkait wewenang untuk melakukan pinjaman sendiri, Lembaga Pemerintah Sui-Generis tidak berwenang tetapi harus berkoordinasi kepada Menteri Keuangan karena pinjaman biasanya G to G, sementara Pemerintah Daerah Khusus bisa.
  • Organ dari Pemerintah Daerah Khusus tidak memiliki DPRD, sedangkan Pemda DKI memiliki DPRD. Menurut saya, Pemda Khusus IKN sifatnya administratif, lalu apakah ini nanti yang akan diinginkan atau tidak, silahkan dipikirkan manfaat dan kekurangannya masing-masing.
  • Terkait Pasal 23 yang membedakan pengelolaan sebagai Otorita IKN dan pengelolaan sebagai Pemerintah Daerah. Tanggapan saya, hal ini tidak bisa dilakukan secara bersamaan karena wewenang, fungsi, dan implikasinya berbeda Jadi perlu ditegaskan jenis lembaganya. Saya mengusulkan bahwa sampai ada penetapan boleh Otorita, setelah ada penetapan maka itu sebagai Daerah Persiapan atau Daerah Administratif tetapi dengan keterbatasan tertentu, lalu setelah itu barulah ditetapkan sebagai Daerah Otonom.
  • Pasal 24 mengenai dasar pelaksanaan pemungutan pajak, tanggapan saya adalah kalau bentuknya sudah menjadi pemerintah daerah barulah berwenang untuk memungut pajak. Kalau Peraturan Kepala Otorita IKN harus mendapatkan persetujuan DPR, tanggapan saya apakah iya DPR yang tingkatnya adalah nasional mengurusi hal-hal yang sifatnya adalah lokal? Selain itu, pengaturan ini harus berkoordinasi juga dengan Kementerian Keuangan tentunya karena ini berkaitan dengan sinergitas makro ekonominya.
  • Terhadap pasal 28, sebenarnya ini harus ada yang mewakili dari rakyat karena pengeluaran obligasi ataupun suku akan berimplikasi kepada pengeluaran dan anggaran bermakna kedaulatan, tanpa adanya unsur dari rakyat yaitu DPR atau DPRD maka sebenarnya secara filosofi sudah menyalahi.
  • Tanggapan terhadap Pasal 25, saran saya harus ada laporan kepada Kementerian Keuangan karena Menteri Keuangan adalah sebagai Bendahara Umum Negara sehingga harus tahu penggunaan atau pemanfaatan alokasi dari dana yang dari APBN. Dalam kedudukannya sebagai daerah, maka Otorita IKN menyusun pendapatan dan belanja daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah karena penetapan dari APBD merupakan wujud dari kedaulatan yang diwakilkan oleh DPRD.
  • Tanggapan Pasal 26, kalau sebagai lembaga pemerintah maka seharusnya disampaikan kepada DPR dan Presiden, tidak hanya sekedar dilaporkan. Untuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran dalam kedudukan sebagai daerah, maka ditujukan kepada DPRD sebagai wujud dari perwakilan rakyat daerah.
  • Tanggapan terhadap Pasal 32, pada saat pengalihan kedudukan, fungsi, dan peran ibukota negara kedudukan otorita, maka harus sudah beralih menjadi daerah. Perubahan kedudukan ini berimplikasi pada status kekayaan negara menjadi kekayaan daerah, maka perlu dilakukan pemindahtangan sesuai UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan tentang Barang Milik Negara atau Daerah.


M. Herdiansyah (Pakar)
  • Saya adalah petani di wilayah IKN dan melihat proses pemindahan ibukota harap-harap cemas, apakah ini akan berdampak positif atau negatif. Dari segi positif, kami melihat ini pangsa pasar yang luas apalagi dengan berpindahya ASN-ASN ke IKN maka ini peluang besar buat kami. Biar bagaimanapun, pangan adalah sumber utama dan untuk memulai suatu peradaban maka harus dimulai dari kedaulatan pangan.
  • Di dalam UU IKN, ada sekitar 10% wilayah delenasi IKN masuk dalam kawasan pangan dan ini yang perlu kita sikapi dengan bijak karena bicara sosial kemasyarakatan faktanya di IKN sebagian besar adalah petani.
  • Di Samboja, masyarakat sudah mulai meningkatkan produksi pertaniannya, bahkan kemarin kami launching kawasan hortikultura, targetnya 250 ha, setidaknya itulah semangat kami menyambut IKN.
  • Eksisting cadangan tanaman pangan di kawasan IKN seluas 24.000 ha, kami berharap proses mitigasi yang mendalam bagi kami masyarakat lokal karena sebagian besar pencaharian disana adalah petani dan nelayan.
  • Kami berharap, ke depan kami tetap ada dan berperan dalam proses pembangunan peradaban baru di IKN nanti.
  • Ada 20.000 Kepala Keluarga yang menggantungkan hidupnya di bidang pertanian dan perikanan di kawasan IKN.
  • Sebagian besar aset kapital kami adalah lahan, jadi perlindungan itulah yang kami harapkan supaya dari awal di inventarisir keberadaan kami tetap ada dan kami ikut ambil andil dalam pembangunan peradaban ke depan.



Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan