Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan dan Pandangan terhadap RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) — Komisi 3 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Aliansi Reformasi KUHP

Tanggal Rapat: 14 Nov 2022, Ditulis Tanggal: 21 Dec 2022,
Komisi/AKD: Komisi 3 , Mitra Kerja: Aliansi Reformasi KUHP

Pada 14 November 2022, Komisi 3 DPR-RI menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Aliansi Reformasi KUHP mengenai Masukan dan Pandangan terhadap RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Bambang Wuryanto dari Fraksi PDI-P dapil Jawa Tengah 4 pada pukul 10:29 WIB. (Ilustrasi: ntt.kemenkumham.go.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Aliansi Reformasi KUHP

Aliansi Reformasi KUHP:

  • Aliansi Reformasi KUHP terdiri dari 15 lembaga. Kami sudah melakukan advokasi terkait dengan RKUHP sejak 2005.
  • Kami punya visi dan misi yang sama dengan para Anggota DPR, yaitu memiliki satu hukum pidana yang benar-benar hukum pidana Indonesia berdasarkan pada hak asasi manusia dan demokrasi Indonesia sebagai negara demokrasi yang modern. Jadi, kita punya misi yang sama.
  • Kami yakin Bapak/Ibu memahami bahwa RKUHP bukan hanya perubahan undang-undang, tapi ini perubahan kebijakan hukum pidana atau perubahan paradigma terkait dengan hukum pidana.
  • Suatu negara dilihat dari bagaimana negara itu mengatur suatu hukum pidana. Jadi, ketika kita bicara tentang Indonesia baru terlepas dari yang kita sebut dengan warisan kolonial ini, maka itu harus mencerminkan bagaimana Indonesia mengatur ketentuan pidananya.
  • Melihat suatu negara cukup lihat bagaimana negara mengatur Lapas dan hukum pidananya.
  • Aliansi Reformasi KUHP terdiri dari lebih dari 40 NGO dan kami memiliki stand point yang berbeda-beda atau posisi yang berbeda-beda. Kami hanya terikat pada satu nilai, yaitu KUHP baru yang berdasarkan hak asasi manusia dan Indonesia sebagai negara demokrasi yang modern.
  • Terdapat 11 poin atau isu yang akan kami sampaikan;
  • Pertama, terkait dengan living law. Kami berharap agar istilah living law langsung saja diganti menjadi hukum adat sebagaimana politik hukum yang diinginkan oleh DPR dan Pemerintah, sehingga tidak ada lagi perdebatan tentang apa itu yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Rekomendasi, sebetulnya alternatif pertama kali dari kami adalah dihapus, karena ini bertentangan dengan asas legalitas. Namun begitu, kami memberikan alternatif kedua, yaitu langsung pada rumusan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 1 tidak mengurangi keberlakuan hukum adat termasuk penyelesaian perkara pidana dalam masyarakat adat. Kami meminta juga dimasukkan dalam penjelasan 2 poin, yang pertama adalah apa itu batasan hukum adat agar tidak melanggar hak asasi manusia dan melanggar masyarakat adat itu sendiri. Yang kedua adalah kami berharap bahwa hukum adat hanya berlaku untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana dan tidak digunakan untuk mengkriminalisasi perbuatan. Jadi, hukum adat betul-betul dipertimbangkan sebagaimana sudah dilaksanakan selama ini.
  • Kedua, terkait dengan pidana mati, kami sadar beberapa Anggota DPR sudah mengangkat isu ini dalam rapat pada 9 November. Hubungan mati, kami berharap DPR dan Pemerintah tetap pada politik hukum DPR dan Pemerintah. Kami menolak hukuman mati, tapi kami memahami konteks berdiskusi dalam DPR dan Pemerintah. Untuk itu, kami meminta agar ini kembali kepada politik hukum DPR dan Pemerintah, yaitu setiap penjatuhan hukuman mati maka diberikan otomatis masa percobaan 10 tahun. Tujuannya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan harus mempertimbangkam dapat diberikan percobaan dalam kondisi hukuman mati. Jadi, kalau kita bicara tentang open legal policy, maka sekarang saatnya menggunakan itu untuk melindungi masyarakat kita, yaitu penjatuhan pidana mati dilakukan dengan memberikan masa percobaan secara otomatis. Dalam hal tindak pidana mati tidak dilaksanakan 10 tahun, itu dihitung tidak dari grasi ditolak, tapi dari putusan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini sudah sejalan dengan pendapat dari Pak Wamenkumham.
  • Ketiga, terkait pidana denda. Pidana denda adalah merupakan bagian pidana pokok. Ketika ia dijatuhkan, kami berharap bahwa pidana denda dikembalikan kepada asalnya sebagai bentuk pencelaan dan bentuk pidana. Yang jadi problem kami adalah ketika diberikan kemungkinan untuk perampasan aset dalam hal denda tidak mampu dibayarkan. Jadi, sederhananya kenapa denda selalu dibuat alternatif dengan hukuman penjara, karena denda itu ada di bawah hukuman penjara. Orang diberikan logika, jika tidak bayar denda, maka diberikan hukuman yang lebih berat. Hukuman yang lebih beratnya adalah penjara. Jika perampasan aset diberikan, maka ini akan jadi masalah. Tidak hanya masalah peradilan hukum pidana, tapi akan menjadi masalah sosial. Untuk itu, masukan kami adalah perampasan aset untuk benda yang tidak dibayarkan hanya boleh dilakukan kepada korporasi, sedangkan kepada individu hanya dimungkinkan dalam dua kondisi; 1) pembayaran uang pengganti sebagaimana dalam UU Tipikor; dan 2) pembayaran restitusi. Untuk denda, kami berharap ini tidak dimasukkan, karena denda bisa menimbulkan kemiskinan dan lain-lain. Denda tidak ditujukan untuk mengambil keuntungan dari dari individu warga negara.
  • Masukkan kami ada di Pasal 81, 82 dan 83, yang intinya adalah kemungkinan untuk perampasan aset bagi denda individu. Kami berharap ini dikeluarkan dan perampasan aset hanya dimungkinkan dilakukan kepada korporasi. Di beberapa negara perampasan aset untuk denda itu tidak dimungkinkan.
  • Terkait dengan penghinaan, kami bagi 2, yaitu penghinaan individu dan penghinaan terhadap harkat martabat Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum Lembaga Negara, dan Kepala Negara Sahabat. Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, posisi kami; 1) kami berharap semua ancaman untuk penghinaan itu dilekatkan dengan tujuan dari Pemerintah dan DPR untuk mengefektifkan pidana kerja sosial. Verbal crime seharusnya tidak punya konsekuensi terhadap pembatasan pidana terhadap ruang gerak dan tubuh. Jadi, kami berharap ancaman pidananya disesuaikan dengan ketentuan buku satu, yaitu pidana kerja sosial. Dalam konteks harkat martabat yang paling penting adalah pengadilan mengatakan yang disampaikan itu salah, sehingga harkat martabatnya terpulihkan, bukan untuk memenjarakan orang. Ancaman 6 bulan itu untuk mengefektifkan kerja sosial; dan 2) terkait dengan definisi penyerangan sedikit berbeda perspektifnya dengan yang disampaikan Pemerintah. Bagi kami, fitnah itu bukan termasuk dalam penyerangan kehormatan. Perlu dibatasi yang dimaksud dengan penyerangan kehormatan itu hanya fitnah. Yang dimaksud dengan fitnah, kami sudah berikan rekomendasinya di Pasal 218 ayat 1 yang berbunyi setiap orang yang di muka umum atau dengan maksud diketahui umum menuduhkan suatu hal yang diketahuinya tidak benar terhadap Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan. Lalu kemudian, penghinaan Pemerintah menurut kami ini bisa dilebur dengan penghinaan penguasa umum dan lembaga negara. Penguasa umum terlalu lebar. Jadi, untuk itu sama poinnya bahwa yang dimaksud dengan penghinaan itu semuanya dikunci dengan menuduhkan sesuatu yang diketahuinya tidak benar dan yang dimaksud dengan lembaga negara kami berharap ini dibatasi pimpinan agar kita tidak lebar kemana-mana. Rekomendasi kami adalah lembaga negara kita batasi kepada lembaga negara yang intinya diatur dalam UUD 1945, seperti DPR, DPD, DPRD, MPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan beberapa lembaga yang ada di UUD 1945. Tujuannya untuk pembatasan. Lalu, penghinaan Pemerintah yang menimbulkan kerusuhan, kami berharap ini jangan cuma digeser ke delik materil. Jika mau diuji secara hukum pidana, seharusnya yang diuji adalah dengan maksud menyebabkan terjadinya kerusuhan. Jadi, bukan mengakibatkan kerusuhan, karena kalau mengakibatkan kerusuhan mudah sekali. Rekomendasi kami ini dihapus.
  • Terkait penghinaan individu, hal ini sudah diubah bahkan di negara yang kita anggap kolonial seperti Belanda. Ada 2 hal yang harus kita perhatikan dalam penghinaan individu. Yang pertama adalah ancaman pidana. Ancaman pidana kita terlalu tinggi. Kami berharap semangat dekolonialisasi kita mengembalikan agar Pemerintah dan DPR tidak punya perspektif yang sama dengan kolonial Belanda. Untuk itu, ancamannya perlu diturunkan semua di bawah setahun. Dengan alasan mengaktifkan pidana pengawasan atau pidana kerja sosial di bawah 6 bulan. Yang kedua adalah ketentuan tentang alasan pembenar. Selama ini alasan pembenaran hanya 2, yaitu untuk kepentingan umum dan terpaksa membela diri. Kami merekomendasikan dengan itikad baik meyakini apa yang disampaikan tersebut adalah kebenaran. Pertanyaannya, bagaimana dengan fitnah? Dalam ketentuan yang ada sekarang di beberapa negara sudah diubah termasuk di Belanda. Fitnah kami ubah bukan ketika orang tidak mampu membuktikan, tapi ketika orang mengetahui apa yang disampaikan itu tidak benar. Kami merekomendasikan seperti yang terjadi di beberapa negara. Jadi, kalau pencemaran dan terbukti, kemudian pengadilan atau jaksa berhasil membuktikan bahwa tuduhannya itu tidak benar, maka itu jadi fitnah.
  • Agar tidak berandai-andai, kami juga memberikan masukan rumusan di Pasal 436 terkait dengan fitnah.
  • Berkali-kali kami mendengar terkait dengan UU ITE, mungkin ini kesempatan dari DPR untuk memperbaiki UU ITE. Salah satunya Pasal 27 ayat 3. Jadi, kalau ketentuan sebagaimana di penghinaan dan fitnah yang kami rekomendasikan ini diadopsi, maka kita tidak butuh lagi Pasal 27 Ayat 3, karena Pasal 27 Ayat 3 untuk untuk fitnah sudah kita masukkan di Pasal 435 Ayat 2.
  • Salah satu yang paling substansi yang terlewat dalam draft Pemerintah, yaitu kalau yang dihina kekuasaan umum atau lembaga negara siapa yang berhak mengadu? Untuk itu, salah satu rekomendasi kami untuk penghinaan yang dilakukan oleh lembaga negara atau kekuasaan umum, maka yang boleh mengadu hanya pimpinan tertinggi dari lembaga itu. Tujuannya untuk menjaga marwah lembaga negara. Hal itu belum diatur oleh Pemerintah di Buku 1 terkait siapa yang berhak mengadu jika lembaga negara itu dihina. Terdapat beberapa pasal rekayasa kasus yang sempat disampaikan, kami sudah memberikan rekomendasinya.
  • Berkaitan dengan makar. Makar ini problemnya kompleks, karena sebenarnya problem utamanya adalah kita tidak pernah punya terjemahan resmi KUHP Hindia-Belanda. Jadi, kami melakukan penelusuran KUHP tahun 1921, 1928, sampai 1940 keseluruhannya itu dituliskan dalam 2 bahasa, yaitu Makar (Aanslag). Apa itu Aanslag? Aanslag ini adalah bahasa Belanda, yang artinya adalah serangan dengan kekerasan. Ketika kemudian diterjemahkan menjadi makar, banyak sekali definisi ini berkembang dalam praktiknya. Kami menemukan banyak sekali putusan. Usulan kami terhadap predasional di RKUHP adalah untuk mengubah seluruh nomenklatur makar menjadi serangan dengan kekerasan untuk dikembalikan kepada makna awalnya seperti yang ada di Belanda. Kami sangat berharap bahwa DPR bisa merevisi kekeliruan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun ini.
  • Terkait Ketentuan Penutup di Buku 1, yaitu Pasal 187. Pasal 187 di dalam draft Pemerintah yang kami permasalahkan adalah penjelasannya, karena sebelumnya di KUHP Pasal 103. Intinya adalah bahwa seluruh ketentuan Buku 1 KUHP bisa digunakan di undang-undang lain, kecuali diatur berbeda. Jadi, kalau misalnya DPR membuat UU tentang Asisten Rumah Tangga tidak perlu lagi mengatur asas-asas hukum pidana dari awal, cukup merujuk pada pasal ini, tetapi pasal ini akhirnya digunakan oleh Pemerintah untuk mengunci beberapa tindak pidana yang dianggap sebagai tindak pidana khusus. Hal ini yang keliru, karena akhirnya ketika itu hanya dikunci sebagaimana dalam Bab tindak pidana khusus, maka ada banyak sekali kekhususan yang tidak tercover. Kami ambil contoh, di UU TPKS ada 1 pidana tambahan namanya Pidana Tambahan Pengumuman Identitas Pelaku. Jika ini terjadi dan hanya ditafsirkan sebatas pada 5 tindak pidana yang ada di tindak pidana khusus, maka itu akan hilang dengan sendirinya ketika RKUHP ini berlaku. Jadi inilah yang menjadi problem. Akan lebih baik jika penjelasan itu di take out atau alternatif kedua jika memang tujuannya adalah konsolidasi hukum pidana, seharusnya Pemerintah dan DPR mengatur itu menjadi pedoman teknis penyusunan ketentuan pidana dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
  • Permasalahan lain terkait Contempt of Court atau tindak pidana gangguan terhadap harkat martabat peradilan. Di dalam Pasal 278 Ayat 1 huruf c itu masih diatur beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan inti peradilan. Seharusnya, Contempt of Court tidak hanya dimaknai sebagai serangan terhadap Hakim, tapi termasuk juga terhadap Jaksa, Advokat, dan/atau para pihak di persidangan, dan akan jauh lebih baik kalau kemudian ini menjadi delik aduan dan yang bisa mengadukan hanya Hakim yang memimpin di persidangan. Jadi, betul-betul terasa bahwa ini adalah serangan terhadap marwahnya peradilan.
  • Terkait Obstruction of Justice. Ada 1 ketentuan di Pasal 280 huruf a dikatakan bahwa barang siapa mencegah, menghalang-halangi, mempersukar penyidikan atau penuntutan. Ini adalah rumusan yang ada lalu diambil begitu saja dari Pasal 21 UU Tipikor. Kami banyak menemukan kasus di dalam praktik bahwa pasal ini begitu karet, karena definisi mencegah, menghalang-halangi, mempersukar penyidikan dan penuntutan, sama sekali tidak diatur oleh UU. Jadi, yang kami temukan ada seorang advokat memberikan advice kepada kliennya untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan di pemeriksaan, itu dijatuhkan dengan pasal ini, karena dianggap mencegah, menghalang-halangi, mempersukar penyidikan atau penuntutan. Jika kita bandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP sekarang yang dianggap sebagai warisan kolonial Belanda itu jauh lebih jelas.
  • Kami juga merekomendasikan yang sama sekali belum pernah diatur di KUHP kita saat ini adalah rekayasa kasus atau rekayasa bukti. Kita sudah banyak belajar dari beberapa kasus yang mengemuka di media bahwa kita belum punya ini. Kami beberapa kali audiensi dengan Tim Pemerintah mereka mengatakan seharusnya itu sudah masuk dalam pasal terkait Obstruction of Justice yang sudah kami sampaikan.
  • Kami memberikan rumusan "setiap orang yang memalsukan bukti-bukti atau membuat bukti palsu yang dimaksudkan untuk dipergunakan dalam proses peradilan diancam karena pemalsuan bukti dengan penjara 5 tahun". Jika perbuatan ini dilakukan oleh pejabat dalam proses peradilan, maka itu diperberat. Jika kemudian perbuatan ini dilakukan dengan tujuan orang yang seharusnya tidak bersalah menjadi bersalah atau yang seharusnya dihukum lebih berat dari yang seharusnya itu juga bisa diperberat.
  • Terkait tindak pidana lingkungan dan narkotika, kedua tindak pidana ini adalah tindak pidana ketentuan administrasinya ada di undang-undang organik dan bukan tempat KUHP untuk mengatur itu.
  • Satu lagi isu yang kami rasa penting untuk diangkat adalah berkaitan dengan Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup. Ketika KUHP ini berlaku, banyak penyesuaian yang harus dilakukan. UU yang kita punya sejak tahun 45 sampai saat ini harus disesuaikan ulang. Kita belum punya pidana pengawasan, kita belum punya pidana kerja sosial, kita belum punya banyak instrumen untuk menjalankan itu. Artinya, pasca KUHP ini bukan garis akhir. Pemerintah punya kewajiban untuk menyesuaikan seluruh UU dengan rezim yang diambil dalam KUHP. Kekhawatiran kami terkait dengan Pasal Ketentuan Peralihan adalah adanya satu ketentuan bahwa di Pasal 618 RKUHP dikatakan peraturan pelaksanaan dan undang-undang lain itu harus menyesuaikan dengan Buku 1 KUHP, tetapi ketentuan Ayat 2-nya hanya disebutkan bahwa penyesuaian ketentuan pidana itu diatur dengan undang-undang. Kami khawatirnya nanti akan ada prakarsa dari masing-masing kementerian.
  • Mengingat, banyaknya penyesuaian yang harus dilakukan pasca RKUHP, setidaknya DPR harus ada penyusunan undang-undang dan itu bukan tugas mudah. Harus ada sosialisasi ulang. Belum lagi instrumen di kementerian-kementerian terkait juga harus disampaikan dan dilakukan. Dalam rancangan masih ada 2 tahun untuk melakukan penyesuaian itu dan pemberlakuannya masih 2 tahun lagi.
  • Dengan melihat kondisi sekarang sudah akhir 2022, 2023-2024 itu tahun politik kami rasa dengan penyesuaian yang sedemikian banyaknya itu targetnya menjadi tidak realistis untuk dilakukan. Berkaca dari Belanda misalnya KUHP Belanda disahkan tahun 1881 tapi pemberlakuannya baru tahun 1886. Kenapa? karena Belanda masih membutuhkan banyak sekali penyesuaian. Kita posisinya juga sama, baik undang-undang yang bukan hanya akan berpengaruh dalam satu saja ketentuan atau sektor tapi perlu banyak sekali pematangan agar nantinya jangan sampai KUHP yang kita gunakan sebagai ide bangsa Indonesia itu kemudian dalam praktiknya menjadi kacau balau karena persiapan di masa transisi ini tidak dijaga dengan baik.
  • Pada Pasal 600 dan 601 terkait tindak pidana yang berat pada HAM jadi RKUHP memasukan tindak pidana berat pada HAM yaitu genosida menjadi masalah yaitu pasal 1 angka 2 dijelaskan asas retroaktif untuk tindak pidana ancaman 20 tahun, sementara kita memiliki pengadilan HAM yang mana ini mengatur tindak pidana berat tidak dikenal daluarsa dan ada pengecualian yang diatur pada pasal 23 jadi kita memaknai untuk tindak pidana khusus akan digunakan ketentuan UU lain maka untuk konteks daluarsa atau asas rektor aktifnya digunakan kembali UU 26 tahun 2000. Kami berpendapat tidak urgent tindak pidana berat diatur dalam KUHP maka sesuai dengan ini bisa dihapus atau diberikan penjelasan lebih jelas lagi yaitu pada genosida atau kejahatan kemanusiaan. Kami menyoroti aturan mengenai penyiksaan dalam KUHP hanya ancaman pidana maksimal 7 tahun bisa ditambah karena penyiksaan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat publik maka ini harus ada pertambahan durasi pidana serta genosida atau kejahatan pidana maksimal menjadi 20 tahun dan minimalnya 5 tahun. Ini sesuai dengan KUHP di pasal 68 diatur pidana dengan waktu yang tertentu maksimal 20 tahun. Ini mendegradasi kekhususan sehingga perlu ada ancaman hukuman untuk ditingkatkan.

Perhimpunan Jiwa Sehat:

  • Yang kami soroti dalam KUHP Ini pertama terkait dengan pertanggungjawaban penyandang disabilitas yang ada di pasal 38 dan 39. Pasal 38 ini menyebutkan bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana penyandang disabilitas mental dan atau disabilitas intelektual dapat dikurangi bedanya pidananya dan atau dikenai tindakan. Kami melihat bahwa konsep pengurangan pidana karena kedisabilitasan kami adalah bagian dari bentuk diskriminasi kepada penyandang disabilitas. Disabilitas fisik sekaligus disabilitas mental menyandang sampai meninggal. Jadi ketika melakukan kekerasan atau tindakan-tindakan tindak pidana maka itu tidak bisa lepas kedisabilitasan itu. Karena selalu melekat dan tidak bisa lepas kekambuhannya. Jadi menurut kami pengurangan tindak pidana ini menghalangi atau mendiskriminasi kecakapan hukum kami sebagai warga negara. Kami melihat dari pengurangan pidana sepatunya perlu dihapus karena melanggar atau kemudian mendiskriminasi hak-hak penyandang disabilitas disabilitas mental dan disabilitas intelektual.
  • Kedua, terkait penghilangan pertanggungjawaban pidana yang muncul di pasal 39, penghilangan Pertanggungjawaban pidana tidak tepat dilekatkan kepada status atau kondisi disabilitas karena disabilitas adalah identitas yang kondisi satu orang dengan orang lainnya berbeda dan terikat ruang dan waktu. Lepasnya seseorang dari pertanggungjawaban pidana tidak bisa melihat kepada status orang itu sebagai seorang disabilitas baik mental intelektual, tetapi karena suatu alasan kondisi yang lebih umum jadi alasan atau kondisi yang lebih umum. Dalam menentukan seseorang berada dalam kondisi tersebut maka kami melihat bahwa penting ini kemudian mengatur soal penyidik harus melakukan penilaian personal yang melibatkan ahli untuk menentukan bahwa jika seseorang disabilitas mental melakukan tindak kekerasan saat itu sedang kambuh, kalau tidak dalam kondisi kekambuhan maka wajib mempertanggungjawabkan apa tindak pidana yang dilakukan.
  • Yang ketiga terkait dengan Pasal 103 tentang tindak tindakan yang kami lihat perlu untuk direvisi kembali yaitu tindakan yang kami lihat rehabilitasi dan penyerahan kepada seseorang. Artinya kata penyerahan ini mengindikasikan kami sebagai seorang warga negara yang tidak cakap hukum sehingga diserahkan kepada pihak lain. Jadi kami kemudian mengkritisi kata penyerahan . Dan kemudian berkaitan dengan bentuk tindakan dalam dalam konteks penyandang disabilitas mental dan beberapa penyandang disabilitas lainnya di Indonesia rehabilitasi dan habilitasi, di Indonesia sampai saat ini konsep dan praktisnya masih kami kritisi. Karena dari habitasi dan rehabilitasi selalu berujung pada panti sosial. Panti sosial untuk penyandang disabilitas mental di Indonesia sangat dalam kondisi melanggar hak asasi manusia. Kami di penjara tanpa tahu kepastian hukum kami bisa keluar kapan kami, kemudian berada dalam fasilitas dan drainase yang sangat buruk. Kami juga kemudian mendapatkan kekerasan. Dan kami berharap habitasi dan rehabilitasi dalam pasal 103 ini langsung pada poin layanan habitasi itu apa.
  • Kemudian berkaitan dengan tindakan sebagai upaya dukungan bukan penghukuman kami berharap bahwa ketika menghapus soal keperawatan di Fasilitas Kesehatan, habitasi dan rehabilitasi ini bisa diganti pada poin-poin yang sudah saya sebutkan tadi.
  • Di pasal 242, kami juga mengharapkan juga direvisi pasal berkaitan dengan penghinaan. Dimana disana disebutkan hanya disabilitas mental dan disabilitas fisik. Bicara soal penghinaan di muka umum maka tidak hanya disabilitas fisik atau disabilitas mental. Kami usulkan fisik dan mental dihapus, diganti penyandang disabilitas saja. Sama juga di pasal 243,
  • Terkait pertanggungjawaban kami berharap ini penting sekali untuk kemudian dilihat. Kami sudah bertemu dengan kemenkopolhukam kami menyampaikan bahwa kami juga sedang GR terkait dengan pasal 433 KUHP perdata dan beliau setuju intinya dari pemerintah akan mendukung kami untuk mengganti konsep yang sudah lama berkaitan dengan pengampunan pada penyandang disabilitas. Kami harap ini menjadi catatan bahwa kecakapan hukum adalah hak semua warga negara termasuk penyandang disabilitas sehingga tidak ada pengecualian atau diskriminasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

PBHI:

  • Pertama kami dari awal bersikap tegas dengan prinsip HAM bahwa penghinaan itu tidak tepat untuk dikenakan kepada lembaga negara yaitu melalui pemidanaan dalam KUHP ini terlebih lagi ada embel-embel apabila menyebabkan kerusuhan dan yang lain. Pertama, itu dilindungi instrumen HAM yang jelas dari berbagai macam kelembagaan. Yang kedua adalah soal kerusuhan. Kami di lapangan seringkali menghadapi rekayasa kerusuhan justru yang datang bukan dari masyarakat. Latar belakang Kenapa masyarakat turun ke jalan itu akibat lumpuhnya forum-forum formal untuk pengaduan komplain dan proses-proses di instansi selalu begitu. Karena kalau itu lancar, objektif tidak akan ada crowded yang turun ke jalan. Seringkali Kami mendapatkan semacam intruder yang masuk penyusup untuk melakukan kerusuhan yang bukan dari masyarakat.
  • Soal content of code. Pasal 28 ayat 1 huruf b yang pada intinya bersikap tidak hormat kepada hakim itu seringkali membuka ruang multitafsir yang sangat luas karena tidak terdefinisikan. Jadi kalau dari PBHI menolak dengan tegas pasal itu untuk tidak dimasukkan ke dalam RKUHP. Yang kedua huruf C soal izin untuk publikasi ini juga menimbulkan multitafsir.
  • Soal pasal 256 pemberitahuan demonstrasi aksi massa yang menimbulkan kerusuhan. Kami menghadapi suatu suatu kondisi dimana kerusuhan-kerusuhan itu diciptakan oleh orang lain yang tidak dikenal dengan kemampuan tertentu. Dan yang dibebankan adalah kami. Bahwa izin pemberitahuan itu bukan izin dia hanya sekedar pemberitahuan. Apabila kemudian terjadi pelanggaran sepanjang exercise dari hak demonstrasi dan berpendapat maka kami lebih mendorongnya pada situasi pelanggaran ketertiban umum dan bisa dikenakan denda kerja sosial dan yang lain.

Asosiasi LBH Apik Indonesia:

  • Terkait living law sudah dibahas tapi emang kita mengusulkan itu tidak pakai alternatif tetapi untuk dihapus. Alasan kami karena hukum adat atau hukum kebiasaan yang berlaku di Indonesia itu pada prakteknya atau dalam kehidupan sehari-hari itu banyak mendiskriminasikan perempuan dan menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Jadi apapun namanya itu tetap akan menimbulkan apa ketidakadilan bagi perempuan sehingga usul kami dihapus.
  • Terkait pasal 475 tentang perkosaan di ayat 1 kami mengapresiasi sebenarnya R KUHP ini telah membuat konsep tindak pidana perkosaan lebih luas. Tapi tetap saja masih mengacu kepada bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan yang dalam prakteknya itu masih fisik. Kami mengusulkan supaya nanti ditambahkan di ayat 1 itu adalah ancaman kekerasan fisik, kekerasan psikis atau ancaman kekerasan fisik atau psikis atau ancaman lain yang merugikan korban. Lalu di ayat 3 karena di dalam undang-undang TPKS sebenarnya sudah mengatur juga tentang persetubuhan tapi tidak persetubuhan di dalam undang-undang TPKS yang masih terbatas pada penetrasi penis ke vagina. Tetapi di dalam RUU KUHP ini sudah lebih memuat tentang anal atau juga oral. Tapi masih terbatas karena ada ancaman atau kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik. Jadi Kami mengusulkan untuk pasal 45 ayat 3 itu ada usulan pasalnya adalah “jika perbuatan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan kedudukan wewenang kepercayaan atau bawah yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan ketidak setaraan atau ketergantungan seseorang memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan tindakan berupa memasukkan alat kelamin dan seterusnya”. Sama seperti pasal 475, jadi hanya ada penambahan
  • Yang ketiga itu terkait tentang melanggar kesusilaan dimuka umum pasal 408. Di sini kami perlu untuk mengusulkan terkait tentang aktivitas seksual di dalam penjelasan itu tidak ada rumusannya. Sehingga kami khawatir ada tindakan-tindakan yang Katakanlah contoh dilakukan oleh pasangan suami istri yang bergandengan tangan atau juga ketemu di bandara berpelukan itu dikategorikan sebagai melanggar kesusilaan di depan umu. Jadi Kami mengusulkan supaya frasa aktivitas sosial itu dibatasi pada kegiatan yang menggunakan alat kelamin.
  • Kemudian pasal tentang perzinaan. Kami mengusulkan supaya pasalnya tetap mengacu kepada KUHP selama ini yakni hanya kepada persetubuhan antara orang yang salah satunya terikat kepada perkawinan. Alasan kami adalah karena salah satu dengan adanya ikatan perkawinan dari salah satu pasangan yang melakukan persetubuhan tersebut ada korban di sana di mana pasangan dari yang terikat perkawinan itu suami atau istrinya jadi tidak melebar kepada yang lain.
  • Di pasal pasal 414 tentang Kohobitasi. Kami mengsulkan agar pasal ini dihapus karena banyak definisi perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah. Pada undang-undang perkawinan pasti perkawinan. Faktanya dilapangan banyak perkawinan dilakukan dengan perkawinan adat perkawinan yang secara agama.
  • Di pasal 465 tentang aborsi itu di dalam penjelasan pasal yang disebutkan bahwa itu tidak dikenakan tindak pidana aborsi hanya korban pemerkosaan pelacuran eksploitasi seksual atau perbudakan seksual. Sedangkan faktanya kalau kita mengacu kepada undang-undang TPKS pasal 6 huruf C Itu tentang pelecehan seksual fisik juga ada persetubuhan yang itu juga potensi akan ada kehamilan. Jadi kami mengusulkan supaya di dalam penjelasan Pasal itu juga nanti itu juga mengacu kepada tidak hanya terbatas kepada korban pemerkosaan pelacuran eksploitasi seksual atau perbudakan seksual tapi juga semua korban TPKS. Dan kami mengusulkan ada rumusan pasal tambahan yaitu untuk menegaskan adalah korban TPKS yang hamil akibat TPKS itu tidak dipidana kalau dia melakukan aborsi.

Lembaga Bantuan Hukum Pers:

  • Terkait penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong pasal 263 yang dimana pasal terkait dengan pemberitahuan atau berita bohong itu terbagi dalam tiga kelas. Yang pertama, pemberitahuan bohong kemudian yang kedua patut diduga. Yang ketiga adalah Informasi yang tidak pasti dan berlebihan. Dalam pasal-pasal ini kami menilai bahwa pasal-pasal ini multitafsir dan sangat rentan untuk mengkriminalisasi para masyarakat gitu khususnya terkait dengan penyebaran informasi. Usulan kami terkait dengan pasal ini harus dihapuskan. Kemudian alternatifnya adalah memasukkan terkait dengan maksud maksud pemberitahuan bohong itu harus ditempelkan dengan seperti misalkan maksud dengan keuntungan. Sehingga ketika ada penyebaran informasi ketika memang penyebaran informasi itu memiliki nilai keuntungan terhadap pemberitahuan itu yang kemudian harus kita dorong untuk dipidana. Tapi kalau ternyata memang pemberitahuan itu hanya berdasarkan ketidaktahuan dan kerendahan literasi publik itu harusnya tidak dipidana. Terkait dengan kerusuhan yang masuk ke dalam penyebaran informasi. Ini sering diartikan bahwa baik offline maupun online. Jadi kemudian kerusuhan ini harus secara spesifik memang ditafsirkan bukan semata-mata ditafsirkan oleh penegak hukum.
  • Kedua terkait pasal contempt of court pasal 278 pasal 278 poin C terkait dengan tanpa izin pengadilan mempublikasikan langsung proses persidangan. Di beberapa diskusi hal ini masuk karena terkait dengan saksi lain tidak boleh mendengarkan saksi yang lain bersidang. Kalau ternyata itu yang dijadikan argumen bukan berarti seluruh proses persidangan terbuka, harusnya tidak boleh. Jadi ada kriteria khusus yang memang kalau misalkan hanya saksi yang tidak diperbolehkan kemudian ini bisa diatur dalam tata tertib yang memang seharusnya tidak masuk dalam ranah pidana.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia:

  • Kami menyoroti transparansi dan akuntabilitas yang dijalankan oleh DPR RI sehingga ini tidak ada lagi tudingan negatif, DPR bersama pemerintah banyak menjaring aspirasi masyarakat. Konsern kami setiap masukan harus diakomodir tapi kami menanyakan apabila masukan tidak diakomodir apa alasannya karena kami menanyakan posisi kami tidak jelas. Kemudian pada tahapan mana lembaga negara ini tidak dijelaskan keberadaannya. Ini perlu kami tegaskan partisipasi kami bingung antara menolak atau menerima harusnya DPR RI bisa menjelaskan secara detail.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan