Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan dan Pandangan terhadap RUU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya — Komisi 4 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ketua Rare Conservation, Ketua World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), dan Ketua Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati)

Tanggal Rapat: 1 May 2016, Ditulis Tanggal: 22 Apr 2021,
Komisi/AKD: Komisi 4 , Mitra Kerja: Ketua Rare Conservation, Ketua World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), dan Ketua Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati)

Pada 1 Mei 2016, Komisi 4 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mengenai Masukan dan Pandangan terhadap RUU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. RDPU ini dibuka dan pimpin oleh Daniel Johan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dapil Kalimantan Barat pada pukul 11.02 WIB. (ilustrasi: breedie.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Ketua Rare Conservation, Ketua World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), dan Ketua Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati)

Ketua Rare Conservation

  • Terdapat beberapa hal terkait penambahan unsur sumber daya genetik yang merupakan komponen penting.
  • Ketua Rare Conservation mendukung adanya undang-undang yang mengatur tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE) sejak tahun 2009.
  • Di lapangan sudah ditemui beberapa spesies yang harus dilindungi.
  • Pemerintah harus memiliki kewenangan yang jelas.
  • Biaya yang dikeluarkan jika dibandingkan dengan negara lain seperti di Amerika Serikat tidak mungkin bisa, karena kita patokannya pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
  • Rare Conservation mengusulkan biaya untuk mengelola konservasi dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan pihak swasta.
  • Masyarakat harus dijadikan mitra, dengan terlibatnya masyarakat setempat, maka akan terjadi sedikit pengeluaran. Secara tidak langsung, negara mendapat sumber tenaga tambahan secara gratis dari masyarakat.
  • Kegiatan konservasi di Karimun Jawa yang melibatkan masyarakat akan lebih efektif.
  • Terdapat unsur selain pemulihan dan penjagaan,  yaitu unsur pemanfaatan yang harus dikembalikan pada masyarakat.
  • Di kawasan sumber daya kelautan masyarakat harus mampu memancing secara bebas.
  • Pemerintah dapat mengusulkan seperti yang sudah dilakukan beberapa kemitraan terkait kepada masyarakat untuk mengelola ikannya secara lestari.
  • Inti dari usulan Rare Conservation adalah mengedepankan peran masyarakat dalam proses konservasi dan mengusulkan juga agar adanya kawasan teritorial perairan pada Pasal 62.

Ketua WWF Indonesia

  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE) sudah tidak relevan lagi dan urgensi dari revisi undang-undang ini sangat tinggi.
  • Kawasan konservasi di Indonesia tidak cukup untuk melindungi satwa dan spesies, sehingga perlu adanya peraturan khusus terhadap spesies khusus di luar konservasi.
  • Perlu adanya dorongan dari Pemerintah untuk menunjukan bahwa Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati terbaik di dunia.
  • Nasionalisme harus masuk dalam revisi Undang-Undang tentang KSDAE.
  • Terkait dengan kebutuhan lahan, pembukaan kawasan hutan secara masif dan seringkali tidak diatur dengan baik, seharusnya penegakan hukum dapat berjalan dengan optimal.
  • Tekanan di kawasan konservasi sangat tinggi, contohnya untuk pembukaan lahan dan penebangan liar.
  • WWF melihat terdapat tumpang tindih yang mengelola konservasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
  • Undang-Undang tentang KSDAE belum memberikan ruang kepada masyarakat, terutama keterlibatan masyarakat adat dalam kegiatan konservasi dengan pelestarian ekosistem.
  • Pengaturan perundangan pendanaan di kawasan konservasi masih minim dan seharusnya tidak hanya untuk di kawasan konservasi, melainkan juga untuk di luar konservasi, serta ini harus masuk ke dalam mekanisme kebijakan fiskal.
  • Konservasi seharusnya tidak hanya dilakukan di lingkungan konservasi saja, melainkan juga dimanapun yang mempunyai sumber daya hayati.
  • Di Kutai Barat, 70% wilayahnya adalah hutan, sehingga Pemerintah Kabupaten meminta Pemerintah Pusat untuk berkontribusi dalam perlindungan hutannya secara baik.
  • Pemkab yang memiliki hutan yang luas harus diberikan insentif dari Pemerintah Pusat. Namun, mekanisme insentif kebijakan fiskal dari Pemerintah itu tidak pernah ada. Seharusnya, Pemerintah seperti di Lampung Timur dapat memberikan subsidi ke Pemerintah Lampung Barat.
  • Kebijakan insentif fiskal Pemerintah tidak pernah ada untuk Pemda yang memiliki sumber daya alam tinggi. Bukan tidak mungkin, kita juga mampu melindungi keanekaragaman hayati di wilayah yang bernilai konservasi tinggi.
  • Di dalam Undang-Undang tentang KSDAE juga dijelaskan mekanisme restorasi ekosistem spesies yang juga penting untuk didorong.
  • Upaya-upaya restorasi agar mendapatkan insentif di dalam kebijakan tax perusahaan perijinan dapat memperoleh prioritas.
  • Di dalam draf revisi Undang-Undang tentang KSDAE ini sudah ada satu Pasal tentang restorasi. Diharapkan di aturan turunannya terdapat penjelasan insentif terkait restorasi.
  • Tentang pemanfaatan kekayaan intelektual di undang-undang tidak dimunculkan. Padahal, banyak spesies di Indonesia dapat dijadikan obat atau eksperimen.
  • Perlunya dorongan bagi lembaga penelitian di Indonesia dalam mengembangkan spesies untuk dijadikan obat.
  • WWF sangat menghargai upaya DPR-RI dan berharap revisi undang-undang ini dimasukan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)

  • Di dalam Pasal 1, HuMa menganggap kawasan konservasi harus terkait fungsi, bukan status.
  • Pasal 174 merupakan pasal pengulangan tentang pidana di dalam pasal undang-undang lain.
  • Harus ada pengaturan yang mengakomodir tradisi dan kearifan lokal masyarakat. Oleh karena itu, harus ada pasal yang mengatur perburuan pada masyarakat adat. Jika ada masyarakat adat yang melakukan perburuan kepada hewan yang dilindungi, maka Pemerintah harus melakukan tindakan.
  • Pasal 75 jika dibandingkan dengan Pasal 145 mirip. Alangkah baiknya salah satunya dihapuskan.
  • Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus memberikan kepastian sesuai dengan undang-undang terkait pengaturan tentang masyarakat hukum adat, karena putusannya sudah jelas bahwa kawasan hutan, pembentukan, pemetaan, dan penetapannya ada mandat yang mengatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
  • Pasal 86 kata “dianggap sebagai” sebaiknya diganti dengan “merupakan”.
  • Perlu pengaturan lebih mendalam tentang kawasan esensial, di Jawa Tengah ada 5 (lima) kawasan yang terancam.

Ketua Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati)

  • Kehati mengapresiasi DPR-RI, karena telah berinisiatif melakukan revisi Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE).
  • Keanekaragaman hayati merupakan salah satu masa depan manusia. Keanekaragaman hayati akan menyelamatkan umat manusia dan manusia akan tergantung padanya.
  • Keanekaragaman hayati saat ini mengalami banyak masalah diantaranya konservasi, perburuan, dan kebakaran hutan.
  • Upaya mengkonservasi keanekaragaman hayati menjadi penting. Namun, hal tersebut sering dianggap menjadi penghambat. Padahal, kita sedang mencoba untuk melindungi yang kita punya untuk anak-cucu kita.
  • Di dalam draf sudah mencerminkan perlindungan yang diikuti juga oleh pemanfaatannya.
  • Saat ini, konservasi sudah diatur selama 25 (dua puluh lima) tahun dan memang harus diakui bahwa undang-undang ini ada kelebihan dan kekurangannya. 
  • Kelebihannya, negara sudah melindungi dari 20 juta hektar di daratan dan 10 juta hektar di lautan, sedangkan kelemahannya ada yang masih kurang keterampilannya di kawasan dataran rendah, karena kawasan itu sulit untuk menetapkan totally protected. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk melindungi kawasan di dataran rendah.
  • Kawasan ekosistem esensial di luar kawasan itu menjadi penting dan sudah menjadi tanah hak.
  • Demokratisasi menjadi hal yang sangat krusial. Oleh karena itu, Kehati mendukung revisi Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE).
  • Negara harus tetap menjaga kedaulatan negara sendiri dan tidak perlu didikte. Hal ini bukan untuk sendiri, melainkan juga untuk masa depan anak-cucu kita.
  • Protokol Nagoya mengatur terutama sumber daya genetik dapat dimanfaatkan tanpa harus mengurangi hak sumber dayanya. 
  • Banyak hal yang perlu diatur, karena Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur sumber daya genetik. Oleh karena itu, di dalam revisi Undang-Undang tentang KSDAE, pengaturan terkait sumber daya genetik penting untuk diatur sebagai upaya dalam mencegah dan mengurangi pencurian sumber daya genetik.
  • Sumber daya genetik bukan hanya barangnya saja, informasi yang ada di dalamnya juga menjadi penting, Misalnya, obat kanker untuk negara lain. 
  • Aturan-aturan bagaimana mengakses dan pembagian keuntungan dari apa yang mereka akses harus diatur disini. Jangan sampai kita membeli dari mereka padahal bahannya dari kita.
  • Harus ada pelibatan masyarakat lokal dan seharusnya ada aturan yang memenuhinya. Nonsense, kita melakukan konservasi tanpa melibatkan masyarakat dan meningkatkan living good masyarakat.
  • Private sector masyarakat dari dunia usaha juga perlu ada peran timbal-baliknya. Kemudian, sanksi agar orang tidak kembali melakukan kesalahan yang sama. Oleh karena itu, Kehati mengusulkan agar ada sanksi minimum.
  • Konservasi keanekaragaman hayati perlu diatur hanya dengan satu undang-undang saja agar tidak ada perbedaan antar undang-undang, sehingga dapat menimbulkan kebingungan di lapangan.
  • Satu hak yang mengganggu adalah definisi ikan yang menyimpang dari kaidah ilmu pengetahuan, sehingga perlu dibahas dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan