Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Pembangunan Perkebunan Nasional — Komisi 4 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) RI, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Dirjen Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK RI, serta Pejabat Eselon I Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI

Tanggal Rapat: 24 Apr 2018, Ditulis Tanggal: 7 Aug 2020,
Komisi/AKD: Komisi 4 , Mitra Kerja: Dirjen Perkebunan Kementan RI, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK RI, Dirjen Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK RI, dan Pejabat Eselon I Kemen ATR RI

Pada 24 April 2018, Komisi 4 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) RI, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Dirjen Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK RI, serta Pejabat Eselon I Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI mengenai Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Pembangunan Perkebunan Nasional. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Viva Yoga dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dapil Jawa Timur 10 pada pukul 13:55 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: bumn.go.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Dirjen Perkebunan Kementan RI, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK RI, Dirjen Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK RI, dan Pejabat Eselon I Kemen ATR RI

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) RI

  • Kontribusi perkebunan terhadap pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Bruto (PDB) menurut lapangan usaha:
    • 2016:
      • Perdagangan besar dan eceran.
      • Konstruksi.
      • Industri makanan dan minuman.
      • Administrasi Pemerintahan, pertahanan.
      • Informasi dan komunikasi.
      • Tanaman perkebunan Rp428,78 Triliun.
      • Tanaman pangan.
      • Jasa pendidikan.
      • Minyak, gas dan panas bumi Rp364,98 Triliun.
      • Real estate.
    • 2017:
      • Perdagangan besar dan eceran.
      • Konstruksi.
      • Industri makanan dan minuman.
      • Administrasi Pemerintahan, pertahanan.
      • Informasi dan komunikasi.
      • Tanaman perkebunan Rp471,31 Triliun.
      • Tanaman pangan.
      • Jasa pendidikan.
      • Minyak, gas dan panas bumi Rp390,48 Triliun.
      • Real estate.
    • Kontribusi perkebunan lebih tinggi dari minyak, gas dan panas bumi.
    • Kontribusi tahun 2017 meningkat 9% dari tahun 2016.
  • Klasifikasi usaha perkebunan nasional:
    • Perkebunan Rakyat (PR) 40% atau 5.613.241 Ha.
    • Perusahaan Besar Swasta 55% atau 7.707.164 Ha.
    • Perkebunan Besar Negara 5% atau 710.169 Ha.
  • Program prioritas perkebunan tahun 2018:
    • Pengembangan perbenihan.
    • Perluasan dan perbaikan tanaman.
    • Perlindungan perkebunan.
    • Pengentasan kemiskinan.
    • Peningkatan mutu dan daya saing.
    • Peremajaan sawit rakyat dengan target 185.000 Ha yang dibiayai melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.
  • Berbagai permasalahan kelapa sawit Indonesia tahun 2017:
    • Sebagian besar areal terindikasi kawasan hutan dan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG). terdapat 2.700.000 Ha kawasan yang bersinggungan dengan KHG. Oleh karena itu, Dirjen Perkebunan Kementan menjalin komunikasi dengan KLHK untuk menyelesaikan persoalan lahan yang terindikasi kawasan ilegal. Kawasan ekologis gambut juga sedang ditertibkan.
    • Tumpang tindih perizinan.
    • Belum Hak Guna Usaha (HGU), Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan Untuk Budidaya (STDB), Sertifikat Hak Milik (SHM).
    • Belum Izin Usaha Perkebunan (IUP).
    • Sengketa/konflik.
    • Produktivitas belum optimum.
    • Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat.
    • Realisasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). Produktivitas perkebunan belum optimal karena status lahan yang tidak jelas.
    • Kampanye negatif.
  • Target dan realisasi fasilitasi pembukaan kebun masyarakat sesuai Permentan 26 Tahun 2007:
    • Target:
      • 2007: 0 Ha.
      • 2016: 483.361 Ha.
      • 2017: 874.398 Ha.
    • Realisasi:
      • 2007: 0 Ha.
      • 2016: 202.730 Ha (41,94%).
      • 2017: 623.114 Ha (71,26%).
  • Terdapat 8,4 juta perkebunan swasta nasional. 4,3 jutanya berkewajiban menyelesaikan pembangunan untuk masyarakat atau sekitar 20%.
  • Terdapat potensi sebanyak 341.700 yang bisa digunakan untuk membangun perkebunan masyarakat.
  • Saat ini, ada kesulitan bagi perusahaan untuk menyelesaikan perkebunan karena sudah tidak ada lahan lagi.
  • Regulasi Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) 185.000 Ha.
    • Kebun sawit:
      • Luas 14,03 (juta Ha): PR 5.61 (40%), PBS 7.71 (55%), PBN 0.71 (5%).
      • Produksi 37,8 (juta ton): PR 12.7, PBS 22.9, PBN 2.19.
      • Protas 3,55 (ton/Ha): PR 3.01, PBS 3.90, PBN 3.91.
      • Petani 6,73 (juta KK): PR 2.52, PBS 3.85, PBN 0.36.
    • Sawit rakyat: 5,61 juta Ha dan 2,4 juta Ha perlu diremajakan.
    • Target peremajaan:
      • 2016: 200 Ha.
      • 2017: 20.780 Ha.
      • 2018: 285.000 Ha.
      • 2019: 200.000 Ha.
      • 2020: 500.000 Ha.
      • 2021: 750.000 Ha.
      • 2022: 750.000 Ha.
    • Target 2018: 20 Provinsi, 75 Kabupaten.
      • Kebutuhan benih: 27.750.150 Btg (15.000.000 Btg di tahun 2018, sisanya di TW 1 tahun 2019).
      • Dipasok 17 industri benih nasional.
    • Simpul kegiatan:
      • Benih unggul bersertifikasi.
      • Legal dokumen/regulasi.
      • SDM dan Kelembagaan petani.
      • Lahan.
      • Diversifikasi dan integrasi.
      • Sarpras dan infrastruktur.
      • Litbang.
      • Sertifikasi ISPO.
      • Promosi dan advokasi.
      • Sistem informasi.
  • Untuk mencari lahan yang benar-benar clean, dari sisi status lahan menjadi persoalan yang cukup rumit. Dirjen Perkebunan berharap persoalan yang menimpa perkebunan sawit rakyat bisa diselesaikan sebab masih banyak terjadinya tumpang tindih.
  • Perkembangan sertifikasi ISPO, sampai saat ini baru ada 14% dari total luas sebesar 2.000.000 lebih dari 14.000.000.
    • Perkembangan sertifikasi ISPO 2011-2017:
      • 2011: 0.
      • 2014: 63.
      • 2015: 96.
      • 2016: 226.
      • 2017: 346.
    • Perkembangan luas areal (Ha) ISPO 2011-2017:
      • 2011: 0.
      • 2014: 549.468.
      • 2015: 846.746.
      • 2016: 1.352.764.
      • 2017: 2.009.411 atau 14,32%.
    • Perkembangan produksi CPO (Ton) ISPO 2011-2017:
      • 2011: 0.
      • 2014: 2.821.567.
      • 2015: 3.849.051.
      • 2016: 6.430.416.
      • 2017: 8.441.931 atau 22,32%.
  • Dari sisi izin usaha, saat ini baru diterbitkan 346 sertifikat ISPO untuk 346 usaha dan di antara 4 adalah milik rakyat.

Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI

  • Kawasan Hutan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012:
    • Pasal 1 ayat 3 angka UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU No. 19 Tahun 2004 yang berbunyi Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan telah dilakukan constitutional review.
    • Amar Putusan Mahkamah Konstitusi: “Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    • Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (21 Februari 2012), efek berlakunya putusan MK bersifat prospektif ke depan (forward looking) tidak retrospektif ke belakang (backward looking).
    • Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004, menjadi “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
    • Pertimbangan Majelis Mahkamah Konstitusi, angka 3.14: bahwa adapun mengenai ketentuan peralihan dari UU Kehutanan, khususnya Pasal 81 yang menyatakan, “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini”, menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka 3 dan Pasal 81 UU a quo mempergunakan frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 UU a quo tetap sah dan mengikat.
    • Keputusan Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi maupun parsial yang telah diterbitkan Menteri Kehutanan serta segala perbuatan hukum yang timbul dari berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    • Keputusan tentang penunjukan kawasan hutan, baik provinsi maupun parsial yang diterbitkan Menteri Kehutanan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi tetap sah, namun belum mempunyai kekuatan Hukum mengikat dan dimaknai sebagai penetapan awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan sebagaimana Pasal 15 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2004.
  • Penguasaan Hutan: Wewenang, penetapan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan (Pasal 4 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
    • Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah untuk:
      • Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
      • Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; atau
      • Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan huta, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
  • Mekanisme penggunaan hutan untuk pembangunan di luar kehutanan:
    • Pembangunan non kehutanan dalam kawasan hutan:
      • Penggunaan kawasan hutan (tidak merubah status dan fungsi KH) (Pasal 38 UU No. 41 Tahun 1999) PP No. 24 Tahun 2010 juncto (jo) No. 61 Tahun 2012 jo PP No. 50/2015.
        • Izin pinjam pakai kawasan hutan (di Hutan Lindung (HL) dan Kutan Produktif Tetap (HP)).
      • Perubahan peruntukan kawasan hutan (Pasal 19 UU No. 41 Tahun 1999) PP No. 105 Tahun 2015.
        • Tukar menukar kawasan hutan (Hutan Produksi Terbatas (HTP), HP) Permenhut No. P.32 Tahun 2010.
        • Pelepasan kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) Permen LHK No. P.51 Tahun 2016.
        • Perubahan peruntukan untuk Wilayah Provinsi.
  • Terdapat perubahan tuntutan untuk wilayah provinsi berdasarkan landasan hukum perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan:
    • Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu (Pasal 19 ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 1999).
    • Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan:
    • Pasal 92:
      • (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
        • a. Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf; dan/atau
        • b. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
      • (2) Korporasi yang:
        • a. Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, dan/atau
        • b. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya lazim atau diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.00.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
    • Sampai saat ini, kasus keterlanjuran kawasan perkebunan yang masuk di kawasan hutan relatif banyak terutama di Kalimantan dan Sumatera.
  • Dari segi planologi, status kebun berdasarkan citra itu 13 juta Ha. Kebun yang dikuasai oleh cukup banyak yaitu 2,66 juta Ha, sedangkan untuk masyarakat ada 500.000 Ha.
  • Modus kejahatan perambahan kawasan hutan untuk perkebunan:
    • Kegiatan perambahan kawasan hutan tanpa izin (kebun di kawasan hutan).
    • Kegiatan perkebunan melewati batas izin yang dimiliki (area > izin).
    • Kegiatan perkebunan tidak sesuai dengan izin (HTI untuk sawit).
    • Kawasan hutan yang di sertifikat untuk perkebunan.
  • Instrumen penegakkan hukum pidana. Dirjen KLHK sedang mendalami seberapa luas tindak pelanggaran ini. Masih banyak pelaku perorangan perambahan perkebunan ini.
    • UU No. 18 Tahun 2013:
      • Pasal 12-Pasal 13 dan Pasal 17 tentang penguasaan dan pemanfaatan hasil hutan yang tidak sah.
      • Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 24 tentang pemalsuan atau menyalahgunakan dokumen.
      • Pasal 19 dan pasal 28 tentang kejahatan yang dilakukan secara terorganisir/koorporasi.
      • Pasal 19 tentang pencucian uang.
      • Pasal 20-Pasal 23 tentang menghalangi-halangi proses hukum (obstruction of justice).
      • Pasal 28 tentang tindak pidana dalam jabatan.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan