Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Disabilitas — Komisi 8 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)

Tanggal Rapat: 25 Jun 2015, Ditulis Tanggal: 16 Nov 2021,
Komisi/AKD: Komisi 8 , Mitra Kerja: Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)

Pada 25 Juni 2015, Komisi 8 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Disabilitas. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Fathan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dapil Jawa Tengah (Jateng) 2 pada pukul 19:36 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: liputan6.com)

Pengantar Rapat

Komisi 8 DPR RI ingin meminta masukan dari SIGAB untuk menyempurnakan RUU Disabilitas mengenai permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dan cara penanganannya serta bentuk lembaga yang dapat memenuhi hak-hak disabilitas.

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)

Dirut Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)

  • SIGAB menggunakan istilah yang berbeda dengan Komisi 8. SIGAB menggunakan istilah difabel. Penggunaan istilah difabel ini dilakukan untuk mengkampanyekan pandangan yang positif kepada mereka yang cacat. Ini juga tercermin dalam UU organisasi SIGAB.
  • Ada 3 tipe pandangan difabilitas yaitu:
    • Model medis yang menekankan pada permasalahan difabel pada individual,
    • Model charity yang berbasis pada santunan dimana difabel dianggap selamanya tidak produktif dan tidak bisa diberdayakan sehingga perlu diberi santunan, dan
    • Model sosial dimana model yang melihat bahwa permasalahan yang muncul terhadap difabel adalah bentuk atau akibat dari atau ketika lingkungan gagal merespon keberadaan difabel .
  • Dirut SIGAB menyelesaikan studinya sampai ke tingkat master bukan karena ia difabel atau tidak, tetapi karena lingkungan yang mendukungnya untuk bisa melakukan hal tersebut.
  • Angka difabel yang tidak sekolah mencapai 90%. Itu bukan karena difabel tidak mau sekolah, tetapi karena kurang tersediannya sarana pendidikan yang mendukung.
  • SIGAB memperoleh 13 pengaduan pada tahun 2012 bahwa banyak difabel yang ditolak oleh sekolah.
  • Kalau berbicara tentang negara, harusnya negara menyediakan layanan publik.
  • Model sosial yang dimaksud di atas bukan berarti menentang medis atau charity, tetapi agar difabel dapat diberdayakan.
  • Model SIGAB menekankan pada kesetaraan dan kesempatan hak.
  • Setelah Dirut SIGAB membacakan RUU Disabilitas, perlu adanya penajaman untuk melihat bersama.
  • Akses peradilan bagi penyandang disabilitas ini harus didukung oleh negara.
  • Penting untuk kemudian memberi ketegasan akses terhadap peradilan bagi difabel.
  • Sistem yang ada harus aksesibel.
  • Dirut SIGAB pernah meneliti kasus difabel yang usia fisiknya 22 tahun tetapi usia mentalnya 9 tahun. Ia pernah diperkosa oleh gurunya selama 6 kali dan penyidik bertanya alasan dia tidak teriak padahal dia tuli dan cacat mental. Jadi penyidik menganggap itu suka sama suka. Di peradilan, kawan difabel tersebut dimasukkan ke peradilan dewasa. Oleh karena itu, SIGAB melakukan pelatihan terhadap hakim melalui kerjasama dengan MA dan KY. Hanya saja masalah mereka terhambat pada aturan. Aturan bagi difabel belum ada.
  • Penerjemah pada KUHP hanya terbatas bagi difabel tuli.
  • Ada 2 tipe bahasa isyarat dan belum ada kesepakatannya.
  • Standarisasi penerjemah menjadi tantangan yang sulit juga.
  • Dalam banyak kasus, difabel sering menjadi korban juga.
  • Substansi RUU ini harus mengukur bagaimana pemenuhan pendampingan hukum, baik sebagai pelaku, saksi,maupun korban untuk memastikan proses hukum yang berjalan adalah fair.
  • Ada beberapa kasus lepas karena tidak adanya pendampingan hukum.
  • Terkait infrastruktur, SIGAB sudah membuat indikator aksesibilitas.
  • RUU juga harus mencakup substansi hukum atau kecakapan hukum dan budaya hukum.
  • Difabel sering dianggap tidak dapat bersaksi.
  • Ada juga anggapan bahwa penyandang disabilitas sulit mengendalikan dirinya sendiri.
  • Dalam hal pemenuhan hak politis, SIGAB juga memberikan pendidikan politik bagi difabel supaya bisa dikenal.
  • Ada hambatan terkait dengan pemenuhan hak politik diantaranya:
    • Hambatan struktural:
      • Dalam beberapa pemilu, SIGAB menemukan teman-teman difabel yang ingin berpartisipasi untuk dipilih tetapi terganjal dengan syarat harus sehat jasmani dan rohani. Hal yang disyukuri adalah pada UU Pemilu sudah menjelaskan tidak dimaksud untuk mengesampingkan penyandang difabel. Namun patut diteliti bahwa UU Pemilu ini dapat berubah-ubah.
      • Temuan yang SIGAB temui, hanya sekitar 10% dari TPS yang memberikan pelayanan di empat provinsi dan itu mayoritas di daerah perkotaan yang notabene secara finansial cukup tinggi..
      • Dalam hal pencoblosan, tidak adanya alat pencoblosan bagi penyandang disabilitas.
    • Kantor DPR sudah cukup aksesibel sejauh ini, tetapi kantor-kantor DPRD dan kantor Pemda masih jauh dari aksesibel.
    • Hambatan lain yang muncul adalah pengabaian. Bukan hanya pengabaian saja, tetapi yang lebih ekstrim adalah intimidasi. Contohnya, jika kamu tidak memilih X, maka skema bantuan kamu akan diputus.
    • Terkait jaminan sosial, SIGAB banyak menemukan difabel yang tidak terakomodasi dengan skema jaminan sosial. Kerentanan itu ternyata bukan dari difabel secara individu, tetapi dalam keluarganya. Ada kerentanan ekonomi dari keluarganya. Kemiskinan yang ada pada difabel itu kompleks. Banyak alat ukur yang meleset untuk mengukur tingkat kemiskinan difabel
    • Terkait eksklusi sosial, di Jawa mungkin tidak terlalu terlihat, tetapi ketika di Kupang, ternyata sangat tragis karena SIGAB menemukan mereka yang kusta terisolasi dari masyarakat.
  • SIGAB berharap indikator kemiskinan bergeser menjadi indikator kerentanan.
  • RUU ini diharapkan dapat menjadi afirmasi bagi penyandang difabel, terkait dengan akses jaminan sosial.
  • Penting kemudian untuk memandang isu disabilitas menjadi isu lintas sektoral.
  • Beberapa negara sudah menggunakan beberapa model koordinasi lintas kementerian. Di Indonesia, difabel hanya berada di Kemensos.
  • Dirut SIGAB melihat akan dibentuk Komite untuk melakukan pemantauan. Di satu sisi, ini baik, tetapi di sisi lain, juga harus diperhatikan konsern kekuasaan dan kewenangannya.
  • SIGAB meminta adanya desk di Komnas HAM.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan