Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Penyelesaian Hubungan Industri — Komisi 9 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pakar

Tanggal Rapat: 6 Oct 2015, Ditulis Tanggal: 9 Sep 2021,
Komisi/AKD: Komisi 9 , Mitra Kerja: Pakar

Pada 6 Oktober 2015, Komisi 9 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pakar mengenai Penyelesaian Hubungan Industri dalam Rancangan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI). RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Asman Abnur dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) pada pukul 10:38 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: nasional.kompas.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pakar

Dr. Herlambang Perdana, S.H, M.H, - Pakar

  • Jika melihat dari sejarah, beberapa UU sudah tidak berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan, UU tersebut diantaranya adalah UU No. 13 Tahun 2003, apabila dibandingkan dengan UU Tahun 2003 dan 2004 khusus tentang perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di perusahaan swasta yang ditangani.
  • Beberapa kali disampaikan oleh buruh agar masalah perselisihan diselesaikan sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1957. Namun ada perbedaan antara UU No. 22 Tahun 1957 dengan UU No. 2 Tahun 2004 yang sebenarnya tidak terlalu ketat ketika menyelesaikan perselisihan tersebut.
  • Dalam UU No. 22 Tahun 1957 terdapat beberapa manuver, tetapi dalam UU No. 2 Tahun 2004 membuat kalangan buruh memerlukan keterampilan formalitas hukum acara yang sangat luar biasa. Terutama di kalangan buruh ada banyak yang tidak punya pengacara. Mereka maju sendiri dan kalah karena biasanya antara bukti dan tuntutan berbeda. Kalau mediator memang hampir 95% digunakan di dalam penyelesaian karena menjadi kewajiban digugat pengadilan, tapi untuk konsiliator hampir tidak digunakan padahal memiliki peran yang sangat penting.
  • Mayoritas hakim disana dari perguruan tinggi dan pakar mengemukakan disini karena pengalaman yang semakin lama mencari bibit pro rakyat. Sangat susah mencari hakim pro rakyat karena pakar melihat banyak orang yang mencari jurusan bisnis dan money oriented, tidak pro rakyat. Sekarang paling tinggal 10-15% saja karena pro rakyat risikonya memang miskin. Ini betul-betul menjadi kekhawatiran.
  • Dulu 15 orang panitia itu dari Pemerintah yaitu Kementerian keguruan, ekonomi, dan perhubungan, serta 5 orang dari pekerja usaha.
  • Dalam pengertian perselisihan, ada hal yang sangat penting pada UU No. 22 Tahun 1957 yaitu adanya perselisihan mengenai hak dan seringkali menjebak, hilang hukumannya dan bebas dari hukuman proses pengadilan industri.
  • Orang yang tadinya melanggar hukum malah menjadi orang yang bernegosiasi hal yang sudah terang benderang tadi.
  • Kasus yang terjadi hampir seluruhnya putusan PHK dan awal mulanya merupakan kasus pelanggaran norma namun pada akhirnya menjadi kabur dan buruh kehabisan tenaga sehingga tidak melapor ke pihak yang berwajib.
  • Pakar meminta untuk berhati-hati ketika membuat definisi tentang perselisihan.
  • Kalau dalam UU PPHI, hampir seluruh kasus itu ujungnya PHK dan perdebatan yang mengarah ke pesangon karena PHK di perusahaan swasta itu resmi sehingga kalau membuat usulan bagian PHK itu paling rinci dan rawan bagi buruh. Pakar menghimbau agar jangan berpikir kedudukan yang sama antara pihak buruh dan pihak majikan walaupun secara normatif merupakan pihak yang sama.
  • Banyak kasus ketika terjadi perubahan UU No. 22 Tahun 1957 dengan UU No. 2 Tahun 2004 yang praktis berdiri tahun 2006.
  • Sebangkrut-bangkrutnya perusahaan pasti masih bisa makan, tetapi kalau buruh yang bangkrut pasti susah makan.
  • Untuk UU No. 2 Tahun 2004 kalau dilaksanakan dengan kecermatan yang luar biasa mungkin saja buruh akan menang.
  • Pengacara yang berpihak pada buruh itu sayangnya jumlahnya sangat kecil sekali, walaupun katanya ada proyek bantuan kepada rakyat yang tidak mampu, tetapi sampai sekarang duitnya tidak pernah turun. Pengadilan di Provinsi tidak dapat uang kalau proses perjalanannya tidak punya biaya untuk itu walaupun sekarang di fakultas-fakultas hukum itu ada pegawai non PNS yang boleh punya izin pengacara, tetapi tetap saja yang gratis itu masih membutuhkan biaya untuk sidang di Provinsi.
  • Ada kasus yang keputusannya menolak PHK dan asasinya. Kalau buruh dan pengusaha setara, maka UU PPHI bisa berjalan. Sayangnya, kondisinya tidak sejalan. Seharusnya ada pencermatan dari keputusan pengadilan dari PPHI agar bisa mengetahui kelemahan-kelemahan hubungan industrial yang ada. Jadi, implementasi penyelesaian perburuhan seringkali mendapat keputusan yang tidak adil.
  • Hukum acara cukup memusingkan bagi orang awam, apalagi serikat pekerja tidak diwakili pengacara profesional. Bagi buruh, pengacara profesional itu mahal. Penegakan hukum juga tidak sesuai dengan harapan buruh. Terdapat kesenjangan yang tidak signifikan. Kemudian kalau ada lembaga yang ada di P4B harus hati-hati betul. Jangan dikaitkan dengan Pemda. Itu paling mencelakakan karena selalu menarik investasi.
  • Kalau hendak membuat lembaga penyelesaian, lembaga itu harus independen meskipun biaya mahal, tetapi berapa juta pun dipikirkan tidak menjadi kendala. Harap dipertimbangkan untuk tidak menempatkannya di Pemda. Lembaga tersebut juga harus mempunyai kewenangan yang cukup karena kalau PPHI itu kan dari MA, pasti akan menjadi lembaga seperti di pengadilan-pengadilan.
  • Dilihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan putusan dari pengadilan hukum acara khusus, semuanya lebih rinci, tetapi lebih memudahkan buruh. Menurut pakar, itu bisa dimanfaatkan pikiran-pikiran yang hampir seluruhnya pengalaman ketika ia di fakultas hukum membantu buruh.
  • Ada beberapa rujukan argumentasi hukum PPHI harus dihentikan karena niatnya saja sudah salah untuk menjadi penyelesaian yang dilangsungkan dilaksanakan di negara ini. Setelah diteliti selama 1 tahun, hasil akhirnya sama. Hal yang terjadi adalah praktik di PHI itu makin porak poranda tidak karuan karena di awal di setting sudah keliru.
  • Hal yang menjadi pertanyaan adalah:
    • Apakah memang mekanisme penyelesaian perindustrial mencerminkan peradilan yang tidak memihak?
    • Apa dampak hak asasi manusia?
    • Apa alternatif mekanismenya?
    • Kenapa dulu PHI itu dilahirkan?
  • Benci dengan utang luar negeri yang dipesan dan dipinjamkan ke Indonesia, tetapi punya syarat.
  • Membuat sistem yang meliberalkan tenaga pasar Indonesia karena banyak yang yakin mekanisme itu mencerahkan sehingga ada imajinasi dalam UU itu belum mewujudkan penyelesaian perselisihan yang adil.
  • Argumentasi pakar dengan adanya PHI, Pemerintah tidak lagi menjadi bagian penting dalam upaya perlindungan dan pemenuhan HAM.
  • Mengasumsikan hukum dan perangkat infrastruktur PHI bekerja secara independen, bersih, dan adil.
  • Konvensi ILO No. 154 Tahun 1981 menyatakan tidak adanya kesempatan negosiasi atau perundingan secara kolektif dalam perselisihan perburuhan merupakan bentuk yang bertentangan dengan Konvensi ILO No. 154 Tahun 1981 Pasal 4 tentang perundingan kolektif yang menyatakan fair trial principles, hak atas proses peradilan yang adil dan tidak memihak berkaitan erat dengan aspek hukum materil.
  • Pakar mempertanyakan mengenai pihak yang melindungi buruh perkebunan di Banyuwangi Situbondo. Buruh-buruh tersebut datang ke Surabaya harus mempunyai argumentasi hukum layaknya lawyer dan menurutnya itu keliru.
  • Banyak buruh dihadirkan dan buruh banyak yang tidak diajak diskusi mengenai desain itu.
  • Pakar menanyakan serikat buruh yang mendorong PHI dengan desain pasar buruh yang liberal.
  • Labour Market Flexibility (LMF) pembentukan UU PHI tidak bisa dilepaskan dengan paradigma neo liberalisme. Tidak heran sebagai buruh yang kemampuannya terbatas harus menghadapi inkonsistensi kebijakan. Hal yang harus dilakukan adalah mengubah PP sistem PHI dalam konteks pemajuan HAM sebagaimana mandat konstitusional.
  • Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI harus mendorong mekanisme yang ramah terhadap perlindungan hak buruh.
  • Perlu alternatif solusi perselisihan dengan dinas tenaga kerja dan pengawas harus bekerja optimal untuk menyelesaikannya.
  • Prinsip sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang tidak menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga harus dilakukan.

Dr. Daniel Yusmic P.FoEkh, S.H - Pakar

  • Meningkatkan peran negara dalam revisi UU PHI terkait buruh, penekanannya pada peran negara sesuai trias politica.
  • Dari proses acara saja PPHI menggunakan hukum acara perdata dengan posisi hakim pasif. Padahal diketahui bahwa kedudukan buruh itu di bawah dari pengusaha. Jadi kalau posisi hakimnya pasif maka dipertanyakan. Peran hakim itu harus aktif dalam administrasi negara juga kedudukan bawahan yang lebih rendah dari atasan.
  • Buruh tidak berdaya memperjuangkan haknya bahkan seringkali ketika pekerja harus dikembalikan untuk bekerja.
  • Rekomendasi pakar tidak sekadar direvisi, tetapi dilakukan perbaikan total. Sama sekali tidak dilindungi buruh itu.
  • Berkaitan dengan mekanisme tentang perselisihan, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No. 2 Tahun 2004, mekanisme sebetulnya baik, tetapi di akhir justru tidak ada kepastian. Mereka tidak berdaya. Perlu ada perspektif yang sama mengenai hal ini. Jadi, perlu dipikirkan. Kalau dianalogikan orang naik angkot, sampai turun tidak dapat duduk.
  • Kalau masih perlu ada atau tidak. Kedepannya kalau ada mediasi harus dari hakimnya, bukan dari orang lain.
  • Model sistem pengadilan ad hoc karena tetap posisi buruh itu lemah.
  • Putusannya kalau bisa tidak ada banding atau kasasi.
  • Ada jumlah hakim ad hoc yang lebih banyak.

Umu - Pakar

  • Hal yang paling penting adalah pengawasan. Ada beberapa hal dan pihak untuk memperjuangkan posisi masing-masing. Kalau melanggar hak normatif pasti ketahuan seperti tidak membayar gaji sesuai UMR, tidak memberikan cuti hamil, itu sudah kelihatan.
  • Kalau buruh tahu bahwa majikannya memang tidak punya uang, mereka mau untuk menurunkan upahnya.
  • Pengusaha itu mendapat keuntungan, tetapi buruh tidak tahu dan pengusaha tidak ngomong, sedangkan jika rugi baru ngomong.
  • Pakar yakin buruh bisa berpikir kalau perusahaan ini tutup, mereka juga rugi. Butuh keterbukaan. Perundingan kolektif harus ada. Baru kemudian masuk ke situasi untuk mengambil keputusan. Masalahnya, kalau sudah terbiasa penanam modal asing, tidak biasa disini.
  • Pemogokan itu selalu berkaitan dengan upah yang tidak sesuai sehingga membuat harga barang menjadi mahal dan tidak pas. Kenaikan upah bisa dikemukakan dan pengaturan-pengaturannya bisa dirundingkan dengan lembaga secara fair dan peran yang cukup.
  • Pengawas harus ada untuk perundingan yang individu maupun kolektif. Kalau masih bisa dirundingkan walaupun terbatas waktu.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan