Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan dan Tanggapan terkait Draft RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan (Waspom) — Komisi 9 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI)

Tanggal Rapat: 29 Sep 2020, Ditulis Tanggal: 1 Oct 2020,
Komisi/AKD: Komisi 9 , Mitra Kerja: Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI)

Pada 29 September 2020, Komisi 9 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) mengenai Masukan dan Tanggapan terkait Draft RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan (Waspom). RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Sri Rahayu dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dapil Jawa Timur 6 pada pukul 10:20 WIB. (ilustrasi: gooddoctor.co.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
  • Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). LPNK melakukan masalah teknis pengawasan obat dan makanan, yaitu menilai bahwa obat dan makanan yang beredar harus memenuhi syarat kesehatan yaitu (safety) aman dan bermanfaat (efficacy), dan bila telah memenuhi syarat tersebut, masih ada syarat 1 lagi yaitu harus diproduksi secara berkualitas (quality) yaitu secara Good Manufacturing Production (GMP). Untuk obat disebut Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan untuk makanan Cara Pembuatan Makanan yang Baik (CPMB). Itu semua masalah teknis, bagaimana menilai safety, efficacy, dan quality sudah ada tata cara dan persyaratannya bahkan sudah disepakati secara global.
  • Semua kebijakan terkait obat dan makanan sudah ada di undang-undang yang mengatur tentang kesehatan, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan amanah undang-undang ini, masalah pengawasan obat dan makanan dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).
  • Pengawasan obat dan makanan pada dasarnya dilakukan untuk alasan kesehatan. Negara melakukan pengawasan obat dan makanan hanya demi kesehatan, oleh karena itu pengawasan obat dan makanan di seluruh dunia menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan.
  • Kewenangan Presiden di bidang kesehatan diamanahkan untuk dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan, kemudian dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015, kewenangan tersebut dikeluarkan dari Kementerian Kesehatan dan dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Presiden ini terakhir diubah pada tanggal 9 Agustus 2017, dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM.
  • Dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang BPOM, kewenangan Menteri Kesehatan (PMK) tentang Pengawasan Obat dan Makanan dengan demikian tidak lagi di Kementerian Kesehatan. Namun, Kementerian Kesehatan mengembangkan Direktorat Jenderal Kefarmasian yang melakukan tugas yang duplikasi dengan BPOM. Contohnya dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Uji Mutu Obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah. Dengan PMK ini, kewenangan penjaminan mutu Pemerintah yang dilaksanakan oleh BPOM diambil oleh Ditjen Farmasi dan diserahkan pelaksanaannya kepada Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Semua pihak tahu bahwa instalasi farmasi tersebut tidak mempunyai lab mutu dimaksud dan tidak dapat melakukan penjaminan mutu sebagaimana yang dilakukan oleh BPOM. Akibatnya, selama kurun waktu tersebut tidak ada penjaminan mutu obat di negara ini, dan ini sangat berbahaya. Salah satu akibat pengambilan kewenangan itu adalah timbulnya masalah vaksin palsu yang berdampak buruk sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Ditjen Farmasi telah mengambil kewenangan tersebut, namun tidak mampu melaksanakannya.

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI)
  • Total Distribusi Apoteker di Pelayanan Kefarmasian sebanyak 43.814, dengan rincian sebagai berikut:
    • Apotek 24.874
    • Puskesmas 9.931
    • Klinik Pratama 6.535
    • Klinik Utama 237
    • Rumah Sakit 2.237
  • Total Distribusi Apoteker di Industri Farmasi sebanyak 1.195, dengan rincian sebagai berikut:
    • Obat (CPOB) 209
    • Obat Tradisional (skala besar) 112
    • Obat Tradisional (kecil dan menengah) 874
  • Total Distribusi Apoteker di Bidang Distribusi Farmasi sebanyak 2.746, dengan rincian sebagai berikut:
    • PBF 2.232
    • Gudang Farmasi/Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota 514
  • Pedoman Organisasi dalam Menjalankan Praktik
    • Kode Etik Apoteker Indonesia
    • Pedoman Disiplin Apoteker Indonesia
    • Pedoman Praktik
    • Standar Kompetensi Apoteker Indonesia
  • Pandangan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) terhadap RUU tentang Waspom
    • Pada dasarnya, IAI setuju dengan penguatan Lembaga Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), beserta unsur pengawasannya baik SDM maupun sarana dan prasarananya.
    • IAI setuju Badan POM dalam melaksanakan tugas pengawasannya mendapatkan kepastian hukum kewenangan pengawasan sarana kefarmasian.
    • Setuju Badan POM memberikan pembinaan, pembimbingan, dan perlindungan bagi sarana kefarmasian.
    • Dalam pengaturan sanksi pelanggaran diusulkan agar tidak terlalu represif, namun terjadi keseimbangan antara pengawasan yang efektif untuk memberikan efek jera kepada pelanggaran dan memberikan iklim/usaha investasi yang produktif dengan mengabaikan ancaman sanksi administratif dan pidana yang dirasakan terlalu berat.
    • IAI setuju dalam rangka penguatan pengawasan berfokus pada peningkatan eksistensi Kelembagaan dan Tupoksi BPOM serta tidak tumpang tindih dengan kementerian yang urusannya di bidang kesehatan.
    • IAI mengusulkan dalam rangka efektivitas dan produktivitas pengawasan memanfaatkan Information, Communication, and Technology (ICT).
    • Sepertinya, untuk mengatur tentang substansi pengawasan obat dan makanan tidak cukup diatur di dalam satu undang-undang pengawasan obat dan makanan saja, namun perlu dipikirkan terintegrasi secara holistik untuk mengatur substansi kefarmasian secara umum, antara lain:
      • Ruang Lingkup Kefarmasian
        • Produk Kefarmasian
        • Safety, Efficacy, and Quality (keamanan, khasiat, dan kualitas) produk kefarmasian
        • Sarana Kefarmasian
        • SDM Kefarmasian/Tenaga Kefarmasian
        • Konsil Kefarmasian
        • Pendidikan Kefarmasian
        • Praktik Kefarmasian
        • Upaya Kefarmasian
        • Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian
        • Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat dalam Bidang Kefarmasian
        • Kelembagaan Kefarmasian
        • Pembinaan dan Pengawasan Kefarmasian
        • Sanksi dan Pidana Pelanggaran Kefarmasian
  • Berdasarkan pandangan-pandangan yang telah dipaparkan, IAI mengusulkan agar judul RUU ini diperluas menjadi RUU tentang Kefarmasian dan Pengawasan Obat dan Makanan (RUU Kefarmasian dan POM).

Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI)
  • Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) sangat berterima kasih telah diundang dalam RDPU yang sangat penting ini dalam rangka memberikan masukan untuk RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan.
  • PAFI memohon maaf yang sebesar-besarnya, mengingat situasi dan kondisi saat ini, PAFI belum dapat memberikan masukan dalam bentuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), namun jika masih diperlukan, akan disiapkan dan disampaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
  • PAFI menyambut baik adanya RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan, yang selanjutnya PAFI sebut sebagai RUU POM, yang merupakan RUU usul inisiatif DPR-RI sebagaimana tercantum dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020-2024. Namun demikian, perlu PAFI sampaikan masukan yang terkait dengan judul dan substansi atau materi muatan RUU POM, sebagai berikut:
    • Menimbang bahwa dalam judul RUU POM tercantum secara eksplisit kata “Makanan”, seyogyanya dalam Pasal 1 RUU, yang umumnya memuat definisi operasional, perlu tercantum yaitu apa yang dimaksud dengan “Makanan”.
    • Kata “Makanan” sendiri dalam RUU POM tercantum sebagai salah satu unsur dari pengertian dalam kata “Pangan Olahan” yang didefinisikan sebagai “makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan”.
    • Definisi “Pangan Olahan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10 RUU adalah sama persis dengan definisi “Pangan Olahan” sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
    • Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah tercantum secara eksplisit lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Pangan Olahan, sebagaimana tercantum, dalam Pasal 108, yang menetapkan bahwa:
      • Dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pangan, Pemerintah berwenang melakukan pengawasan (ayat 1).
      • Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan serta Persyaratan Label dan Iklan Pangan (ayat 2 huruf b).
      • Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan, serta Persyaratan Label dan Iklan Pangan untuk Pangan Olahan, dilaksanakan oleh “lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan” (ayat 3 huruf b).
    • Peraturan Pemerintah sebagai salah satu peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah diundangkan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan. Dalam PP ini telah tercantum mengenai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai “kepala lembaga pemerintah non kementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan”.
    • Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan telah secara jelas dan rinci diatur mengenai kewenangan dan tanggung jawab Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang termuat dalam 63 pasal dan/atau ayat.
    • Selain dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketentuan mengenai “Makanan” dalam kaitannya dengan upaya kesehatan, sesungguhnya telah tercantum dalam ketentuan Pasal 109 sampai dengan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
  • Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a sampai dengan huruf g, dengan segala kerendahan hati, PAFI memberikan masukan bahwa perlu dipertimbangkan mengenai materi muatan dalam RUU POM yang terkait dengan “Makanan” atau “Pangan Olahan” yang notabene sudah tercantum dan lebih lengkap dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.
  • Mencermati ruang lingkup RUU POM yang meliputi Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan, kecuali untuk Suplemen Kesehatan dan Pangan Olahan, selebihnya masuk dalam kategori sebagai “Sediaan Farmasi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan juga tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan sebagai salah satu peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional.
  • Ketentuan mengenai “Sediaan Farmasi” telah diatur sedemikian rupa dalam berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Obat Keras atau Ordonansi Obat Keras, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, beserta seluruh peraturan pelaksanaannya, yang mana pengaturannya dimulai dari Standar dan Persyaratan Sediaan Farmasi, Fasilitas Kefarmasian yang dapat memproduksi, mendistribusi, dan melakukan penyerahan/pelayanan Sediaan Farmasi, Izin Edar Sediaan Farmasi, sampai dengan melakukan farkamatovigilans atau pengawasan pasca pemasaran.
  • PAFI mencermati dalam Prolegnas 2020-2024 DPR-RI, telah tercantum pula sebuah RUU usul inisiatif DPR-RI, yaitu RUU tentang Kefarmasian, yang mengatur lebih komprehensif mengenai kefarmasian, di dalamnya tercantum pula kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap Sediaan Farmasi yang akan dilakukan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 192 RUU tentang Kefarmasian.
  • Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam angka 5 sampai dengan angka 7, PAFI memberikan masukan bahwa RUU POM ini perlu dipertimbangkan untuk diintegrasikan ke dalam RUU tentang Kefarmasian yang materi muatannya meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan bidang kefarmasian secara terintegrasi, meliputi Pendidikan Kefarmasian, Tenaga Kefarmasian, Praktik Kefarmasian, Upaya Kefarmasian, Produk Kefarmasian, Konsil Farmasi Indonesia, Penelitian dan Pengembangan, Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat dalam bidang kefarmasian, penguatan dan peningkatan pembinaan dan pengawasan serta ketentuan lain yang berkaitan dengan penegakan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan