Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pembiayaan Obat dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) — Komisi 9 DPR-RI Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Kesehatan (Menkes)

Tanggal Rapat: 29 Mar 2018, Ditulis Tanggal: 27 Aug 2020,
Komisi/AKD: Komisi 9 , Mitra Kerja: Menteri Kesehatan→NIla Moeloek

Pada 29 Maret 2018, Komisi 9 DPR-RI mengadakan Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Kesehatan (Menkes) mengenai Pembiayaan Obat dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Raker ini dibuka dan dipimpin oleh Dede Yusuf dari Fraksi Partai Demokrat dapil Jawa Barat 2 pada pukul 10:15 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: halodoc.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Menteri Kesehatan → NIla Moeloek

Menteri Kesehatan - Nila Moeloek

  • Sistem informasi pengadaan obat bisa diakses dalam Rencana Kebutuhan Obat (RKO), Formularium Nasional (Fornas) 2017 yang memuat 1.031 zat aktif.
  • Pembiayaan obat dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui mekanisme Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN):
    • Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP):
      • Puskesmas:
        • Obat program (APBN).
        • Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) (Dana Alokasi Khusus/DAK).
        • Biaya operasional (Kapitasi).
        • Alokon (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN).
      • FKTP Swasta:
        • Dana kapitasi.
        • Obat program melalui Dinas Kesehatan/Dinkes (APBN).
    • Di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL):
      • RS Pemerintah:
        • Pembayaran Indonesian Case Base Groups (INA-CBG).
        • Pembayaran non INA-CBG.
        • Obat program TB/HIV (APBN).
      • RS Swasta:
        • Pembayaran INA-CBG.
        • Pembayaran INA-CBG.
    • Obat program rujuk balik:
      • Sumber pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
      • Penyakit kronis: Diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, PPDK, epilepsi, skizofernia, stroke, SLE.
      • Penyedia: Instansi Farmasi FKRTL, Farmasi FKTP, apotek.
      • Klaim tersendiri dan harga obat: e-catalogue.
  • Kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan obat JKN:
    • Obat terjamin: Tersedia, terjangkau, dan bermutu.
    • Kendali mutu: Pemanfaatan Fornas dengan pemilihan obat berdasarkan benefit-risk ratio.
    • Kendali biaya:
      • Pengadaan obat lebih terkendali dengan obat yang mempertimbangkan benefit-cost ratio.
      • Penggunaan obat generik.
    • Evaluasi implementasi dengan Fornas sudah dimulai dari 2014 dan sudah mencapai 83,91% pada tahun 2017. Persentase kesesuaian obat dengan Fornas di Rumah Sakit:
      • 2014: 64.92%.
      • 2015: 73.84%.
      • 2016: 80.28%.
      • 2017: 83.91%.
  • Hari ini penggunaan Fornas menunjukkan fasilitas kesehatan yang mulai efektif.
  • Kemenkes telah menggunakan upaya melalui pertemuan rutin dan diskusi. Lalu, pihak-pihak yang mengalami kendala dapat menghubungi call center.
  • Obat yang sudah sangat rendah seperti ibuprofen tidak mengalami kenaikan harga. Sejak tahun 2017-2018, profil harganya relatif stabil.
  • Total pembiayaan obat JKN:
    • 2014:
      • Obat program Rp1.262.350.000.000.
      • DAK obat Rp640.000.000.000.
      • Klaim obat non CBGs/on top Rp363.985.000.000.
      • CBGs (20% untuk obat) Rp6.561.356.000.000.
      • Total Rp8.827.691.000.000 (64% gen).
    • 2015:
      • Obat program Rp1.591.629.000.000.
      • DAK obat Rp638.471.000.000.
      • Klaim obat non CBGs/on top Rp1.598.014.000.000.
      • CBGs (20% untuk obat) Rp8.708.840.000.000.
      • Total Rp12.536.954.000.000 (59% gen).
    • 2016:
      • Obat program Rp2.461.713.000.000.
      • DAK obat Rp990.965.000.000.
      • Klaim obat non CBGs/on top Rp2.053.041.000.000.
      • CBGs (20% untuk obat) Rp10.309.082.000.000.
      • Total Rp15.814.801.000.000 (60% gen).
    • 2017:
      • Obat program Rp3.192.565.000.000.
      • DAK obat Rp1.160.000.000.000.
      • Klaim obat non CBGs/on top Rp2.351.643.000.000.
      • CBGs (20% untuk obat) Rp13.543.516.000.000.
      • Total Rp20.248.516.000.000 (61% gen).
    • Peningkatan biaya obat bukan karena harga obat semakin mahal tapi karena pelayanan obat.
  • Total pasar obat 2014-2017:
    • 2014 Rp58,7 Triliun: Generik 8.9%, etikal 51.2%, OTC 49.0%.
    • 2015 Rp61,6 Triliun: Generik 10.0%, etikal 51.9%, OTC 38.0%.
    • 2016 Rp67,2 Triliun: Generik 14.8%, etikal 64.0%, OTC 21.4%.
    • 2017 Rp67,5 Triliun: Generik 18.9%, etikal 63.1%, OTC 20.0%.
  • Investasi industri farmasi:
    • 2014-2015: Rp2.6 Triliun.
    • 2016-2017: Rp5.4 Triliun.
    • Naik dua kali lipat.
  • Amanat Presiden RI Kesimpulan Batas Kabinet Tanggal 9 November 2016:
    • Presiden menyetujui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengendalian Defisit Program Jaminan Kesehatan dan meminta kalkulasi detail mengenai pengendalian. Keputusan mengenai pembiayaan BPJS Kesehatan dilakukan melalui koordinasi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sehingga dapat secepatnya diselesaikan.
      • Perumusan Bauran Kebijakan dilaksanakan bersama oleh Kemenko PMK, Kemenkes, BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kemenaker, DJSN, dan Bappenas.
  • Pembatasan dan operasional BPJS Kesehatan dari iuran sebesar 4.8%.
  • 9 Bauran Kebijakan dalam Pengendalian Defisit Program JKN:
    • Perbaikan manajemen klaim faskes (mitigasi fraud). Tindak lanjut akan diatur dalam revisi Perpres Jaminan Kesehatan.
    • Penyesuaian batas atas pengenaan iuran. Tindak lanjut tidak disetujui pada Rapat Tingkat Menteri dan dihapus.
    • Perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik. Tindak lanjut akan diatur dalam revisi Perpres Jaminan Kesehatan.
    • Cost sharing pada pelayanan yang berpotensi moral hazard. Tindak lanjut akan diatur dalam Perpres Jaminan Kesehatan.
    • Strategic Purchasing. Tindak lanjut akan diatur dalam Perpres Jaminan Kesehatan.
    • Sinergitas Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Ketenagakerjaan, ASABRI, Jasa Raharja, dan Taspen). Tindak lanjut akan diatur dalam Perpres Jaminan Kesehatan.
  • BPJS juga dapat mengembangkan metode lain hasil guna.
  • Perkembangan Perubahan Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dalam rangka Penanggulangan Defisit JKN.
    • September 2017 Pengajuan Izin Prakarsa:
      • Permohonan izin prakarsa sudah diajukan melalui Setneg.
      • Persetujuan penyusunan R. Perpres dari Menteri Sekretaris Kabinet melalui Surat No. B. 570/Seskab/PMK/2017.
    • September-Oktober 2017 Pembahasan Substansi Perubahan oleh Tim Teknis:
      • Pembahasan teknis dilakukan melibatkan Kemenkes, BPJS Kesehatan, Kemenkeu, Kemenko PMK, Kemendagri, dan DJSN.
    • November 2017 sampai dengan Februari 2018 Rapat Panitia Antar Kementerian:
      • Pembahasan Antar Kementerian (PAK).
    • 12 Maret 2018:
      • Berkas dikirim ke Kemenkumham.
    • 13 Maret 2018 dan 29 Maret 2018 Harmonisasi finansial Perpres Jaminan Kesehatan.
  • Capaian program JKN:
    • 2014:
      • 133.4 juta jiwa.
      • Komposisi kepesertaan:
        • 65% Penerima Bantuan Iuran (PBI).
        • 35% non PBI.
      • FKTP yang bekerjasama 18.437.
      • FKRTL yang bekerjasama 1.681.
      • Pemanfaatan (total kunjungan) 92.3 juta.
    • 2015:
      • 156.7 juta jiwa.
      • Komposisi kepesertaan:
        • 56% PBI.
        • 44% non PBI.
      • FKTP yang bekerjasama 19.969.
      • FKRTL yang bekerjasama 1.847.
      • Pemanfaatan (total kunjungan) 146.7 juta.
    • 2016:
      • 171.9 juta jiwa.
      • Komposisi kepesertaan:
        • 53% PBI3.
        • 47% non PBI.
      • FKTP yang bekerjasama 20.708.
      • FKRTL yang bekerjasama 2.068.
      • Pemanfaatan (total kunjungan) 192.9 juta.
    • 2017:
      • 187.9 juta jiwa.
      • Komposisi kepesertaan:
        • 49% PBI.
        • 51% non PBI.
      • FKTP yang bekerjasama 21.763.
      • FKRTL yang bekerjasama 2.292.
      • Pemanfaatan (total kunjungan) 219.6 juta.
    • 1 Februari 2018:
      • 192 juta jiwa.
      • Komposisi kepesertaan:
        • 48% PBI.
        • 51% non PBI.
      • FKTP yang bekerjasama 21.785.
      • FKRTL yang bekerjasama 2.324.
      • Pemanfaatan (total kunjungan) -.
  • Penyakit katastropik merupakan penyakit yang masuk kategori high cost (berbiaya tinggi). Pada kelompok masyarakat yang tidak memiliki jaminan kesehatan, katastrofik dapat menyebabkan Catastrophic payment gap yang akan menimbulkan kemiskinan di masyarakat. JKN adalah solusi untuk mencegah Catastrophic payment gap sehingga masyarakat terlindungi dari risiko finansial.
    • Penyakit katastropik merupakan penyakit dengan biaya tinggi dan secara komplikasi bisa terjadi ancaman jiwa yang membahayakan.
    • Ada beberapa penyakit yang menjadi fokus penyakit katastropik dalam implementasi JKN, diantaranya:
      • Jantung.
      • Kanker.
      • Gagal ginjal.
      • Stroke.
      • Thalassaemia.
      • Cirrhosis Hepatitis.
      • Leukemia.
      • Haemophilia.
    • JKN melindungi masyarakat dari katastropik namun hal ini juga bisa mengurangi APBN yang tinggi.
  • Konsep modern palliative care dalam penyakit katastropik dalam rangka menurunkan pembiayaan katastropik.
    • Awal: Pengobatan untuk mempengaruhi penyakit. Penanganan paliatif sudah dilakukan dari awal sakit, yaitu sejak diagnosa ditegakkan.
    • Penanganan paliatif: Pengobatan untuk mengurangi penderitaan dan/atau memperbaiki kualitas hidup.
    • Kematian masa berkabung: Penanganan di akhir kehidupan.
  • Peserta JKN bisa mendaftar melalui aplikasi mobile e-FKRTL.
  • Peningkatan upaya promotif preventif dalam upaya menurunkan penyakit katastropik berdasarkan Permenkes No. 43 Tahun 2016 tentang SPM:
    • Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintah wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
    • Implementasi SPM akan memperkuat sisi promortif 0 preventif sehingga diharapkan akan ber-impact pada penurunan jumlah kasus kuratif yang ditanggung oleh JKN.
    • Pelayanan SPM:
      • Pelayanan antenatal.
      • Pelayanan persalinan.
      • Pelayanan kesehatan Bayi Baru Lahir (BBL).
      • Pelayanan kesehatan balita.
      • Skrining kesehatan pada usia pendidikan dasar.
      • Skrining kesehatan usia 15-59 tahun.
      • Skrining kesehatan usia >60 tahun.
      • Pelayanan kesehatan penderita hipertensi.
      • Pelayanan kesehatan penderita Diabetes Mellitus (DM).
      • Pelayanan kesehatan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
      • Pelayanan TB sesuai standar.
      • Pemeriksaan HIV untuk orang berisiko.
  • Rasio dokter spesialis per 100.000 penduduk tahun 2017:
    • Target: 10,4.
    • Realisasi 13,6.
    • Tertinggi di Jakarta dan terendah di Nusa Tenggara Timur (NTT).
  • Penyiapan tempat tinggi yang layak huni menurut Wajib Kerja Dokter Spesialis (WDKS). Pemberian pelayanan sesuai dengan yang ditentukan.
  • Penempatan WDKS menurut Rumah Sakit ada 20 orang kelas A, 272 orang kelas B, 549 orang kelas C, dan 255 orang kelas D.
  • Untuk peserta WDKS mandiri, WDKS memberikan feedback pada 90 prang peserta. Feedback instrumen monev peserta WDKS:
    • Insenda/institusi:
      • Menyediakan 87%.
      • Tidak menyediakan 11%.
      • Tanpa keterangan 4%.
    • Tempat tinggal layak huni:
      • Menyediakan 90%.
      • Tidak menyediakan 7%.
      • Tanpa keterangan 3%.
    • Jasa media:
      • Menyediakan 87%.
      • Tidak menyediakan 8%.
      • Tanpa keterangan 6%.
    • Kendaraan operasional:
      • Menyediakan 64%.
      • Tidak menyediakan 29%.
      • Tanpa keterangan 7%.
    • Alkes memadai:
      • Menyediakan 84%.
      • Tidak menyediakan 14%.
      • Tanpa keterangan 1%.
    • Obat memadai:
      • Menyediakan 84%.
      • Tidak menyediakan 13%.
      • Tanpa keterangan 2%.
  • Penugasan khusus berbasis tim (existing) menurut Provinsi Tahun 2018:
    • NTT 345 (14%), Papua 262 (11%), Maluku 221 (9%), Kalbar 189, Sumut 142, Papua Barat 139, Sulut 134, Kalut 130, Sulsel 97, Sulteng 90, Riau 87, Sulteng 87, Kep. Riau 77, Lampung 69, Sulbar 68, Malut 59, Kaltim 45, Aceh 44, Bengkulu 37, Gorontalo 33, Sumbar 32, Kalteng 31, Sumsel 17, Jambi 16, Kalsel 15, Jabar 5, Jatim 5, Kep. Bangka Belitung 5, NTB 5.

Dirut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

  • Dirut BPJS Kesehatan berterima kasih kepada Komisi 9 karena telah membuat tim ad hoc dan sampai sekarang sudah mengadakan 5 kali pertemuan sekaligus seminar. Ia berharap hal tersebut akan membuat JKN menjadi lebih baik lagi nantinya.
  • Alur pengadaan dan pelayanan obat berdasarkan Permenkes No. 63 tahun 2014:
    • Komite Fornas memberikan usulan obat dari RS, profesi, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
    • Kemenkes menetapkan obat dalam Fornas.
    • Kemenkes mengusulkan perkiraan sendiri dan jumlah kebutuhan obat (rencana kebutuhan obat) satu tahun.
    • Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) melakukan lelang penetapan penunjukkan pabrikan sebagai pemenang.
    • LKPP melakukan kontrak dengan pabrik obat dan distributor, komitmen penyediaan (dituangkan dalam e-katalog).
    • Pabrikan melakukan ketersediaan obat melalui distributor.
    • Faskes (RS, FKTP, Dinkes) memesan obat ke pabrikan.
    • Distributor mendistribusikan obat ke faskes.
    • Fakes melakukan pelayanan obat kepada peserta.
    • Faskes melakukan penagihan klaim pelayanan oleh faskes kepada BPJS Kesehatan.
    • BPJS Kesehatan melakukan pembayaran klaim INA CBGs oleh BPJS Kesehatan (termasuk obat di dalamnya).
  • Pembiayaan pelayanan obat berdasarkan Permenkes No. 52 Tahun 2016:
    • FKTP:
      • Kapitasi. Obat untuk kasus non spesialistik.
      • Non kapitasi. Obat Program Rujuk Balik (PRB).
    • FKRTL:
      • INA CBG.
      • Non INA CBG.
        • Obat kronis non stabil (ketentuan obat 7+23).
        • Obat kemoterapi.
        • Special drugs. Special drugs dibayar dengan sistem top up yaitu obat untuk Thalasemia (Deferiprone, Deferasirox dan Deferoxamine), Albumin, Streptokinase dan anti Hemofilia Factor.
  • Kasus yang paling banyak ditemukan adalah kekosongan obat jumlah yang masuk berdasarkan sistem informasi walaupun jumlahnya tidak menggambarkan keseluruhan. Masih ada 50% kekosongan obat dan masih ada 30% iuran biaya obat.
  • Berita positifnya adalah perbedaan orang yang membeli obat JKN dan umum, tidak terlalu besar perbedaannya, hanya 6,5% sehingga komitmen fasilitas kesehatan mengacu pada hal ini.
  • Diperlukan sinkronisasi regulasi dalam pengadaan obat dan hal tersebut menjadi komplain masyarakat. Mengacu kepada Peraturan Presiden, biaya rumah sakit tidak boleh melakukan iuran kepada peserta. Jadi, hal tersebut akan BPJS Kesehatan perbaiki.
  • Lebih dari 50%, askes yang bekerja sama dengan BPJS adalah milik swasta yang masih kesulitan dalam segi akses.
  • Permasalahan pelayanan obat:
    • Aspek regulasi dan kebijakan:
      • Perlu sinkronisasi regulasi tentang pengadaan obat.
        • Perpres No. 19 Tahun 2016 bahwa Fornas dan e-catalogue merupakan acuan pelayanan obat peserta program JKN.
        • Perpes No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya bahwa e-catalogue adalah untuk pengadaan barang/jasa di Faskes milik Pemerintah (dasar kontrak LKPP dengan pabrik Farmasi) => lebih dari 50% Faskes kerjasama dengan BPJS Kesehatan adalah milik swasta.
        • Permenkes No. 63 Tahun 2014: Faskes swasta dapat memesan obat secara manual, namun implementasi Permenkes ini terhalang oleh Perpres No. 54 Tahun 2010.
      • Belum semua obat Formas tercantum dalam e-catalogue (merk, supplier, dan harga) sehingga berpotensi menghambat pengadaan obat Fornas untuk peserta JKN.
      • Supplier untuk setiap satu jenis obat e-catalogue hanya tersedia satu pemenang (bukan beberapa pemenang), sehingga tidak terdapat pilihan provider obat hanya pada saat supplier Pemenang tidak dapat memenuhi ketersediaan obat.
      • Harga obat per provinsi bervariasi dengan pemenang tunggal sehingga sehingga terdapat sehingga terdapat potensi tidak terpenuhinya ketersediaan obat bagi provinsi yang sulit dijangkau, disebabkan karena jumlah permintaan obat kecil dan tidak ada subsidi sidang antar provinsi untuk pemenuhan obat.
    • Aspek strategic purchasing. Belum ditempatkannya BPJS Kesehatan sebagai strategic purchaser dalam pelayanan obat bagi peserta JKN sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaimana Pasal 24 ayat 3 yaitu “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
    • Aspek kepastian akses dan ketersediaan obat:
      • E-catalogue menekan harga obat namun belum mampu memberikan kepastian ketersediaan obat.
      • Faskes swasta dan apotek PRB tidak memiliki akses e-purchasing.
      • Service Level Agreement (SLA) penyelesaian keluhan kekosongan obat belum optimal dan belum ada mekanisme untuk mengontrol penyelesaian keluhan.
      • Tidak ada opsi pengadaan obat jika penyedia obat e-katalog tidak menyanggupi pesanan.
    • Aspek pembiayaan obat.
      • Pembiayaan obat PRB belum optimal di FKRTL.
        • Belum semua obat pendamping untuk penyakit PRB tercantum dalam regulasi tentang Daftar Obat Fornas untuk PRB, sehingga peserta harus kembali ke FKRTL untuk berobat.
      • Pembiayaan obat kronis belum potensi di FKRTL.
        • Ketentuan tentang jenis obat yang bisa diklaimkan sebagai obat kronis dan obat pendamping kronis dengan skema 7+23 belum tersedia (baru tersedia regulasi tentang Daftar Obat Fornas untuk PRB).
        • Kepatuhan FKRTL terhadap ketentuan obat 7+23 belum optimal.
        • Ketersediaan obat kronis dan obat pendamping kronis tidak kontinyu sehingga mendorong FKRTL untuk melakukan fragmentasi pelayanan obat (obat tidak diberikan untuk kebutuhan 30 hari sekaligus).
  • Permintaan obat kecil akan menimbulkan pemenuhan obat di berbagai daerah sedikit terganggu.
  • Kepastian ketersediaan obat akan terus diperbaiki dan berharap tidak ada lagi isu mengenai ketersediaan obat di lapangan.
  • Untuk e-katalog ini betul memperbaiki ketersediaan obat di lapangan dan nanti akan terus memperbaiki ini.
  • BPJS Kesehatan ingin keterlibatan obat di FKTP selalu ada ketika pasien sedang rujuk balik.
  • Pengembangan aplikasi apotek online BPJS Kesehatan:
    • Menyediakan data riwayat pelayanan obat luar paket real time online.
    • Mempercepat updating tabel referensi apotek.
    • Mempercepat verifikasi tagihan obat luar negeri.
    • Pelaporan keluhan ketersediaan obat secara online.
  • BPJS akan memiliki lembaga seperti di Inggris yang bernama NICE. Lembaga ini adalah untuk masyarakat yang ingin menyampaikan keluhannya jadi tidak kepada BPJS ataupun Kemenkes.
  • Usulan untuk implementasi layanan obat:
    • Perlunya sinkronisasi antara Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya tentang Pengadaan Barang/Jasa di Faskes milik Pemerintah (e-catalogue dan e-purchasing adalah untuk pengadaan obat di faskes pemerintah) dengan pelaksanaan program JKN.
    • Pemberian akses e-purchasing bagi faskes swasta karena >50% FKRTL kerja sama adalah milik swasta dan ada 2.262 apotek PRB milik swasta.
    • Adanya multiple winners dalam e-catalogue untuk memberikan opsi kepada faskes dalam pengadaan obat.
    • Pemberlakuan harga obat nasional (bukan per provinsi) untuk:
      • Mengurangi potensi terjadi kekosongan obat di provinsi yang sulit dijangkau.
      • Memberikan subsidi silang biaya distribusi obat.
      • Meningkatkan bargaining power pemerintah dalam negosiasi karena skala penyediaan menjadi lebih besar.
      • Untuk memudahkan evaluasi kinerja prinsipal dan memudahkan sistem referensi obat.
    • Perlunya update informasi terhadap perubahan e-catalogue pada web LKPP untuk akurasi pembayaran.
    • Adanya regulasi yang mendorong FKRTL untuk melaporkan data utilisasi obat paket INA CBG kepada Kemenkes, salah satunya sebagai pertimbangan kecukupan tarif paket INA-CBG.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan