Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan Terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Merek — Panitia Khusus DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar

Tanggal Rapat: 16 Mar 2016, Ditulis Tanggal: 28 Oct 2021,
Komisi/AKD: Panitia Khusus , Mitra Kerja: Pakar - Dr. Henry Soelistyo Budi, SH., LLM. dan Nurul Barizah, SH., LLM.

Pada 16 Maret 2016, Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar mengenai Masukan Terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Merek. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Desy Ratnasari dari Fraksi Partai Amanat Nasional dapil Jawa Barat 4 pada pukul 11:05 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: beritasatu.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pakar - Dr. Henry Soelistyo Budi, SH., LLM. dan Nurul Barizah, SH., LLM.

Pakar - Nurul Barizah, SH., LLM.

  • Terdapat 5 poin pertanyaan Panitia Khusus (pansus) yang disampaikan kepada pakar, pertama mengenai permohonan pendaftaran internaisonal indikasi geografi. Menurut pakar, cukup tepat kalau UU Merek diubah menjadi UU Merek dan Indikasi Geografis. Jika melihat ketentuan di RUU, terkait permohonan pendaftaran tersebut ada di Pasal 60.
  • Masukan RUU Merek yang terkait dengan materi indikasi geografis oleh Nurul dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga pada pertanyaan permohonan pendaftaran internasional indikasi geografis. Pasal 60 ayat (1) Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah Negara Republik Indonesia wajib diajukan melalui Kuasanya di Indonesia atau melalui perwakilan diplomatik negara asal Indikasi Geografis di Indonesia. (1) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat didaftar apabila Indikasi Geografis tersebut telah memperoleh pengakuan dan/atau terdaftar sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asalnya. Menurut pakar, Pasal ini sudah cukup baik dan sesuai dengan ketentuan internasional yang mengatur tentang Indikasi geografis dalam Lisbon Agreement for the Protection of Appellations of Origin and Their Registration 1958. Dimana untuk Indikasi geografis yang akan didaftarkan ke luar negeri harus sudah didaftarkan di negara asalnya dulu.
  • Kemudian, Pasal 61 menyatakan bahwa: Pasal 61 (1) Indikasi Geografis dapat pula didaftarkan berdasarkan perjanjian internasional; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Indikasi Geografis dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Komentar pakar adalah:
    • 1. Redaksi kalimat dalam kedua Pasal tersebut perlu disempurnakan, sebaiknya dijadikan Pasal saja.
    • 2. Pasal 61 (1) yang menyebutkan perjanjian internasional itu perlu dijelaskan perjanjian internasional mana yang dimaksud. Apakah perjanjian internasional yang akan dibuat oleh Indonesia dengan pihak lain (bilateral ayau regional) untuk melindungi geographical indication masing-masing pihak? Ataukah perjanjian internasional yang telah ada yang mengatur tentang GI? Misalnya? Perjanjian TRIPs?, Lisbon Agreement atau perjanjian Lisbon yang sudah direvisi menjadi Geneva Act of the Lisbon Agreement on the Appellations of Origin and Geographical Indication, diadopsi pada Diplomatic Conference May 2015? dan Jika Indonesia menetapkan di dalam UU nasionalnya, apakah Indonesia sudah mengadopsi, meratifikasi atau pihak dalam perjanjian itu?
    • 3. Pasal 61 (2) hanya menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran Indikasi Geografis dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri”. Bagaimana dengan yang dari dalam negeri ke luar negeri? Apa tidak diatur juga?
  • Indonesia belum meratifikasi Madrid Agreement dan juga harus berhati-hati terhadapnya. Untuk Lisbon Agreement juga Indonesia harus berhati-hati, harus ada studi yang komprehensif. Kebanyakan mempunyai semangat untuk meratifikasi, tetapi substansi dan infrastrukturnya tidak disiapkan. Sebagian masyarakat internasional juga menginginkan Lisbon Agreement menganut Geographical Indication. Ada 900 pendaftaran internasional yang melalui Lisbon ini. Dari 900 yang terdaftar, ternyata 500 lebih dari Prancis. Jadi, negara-negara maju banyak yang tidak meratifikasi itu. Kalau Indonesia mendaftar, harus diperhatikan apakah Indonesia benar-benar siap. Jangan hanya semangat mendaftar, tetapi ternyata membuat Indonesia kalah bersaing sehingga indikasi geografis yang didaftarkan tidak digunakan.
  • Pertanyaan kedua mengenai pembinaan dan pengawasan indikasi Geografis yang terdiri dari 3 Pasal, yaitu Pasal 68, Pasal 69, dan Pasal 62.
  • Pembinaan dan Pengawasan Indikasi Geografis. Pembinaan:
    • Pasal 68:
      • (1) Pembinaan Indikasi Geografis dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemeirntah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
      • (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi tahap:
        • a. Persiapan untuk pemenuhan persyaratan permohonan Indikasi Geografis;
        • b. Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis;
        • c. Pemanfaatan Indikasi Geografis.
    • Pasal 69:
      • (1) Pengawasan Indikasi Geografis dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
      • (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh masyarakat.
      • (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk:
        • a. menjamin tetap adanya ciri dan kualitas tertentu yang menjadi dasar diterbitkannya Indikasi Geografis;
        • b. mencegah penggunaan Indikasi Geografis secara tidak sah.
      • Hasil dari pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (2) disampaikan kepada pemilik Indikasi Geografis dan/atau Menteri.
      • Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Menteri.
    • Pasal 62:
      • Setiap pihak, termasuk Tim Ahli Indikasi Geografis dapat menyampaikan kepada Menteri hasil pengamatan bahwa ciri, karakteristik yang khas dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis telah tidak ada.
      • Dalam hal hasil pengamatan sebagaimana dimaksud paa ayat (1) bukan berasal dari Tim Ahli Indikasi Grografis, Menteri meneruskan hasil pengamatan tersebut kepada Tim Ahli Indikasi Geografis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya hasil pengamatan tersebut.
      • Dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak diterimanya hasil pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Tim Ahli Indikasi Geografis melakukan pemeriksaan dan memberitahukan hasil keputusannya serta langkah-langkah yang harus dilakukan kepada Menteri.
    • Komentar pakar adalah:
      • Untuk pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah tidak ada masalah. Tapi untuk pengawasan, sebagaimana disebut dalam Pasal 69 (3), untuk menjamin tetap adanya ciri dan kualitas tertentu yang menjadi dasar diterbitkannya indikasi geografis, sangat tidak mudah untuk dilakukan. Karena Pemerintah tidak punya pengetahuan yang cukup untuk mencegah penggunaan indikasi geografis secara tidak sah. Kecuali memang ada perangkat yang dibentuk untuk itu.
      • Jika tugas untuk pengawasan ini sulit untuk dilakukan oleh Pemerintah, apalagi dilakukan oleh masyarakat, untuk menjamin tetap adanya ciri dan kualitas tertentu. Apalagi jika hasil pengawasan itu nanti kemudian disampaikan ke Menteri, apa mungkin dilakukan masyarakat.
      • Dalam Pasal 62nya disebutkan, setiap pihak dapat melakukan pengamatan, kemudian disampaikan ke Menteri. Siapa yang dimaksud pihak disini? Para pihak? Masyarakat? Atau siapa? Lembaga yang mendaftar? Jika pihak disini bisa masyarakat, maka berarti masyarakat bisa melakukan pengawasan dan pengamatan. Apa bedanya kedua istilah tersebut?
      • Jadi ada redaksi kalimat yang berbeda antara pengawas dan pengamatan. Kalau Tim Ahli Indikasi Geografis tugasnya mengamati, Pemerintah tugasnya mengawasi, kalau masyarakat tugasnya mengawasi dan mengamati. Benarkah demikian?
      • Apakah tidak sebaiknya pengawasan dan pembinaan ini melibatkan Tim Ahli Indikasi Geografis. Jadi, ada sistem moniroting secara regular untuk memastikan bahwa ciri dan kualitas sebagai dasar diberikannya Indikasi geografis ini tetap ada yang dilakukan oleh Tim Ahli karena tim inilah yang punya pengetahuan untuk itu. Kalau dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Varietas Tanaman, monitoring secara regular dilakukan oleh Kantor PVT dengan melibatkan komisi PVT.
      • Pasal 58 dan 62 itu sebaiknya berurutan dengan heading: Tugas dan keanggotaan Tim Ahli Indikasi Geografis sehingga akan lebih sistematis.
  • Ada tiga istilah berbeda yaitu pembinaan, pengawasan, dan pengamatan. Bedanya pengawasan dan pengamatan itu yang harus diperhatikan kalau mengharapkan Pemda untuk melakukan pengawasan, sedangkan pengetahuan tentang indikasi geografisnya terbatas, kecuali memanga da perangkat yang dibentuk dan disediakan unutk itu. Jika untuk Pemerintah saja susah, lalu bagaimana masyarakat melakukannya? Ini akan sulit sekali. Pihak yang memungkinkan melakukan hal tersebut adalah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) atau tim ahli indikasi geografis. Ia juga menanyakan yang dimaksud setiap pihak dan masyarakat juga memiliki hak pengawasan dan pengamatan atau tidak. Ia menyarankan secara legal drafting Pasal 58 dan 62 sebaiknya berurutan karena ada jumping.
  • Pelanggaran dan Gugatan Indikasi Geografis:
    • Bab VIII Pasal 53:
      • (1) Untuk meningkatkan manfaat Indikasi Geografis, Menteri dapat menetapkan Kawasan Indikasi Geografis melalui Program Nasional Indikasi Geografis bekerjasama dengan instansi terkait lainnya.
      • (2) Semua produk Indikasi Geografis yang telah terdaftar wajib mencantumkan logo dan kode asal produk Indikasi Geografis Indonesia.
      • (3) Pelanggaran terhadap ayat (2) berakibat dilarangnya produsen untuk menggunakan nama Indikasi Geografis untuk barang yang diproduksi.
      • (4) Ketentuan lebih lanjut tentang penetapan Kawasan Indikasi Geografis diatus dengan Peraturan Menteri.
    • Komentar:
      • Pakar kurang paham dengan Pasal ini karena, pertama, Pasal ini pada awalnya mengatur tentang Kawasan Indikasi Geografis, namun tiba-tiba dalam ayat 2nya menetapkan kewajiban untuk mencantumkan logo dan kode asal produk indikasi geografis Indoensia. Kemudian Ayat 3nya menyatakan, Jika kewajiban tersebut tidak dilakukan, maka produsen dilarang menggunakan nama indikasi geografis untuk barang yang diproduksi. Namun, ayat 4nya kembali lagi membahas tentang Kawasan Indikasi Geografis. Karena itu Pasal ini tidak sistematis.
      • Apa ratio legisnya Pasal ini? Jika produsen tidak boleh menggunakan nama Indikasi Geografis, terus siapa yang akan menggunakan?
      • Apakah karena suatu hal logo dan kode asal produk indikasi geografis tidak dicantumkan (ketidaksengajaan misalnya) maka kemudian akan berakibat produsen dilarang menggunakan nama tersebut untuk barang yang diproduksi? Untuk selamanya? Atau sementara?
  • BAB X PELANGGARAN DAN GUGATAN: Pelanggaran Indikasi Geografis: Pasal 63:
    • Pelanggaran Indikasi Geografis mencakup:
      • a. Pemakaian Indikasi Geografis yang bersifat komersial, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang yang tidak memenuhi Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis;
      • b. Pemakaian suatu tanda Indikasi Geografis yang bersifat komersial, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang yang dilindungi atau tidak dilindungi dengan maksud:
        • 1. untuk menunjukkan bahwa barang tersebut sebanding kualitasnya dengan barang yang dilindungi oleh Indikasi Geografis;
        • 2. untuk mendapatkan keuntungan dari pemakaian tersebut; atau
        • 3. untuk mendapatkan keuntungan atas reputasi Indikasi Geografis;
      • c. Pemakaian Indikasi Geografis yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asal usul geografis barang itu;
      • d. Pemakaian Indikasi Geografis secara tanpa hak sekalipun tempat asal barang dinyatakan;
      • e. Peniruan atau penyalahgunaan lainnya yang dapat menyesatkan sehubungan dengan asal tempat barang atau kualitas barang yang tercermin dengan asal tempat barang atau kualitas barang yang tercermin dari pernyataan yang terdapat pada:
        • 1. pembungkus atau kemasan;
        • 2. keterangan dalam iklan;
        • 3. keterangan dalam dokumen mengenai barang tersebut;
        • 4. informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal usulnya (dalam hal pengepakan barang dalam suatu kemasan); atau
        • 5. tindakan lainnya yang dapat menyesatkan masyarakat luas mengenai kebenaran asal barang tersebut.
    • Komentar:
      • Redaksi kalimat dalam pasal-pasal diatas tidak mudah dimengerti, dan penjelasannya mengatakan cukup jelas.
      • Pasal 63 (a) yang menyatakan: Pemakaian Indikasi Geografis yang bersifat komersial, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang yang tidak memenuhi Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis; Mengapa ini dianggap pelanggaran? Kalau barang tersebut belum didaftarkan sebagai indikasi geografis kan tidak masalah.
      • Pasal 63 (b) menyatakan, pemakaian suatu tanda GI yang bersifat komersial …atas barang yang dilindungi atau tidak dilindungi. Apa pengertian tidak dilindungi disini? GI yang tidak didaftarkan? Redaksi kalimat dalam kedua pasal tersebut tidak mudah dimengerti.
      • Kalau informasi mengenai asal barang dalam perdagangan internasional sudah ada aturannya sendiri dalam Agreement on rule of origin (ROA).
      • Kemudian yang menjadi konsep terjadinya pelanggaran atau dianggap melanggar itu yang komersial atau tidak komersial juga dianggap melanggar (lihat ayat d, bandingkan dengan a dan b).
  • Pakar menanyakan mengenai aturan tentang asal barang di WTO terkait Agreement on Rule of Origin. Menurutnya konsep pelanggaran perlu diperhatikan bersama. Pakar menanyakan yang tidak komersil dianggap melanggar juga atau tidak.
  • Gugatan: Pasal 66:
    • (1) Pemgang hak atas Indikasi Geografis dapat mengajukan gugatan terhadap pemakai Indikasi Geografis yang tanpa hak berupa permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket Indikasi Geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut.
    • (2) Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggaran untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakan, serta memerintahkan pemusnahan etiket Indikasi Geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut.
    • Komentar:
      • Pasal 66 (1) gugatan diajukan kemana? Perlu diperjelas ke pengadilan niaga.

Apakah untuk injunction, penghentian kegiatan dllnya dalam Pasal 66 (2) bisa dilakukan secara otomatis? Apa dasar hukum nya? Apakah tidak bertentangan dengan asas praduga tak bersalah?

      • Sebaiknya Pasal 66 (2) ini juga mengikuti Pasal 89 yang mengatur tentang penetapan sementara pengadilan. Jadi hakim itu bisa melakukan jika ada gugatan, diproses, disidangkan, ada bukti permulaan yang cukup dan lain-lainnya. Jadi hukum acaranya tidak dilanggar. Jadi harus ada permintaan ke hakim dari pihak yang haknya dilanggar untuk menerbitkan surat penetapan sementara.
  • Banding Indikasi Geografis
    • Jika memang perlindungan indikasi geografis ini tetap jadi satu dengan UU tentang Merek, maka ketentuan Pasal 56 yang mengatur tentang banding apabila ada penolakan atau tidak dapat didaftarnya suatu indikasi geografis dianggap cukup.
  • Pemakai Terdahulu Indikasi Geografis
    • Ketentuan yang mengatur mengenai hak pemakai terdahulu indikasi geografis sudah cukup fair (Pasal 65 (1) (2). Dan sudah ada mekanismenya jika keberatan terhadap pembatalan dan pencoretan pendaftaran merek dengan mengajukan upaya kasasi).

Pakar - Dr. Henry Soelistyo Budi, SH., LLM.

  • Pakar ingin memulai dengan pernyataannya bahwa indikasi geografis bukan sesuatu yang baru. Sudah dikolaborasikan pada UU Merek yang kemarin dan kalau sekarang mau diperdalam, maka pakar sepakat bahwa RUUnya menjadi Merek dan Indikasi Geografis. Selama Indikasi Geografis mengatur nama atau alokasi atau nama daerah, itu merupakan suatu keniscayaan. Gagasan pakar dalam RUU Mereka pada definisi dijelaskan denifisi Indikasi Geografis, lalu dibangun norma komitmen untuk melindungi. Namun pakar terbalik. Menurut pakar kalau membahas definisi, cukup pakai yang Pasal 52 mengenai komitmen perlindungan dalam rumusan definisi. Konstruksi berpikir pakar karena kalau membicarakan Pasal 52 ayat 1 hanya akan bicara norma, sedangkan batang tubuh ini tempat untuk menaruh norma tersebut.
  • Terdapat 3 terminologi yang berhimpit. UU Merek yang sekarang ini disusun secara mendalam untuk memberikan pengetahuan yang dalam kepada masyarakat. Terkait indikasi asal, kalau ini dihilangkan maka tidak ada acknowledgement, pakar rasa tidak bijak. Sesungguhnya yang dibutuhkan adalah norma, bukan rumusan yang seperti sekarang. Perlu ada dokumen yang memuat ciri-ciri dna karakter tadi. Kalau hanya ada di definisi, itu korelasinya tadi ada kewajiban untuk merumuskan, tetapi kalau ini norma, maka ini perlu perumusan.
  • Hari ini di Kompas ada berita di Belanda tentang bunga yang diberikan LED untuk memberikan karakteristik. Kalau penyinaran LED bisa membuat bunga sangat indah, ini menjadi sangat penting.
  • Merek:
    • Indikasi Geografis:
      • Alam: Given.
      • Tanah: Kesuburan, kelembapan.
      • Manusia: Tradisional knowledge, know how, kearifan lokal.
  • Intervensi manusia bisa dipakai. Ini memungkinkan adanya karakteristik khas yang menjadi dasar bagi diterima atau ditolaknya pendaftaran. Ini menjadi poin diperlukannya tim ahli.
  • Pakar tidak begitu happy terkait rumusan ada tim ahli dan tim teknis. Kalau merumuskan susunan tim ahli, pakar mempertanyakan bisa mewakili karakteristik Indikasi Geografis atau tidak.
  • Pakar mempertimbangkan mengenai adhoc untuk lebih baiknya. Jadi, case per case karena dari sisi kuantitasnya pun tidak akan banyak.
  • Untuk tugas yang sedikit, pakar menanyakan alasan pembuatan struktur permanen seperti ini.
  • Untuk banding, menurut pakar harus ke Komisi Banding Merek. Jika dari tim ahli ke Komisi Banding Merek yang keilmuannya tidak linear, dikhawatirkan akan mejadi blunder.
  • Masuk ruang lingkup Indikasi Geografis, objeknya barang dan produk ternyata ada perbedaan makna.
  • Sekilas pakar melihat ada 2 terms ini di RUU. Pakar menanyakan terms yang mau dipakai.
  • Jika bicara mengenai ulos dalam indikasi geografi, perlu dipertanyakan disebut ulos Batak atau ulos Tapanuli. Batak bukan geografis, jelas Tapanuli, tetapi ada konflik tertentu karena mengindikasi Batak dengan daerah. Lalu ada masalah imigran indikasi geografi, skill dan knowledge yang dibawa oleh imigran digunakan untuk membuat produk dengan masih menggunakan nama geografis, contohnya hip, dupa, kue keranjang, madu madinah, dsb. Konsekuensinya harus dijelaskan betul karakteristik ini. Banyak imigran yang memiliki skill dan knowledge dan diterapkan lagi di daerah yang didatangi, misalnya ada orang Indonesia yang jadi imigran di Malaysia, membuat batik, perlu diperhatikan cara menyelesaikannya.
  • Terkait jangka waktu perlindungan tidak banyak yang pakar bahas. Tidak ada aturan yang membahas selama karakteristik itu masih ada dan konfidensial maka berlaku.
  • Ada beberapa hal yang mengatur waktu berhentinya perlindungan indikasi geografis yaitu karena faktor bencana alam atau perubahan iklim, misalnya dulu tsunami di Aceh, lalu cuaca panas di Kintamani tidak lagi begitu dan mengubah kualitas kopinya.
  • Untuk persyaratan dan tata cara permohonan, pakar menggunakan model Singapura. Model Singapura ini tidak semuanya terdeskripsikan dalam RUU.
  • Menyangkut public domain juga terkait dengan kepemilikan dan nama umum sbegaai pembeda. Ketika sudah menjadi nama umum, ada norma yang membatalkan, misalnya seberapa sering nama Solo dipakai, seperti soto Solo, dan sebagainya.
  • Pemeriksaan Indikasi Geografis:
    • Masalah teknis:
      • Persyaratan substantif
      • Persyaratan yuridis normatif
    • Masalah institusional:
      • Kelembagaan: tim ahli indikasi geografis
      • (Tim teknis?)
    • Masalah instrumen:
      • Peraturan PUU (PP, Peraturan Menteri)
      • Peraturan Operasional
  • Kalau mau menunjukkan political will Pemerintah, ini sangat ambisius. Masalah-masalah lain dalam RUU:
    • Program nasional indikasi geografis (Pasal 53):
      • Tujuan, bentuk, jabaran operasionalnya
    • Banding penolakan pendaftaran indikasi geografis (Pasal 56):
      • Mengapa ke Komisi Banding Merek?
      • Legal dan Business Judgementnya apa?
    • Pelanggaran indikais geografis:
      • Siapa subjek pelakunya?
      • Kalau komunitas sendiri?
  • Pakar mencurigai ini program tempelan. Dengan adanya program ini pakar khawatir ada manuver lain yang tidak dimengerti sekarang ini. Hal yang riil itu UMKM membutuhkan kemudahan pendafataran merek.
  • Untuk GI baru ada 20, perlu dipikirkan kembali fokusnya.
  • Dalam RUU dijelaskan siapa yang berhak mengajukan pendaftaran yaitu komunitas di territorial tersebut.
  • Untuk Solok, ada di 2 Kabupaten.
  • Pakar menyebutkan jangan-jangan norma yang dibangun membuat masyarakat bertengkar sendiri.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan