Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Mendengarkan Masukan terkait RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) — Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Prof. Surya Jaya (Hakim Agung Mahkamah Agung), Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Dian Puji Simatupang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Tanggal Rapat: 18 Jan 2017, Ditulis Tanggal: 5 Jan 2021,
Komisi/AKD: Panitia Khusus , Mitra Kerja: Prof. Surya Jaya (Hakim Agung Mahkamah Agung), Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Dian Puji Simatupang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Pada 18 Januari 2017, Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Prof. Surya Jaya (Hakim Agung Mahkamah Agung), Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Dian Puji Simatupang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI mengenai Mendengarkan Masukan terkait RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Ketua Pansus, Muhammad Lukman Edy dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dapil Riau 2 pada pukul 10:50 WIB. (ilustrasi: nasional.okezone.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Prof. Surya Jaya (Hakim Agung Mahkamah Agung), Prof. Harkristuti Harkrisnowo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Dian Puji Simatupang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Prof. Surya Jaya, Hakim Agung Mahkamah Agung

  • Prof. Surya Jaya memiliki pandangan bahwa pengaturan tindak pidana penyelenggaraan Pemilu sudah memadai. Namun, sanksinya perlu dikaji ulang karena masih sangat ringan. Sanksi tersebut dikaitkan dengan kesadaran hukum masyarakat yang sering melanggar ketika ancamannya terlalu ringan.
  • Jika ancaman dibuat ringan, maka khawatir pelanggaran akan lebih banyak. Ancaman pidana bukan satu-satunya yang menekan pelanggaran penyelenggaraan Pemilu. Salah satu hal yang lepas dari perhatian mereka adalah mengenai kultur agar tidak melanggar, meskipun sanksi yang diberikan kecil.
  • Dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu, ada konsep yang menyalahi prinsip hukum. Contohnya seperti perusahaan percetakan yang diancam pidana penjara merupakan salah satu contoh yang salah. Seharusnya, sanksi untuk korporasi adalah denda.
  • Jika ada yang dipenjara, seharusnya yang dipenjara adalah pengurus/pelaku pidana, bukan korporasinya. Namun, sanksi denda untuk korporasi selama ini tidak efektif dan tidak ada instrumen hukum acara untuk mengatur hal tersebut.
  • Regulasi yang mengatur korporasi hanya mengatur sanksi denda, tidak ada regulasi yang mengatur hukum acara. 
  • Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, sudah mengatur hukum acara untuk korporasi. Salah satu hal yang ditakuti oleh korporasi adalah ancaman pidana tambahan, bukan pidana pokok. Pidana tambahan tersebut adalah mematikan korporasi/pencabutan izin. 
  • Masukan dari Prof. Surya Jaya adalah kata setiap orang harus dijelaskan lebih rinci.

Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Akademisi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

  • Di dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu terdapat 78 (tujuh puluh delapan) tindak pidana yang dirumuskan. Ia menanyakan mereka harus memberikan sanksi untuk setiap tindak pidananya atau tidak. 
  • RUU ini bukan tentang tindak pidana, melainkan mengatur mekanisme penyelenggaraan Pemilu.
  • Berbicara tentang pidana, maka akan berbicara nestapa.
  • Pidana adalah bentuk pranata sosial. Prof. Harkristuti mengaitkan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ia juga memprediksi hakim akan kesulitan memilih acuan regulasi yang akan digunakan, karena ada kesamaan antara KUHP dengan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu.
  • Prof. Harkristuti mengutip dari L. Friedman bahwa fungsi hukum adalah mekanisme social control. Ia juga mengutip pendapat dari Andrew Asper bahwa pidana bukan selalu bentuk anti-sosial, yang utama harus ada elemen yang berkaitan dengan stigma. Tindak pidana dapat menimbulkan kerugian (ada atau tidak ada korban).
  • Prof. Harkristuti juga mengutip Herbert Packer, kriminalisasi mengancam penduduk sosial, tidak dikehendaki seluruh masyarakat, dan selaras dengan tujuan pemidanaan. Lalu, tidak menimbulkan overburden bagi Sistem Peradilan Pidana (SPP). 
  • Sanksi pidana dibutuhkan ketika ada harm (kerugian), dan kerugian tersebut harus dibedakan antara perdata dan pidana. Sebaiknya, sanksi pidana dikeluarkan jika menimbulkan kerugian serius.
  • Sanksi administratif tidak menggugurkan sanksi pidana. Masing-masing rezim hukumnya berbeda. Di dalam Pasal 429 yang mengatur tata cara mekanisme sanksi administratif, pidana pokok bagi korporasi adalah denda. Jika tidak dapat memenuhi pidana denda, dapat dilakukan pidana pengganti (pencabutan hak).
  • Pidana denda terdapat 6 (enam) kategori dengan nilai yang berbeda. Prof. Harkristuti mengusulkan istilah ‘Tindak Pidana Pemilu’ diganti menjadi ‘Ketentuan Pidana’. Lalu, 78 tindak pidana yang dirumuskan dapat dikelompokan agar tidak terlalu banyak pasalnya. Selain itu, di dalam KUHP tidak lagi menggunakan kata ‘kurungan’, melainkan ‘penjara’.

Dian Puji Simatupang, Akademisi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

  • Di dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu, perlu ditelaah kembali nomenklaturnya. Di dalam RUU tersebut dinyatakan ‘Pelanggaran Administratif Pemilu’. Dalam hal tersebut, perlu ditentukan hanya pelanggaran syarat administratif atau keseluruhan norma administratif. Sanksi administratif harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika sudah jelas akan mudah bagi penegak hukum menentukan sanksinya, sehingga tidak dikaburkan. Pengenaan sanksi administratif secara teori dikenakan pada persoalan salah kira terhadap peraturan perundang-undangan. Untuk hal yang berkaitan dengan uang, harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan terlibat Money Politic.
  • Pengenaan sanksi administratif harus jelas tingkatannya dan bukan tentang pidana dan keperdataan. Jika berkaitan dengan etika, dapat dilakukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait kelembagaan (KPU, Bawaslu, dan DKPP) harus mengikuti politik hukum oleh DPR-RI.
  • Terkait keanggotaan KPU yang harus dipahami adalah bukan jumlah yang menyelesaikan, melainkan implementasinya. Sebenarnya, bukan masalah komisionernya, melainkan staff-nya yang berkenaan langsung dengan penyelesaiannya.
  • Terkait komposisi harus dilihat yang urgent pengambilan keputusan atau koordinasi.

Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

  • LIPI mempertanyakan tujuan Pemilu untuk rakyat, Pemerintah, atau Partai Politik (Parpol), karena tidak ada jawaban tunggal untuk Pemilu yang ideal. Pemilu yang ideal tergantung pada konsep dan tujuan kegiatan Pemilu.
  • LIPI menjelaskan setiap sistem Pemilu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Pemilu di Indonesia semakin baik dan demokratis, tetapi tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif dan akuntabel. Secara horizontal pemerintah terbelah dan terputus secara vertikal.
  • Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) yang diawali Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) adalah sebuah anomali, padahal skemanya presidensial.
  • Menurut LIPI, Pemilu Indonesia saat ini belum didesain untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas sistem presidensial. Konteks utama Pemilu adalah kebutuhan kelembagaan sistem presidensial yang efektif. Tujuan Pemilu adalah terpilihnya wakil yang tidak hanya representatif, tetapi juga akuntabel, amanah, dan tanggung jawab.
  • LIPI menerangkan, Indonesia harus melembagakan sistem multipartai sederhana. Tingkat partai di Indonesia saat ini ekstrem dan jumlahnya banyak. Hal ini cenderung menimbulkan terjadinya transaksi partai.
  • Permasalahan Presiden multipartai adalah munculnya Presiden dengan basis politik minoritas. Sistem multipartai membuat banyak komplikasi. Pemilu serentak pada tahun 2019 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) adalah Pemilu 5 Kotak*. LIPI melihat hal tersebut hanya untuk efisiensi dana dan waktu, padahal tujuan utama adalah meningkatkan efisiensi sistem presidensial. (*Pemilu 5 Kotak adalah kotak pertama yang merujuk pada kotak DPR, kotak kedua adalah kotak DPD, kotak ketiga adalah kotak Presiden dan Wakil Presiden, kotak keempat adalah kotak DPRD provinsi, dan kotak kelima adalah kotak DPRD kabupaten/kota).
  • Kelebihan skema Pemilu serentak adalah memperkecil gap antara eksekutif dan legislatif. Pileg yang dianut Indonesia adalah model sistem campuran dengan asumsi sudah proporsional dan mayoritariat. Di dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang dikirim ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah tidak mempunyai pilihan politik yang jelas.
  • RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu belum mengantisipasi oligarki pimpinan partai. LIPI mengusulkan, untuk Pileg, Daerah Pemilihan (Dapil) diperkecil agar Calon Legislatif (Caleg) lebih dikenal. Namun jika disetujui, pengecilan Dapil dapat berdampak pada partai kecil.
  • Kedaulatan legislatif tergantung bakal Caleg. Penyaringan nama Caleg seharusnya di Musyawarah Daerah (Musda) atau Musyawarah Nasional (Munas), bukan di rapat kecil/tertutup agar semua orang tahu. 
  • Kedepannya, kader yang menjadi Caleg harus menempuh sertifikasi pengkaderan Caleg. Selama ini, pengkaderan Caleg sangat administratif. Dalam studi LIPI, Caleg minimal sudah menjadi anggota parpol selama 5 tahun, kecuali tokoh istimewa.
  • Poin penting dalam ambang batas parlemen tidak hanya untuk DPR-RI. Namun, juga untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 
  • Permasalahan saat ini adalah banyak anggota yang dipecah belah, honornya pun terpecah belah. Ambang batas 3,5% sudah memadai. Untuk ambang batas pencalonan Presiden yang sekarang terlihat anomali. Seharusnya, dalam sistem presidensial tidak ada ambang batas untuk pencalonan Presiden. 
  • Ambang batas pencalonan Presiden adalah hal yang tidak relevan untuk dipertahankan. Saat ini, yang berhak mencalonkan Presiden adalah Parpol yang memiliki kursi di DPR-RI, sedangkan Parpol baru tidak berhak. 
  • Menurut LIPI, Pemilu serentak akan bermakna apabila ambang batas masih dipertahankan. LIPI mengusulkan adanya pemilihan pendahuluan Calon Presiden untuk Pemilu Serentak 2019. Untuk menghindari pasangan calon tunggal, perlu dilakukan pembatasan besaran koalisi maksimum 60% dari jumlah besaran suara.
  • Usulan terakhir dari LIPI adalah pentingnya pengaturan tenggang waktu antara Presiden Terpilih yang belum dilantik dengan Presiden yang masa jabatannya akan berakhir.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan