Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Keterwakilan Perempuan dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu — Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Center for Election and Political Party (CEPP), dan LSM Kemitraan

Tanggal Rapat: 1 Feb 2017, Ditulis Tanggal: 13 Jan 2021,
Komisi/AKD: Panitia Khusus , Mitra Kerja: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Center for Election and Political Party (CEPP), dan LSM Kemitraan

Pada 1 Februari 2017, Pansus DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Center for Election and Political Party (CEPP), dan LSM Kemitraan mengenai Keterwakilan Perempuan dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Muhammad Lukman Edy dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dapil Riau 2 pada pukul 11:08 WIB. (ilustrasi: artikula.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Center for Election and Political Party (CEPP), dan LSM Kemitraan

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)

  • Melihat dari data yang ada, jumlah perempuan separuh dari penduduk Indonesia. Oleh karena itu, keterwakilan perempuan harus kuat dalam pemerintahan. 
  • Keterwakilan perempuan sebesar 30% dalam pemerintahan masih sangat relevan dan masih harus diperkuat di dalam undang-undang.
  • Isu kesetaraan gender dalam bidang politik menjadi isu universal, sebagai kelanjutannya dalam pembangunan berkelanjutan ditekankan kesetaraan gender.
  • Tren Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia pada tahun 2014 adalah 70,68.
  • Dalam sidang PBB, Indonesia diberikan rasio 50:50 untuk kesetaraan gender.
  • Kesenjangan antara wanita dan laki-laki masih sangat lebar untuk pengambilan keputusan. Di 11 provinsi, ada yang tidak mempunyai keterwakilan perempuan di DPR-RI. Diharapkan, semua parpol diwajibkan mencalonkan 30% kader perempuan untuk Pileg mendatang.
  • Keterwakilan perempuan di Indonesia masih lemah, contohnya persentase wakil perempuan di DPR-RI hanya 17%, di Bawaslu Pusat hanya 20%, di Bawaslu Provinsi hanya 19%, di Bawaslu Kabupaten hanya 22%, di KPU Provinsi hanya 30%, dan di KPU Pusat hanya berjumlah 1 orang.
  • Terdapat beberapa faktor untuk meningkatkan keterpilihan perempuan dalam Pileg salah satunya adalah perempuan harus mempunyai kualitas politik. Nomor urut juga berpengaruh di dalam Pileg. Pemilih cenderung memilih nomor atas. 
  • Kementerian PPPA memohon agar perempuan ditempatkan pada nomor 1 (satu) di setiap provinsi dalam Pileg mendatang.
  • Pada Pileg 2014, belum ada partai politik yang memenuhi 30% keterwakilan perempuan.
  • 6 (enam) provinsi memasuki kategori sangat rendah untuk keterwakilan perempuan.
  • Mengacu pada permasalahan rendahnya keterwakilan perempuan di legislatif, Kementerian PPPA mengeluarkan kebijakan terkait keterwakilan perempuan di DPR-RI yang terbagi menjadi 3 (tiga) fase yaitu Pra Pemilu, Pemilu, dan Pasca Pemilu.
  • Kementerian PPPA menerima Keputusan MK terkait dipertahankannya 30% keterwakilan perempuan di parlemen. 
  • Kementerian PPPA juga meminta kepada pengurus partai politik untuk menyertakan lebih dari 30% perempuan dalam kepengurusannya.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)

  • Peningkatan partisipasi perempuan dapat melalui partai politik. KPI berharap hal ini dapat dipertimbangkan untuk pengambilan keputusan di dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu.
  • Situasi perempuan di tahun 2014, pemilih diatur sebagai orang yang berusia 17 tahun atau telah menikah, sehingga implikasinya sangat berat untuk perempuan.
  • Angka perkawinan dini di Indonesia masih tinggi. Peluang anak-anak berusia 13 tahun yang sudah menikah untuk memilih sangat besar di beberapa daerah. 
  • KPI sangat berharap agar syarat pemilih sudah berumur 17 tahun, tanpa syarat sudah menikah.
  • Anak 17 tahun akan mendapatkan pendidikan politik jika diizinkan menjadi pemilih. Beberapa partai politik membuat aturan melarang kerjasama lintas partai.
  • Akses informasi untuk perempuan sangat rendah, termasuk di KPU. Persoalan ketidaktetapan aturan di menit-menit terakhir pemilihan juga menjadi rintangan bagi perempuan yang ingin mendidik calon pemilihnya. 
  • Persoalan daerah pemilihan juga masih sulit untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Tahun 2014, persentase keterwakilan perempuan di DPR menurun, sementara di DPRD meningkat.
  • Frasa ‘memperhatikan’ dalam undang-undang sebaiknya diganti dengan ‘mewajibkan’ agar sifatnya mengikat.
  • KPI percaya bahwa sistem proporsional terbuka memberikan peluang lebih besar untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan di parlemen. Kelompok perempuan tidak punya cukup uang untuk berkampanye, maka disiasati dengan tandem.
  • Terkait jatah kursi dalam daerah pemilihan yang kecil membuat perempuan sulit menang dalam Pileg. 
  • KPI merekomendasikan keterwakilan perempuan bagi setiap parpol di DPR-RI diberikan 9 kursi, dan untuk DPRD 12 kursi. 
  • Keterpilihan perempuan sangat bergantung pada penetapan daerah pemilihan yang ramah dan strategis. Perempuan yang punya basis kuat biasanya punya peluang menang yang lebih besar. Nomor urut juga berpengaruh pada psikologis pemilih, mereka menganggap nomor satu paling baik untuk dipilih.
  • Untuk bakal calon, KPI usul tetap dilaksanakan dengan rumusan yang sama sesuai dengan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
  • KPI mengusulkan menggunakan Semi Zipper System untuk penetapan bakal calon perempuan.
  • Minahasa, Barito, dan Depok menjadi kota dengan persentase tertinggi keterwakilan perempuan. 
  • KPI mengusulkan agar ada aturan yang menjamin persamaan akses informasi bagi semua anggota dewan.
  • Kaukus Perempuan Parlemen ditujukan untuk memperkuat peran perempuan. Namun, hal itu belum diakui sebagai Alat Kelengkapan Dewan (AKD). KPI berharap agar kedepannya Kaukus Perempuan Parlemen dapat diakui sebagai AKD.

Center for Election and Political Party (CEPP)

  • CEPP hampir ada di semua kampus kecuali UGM. 
  • CEPP telah melakukan studi tentang negara bahwa negara untuk stabil memerlukan waktu 100 (seratus) tahun.
  • Setiap membuat undang-undang harus mempunyai konstitusi lain sebagai acuannya, agar ketika undang-undangnya disahkan, jangan sampai hanya MK yang menentukan. 
  • Cukup banyak undang-undang yang selesai di DPR, namun ketika diputuskan di MK bertentangan dengan undang-undang lain bahkan Undang-Undang Dasar (UUD). 
  • Democracy Internal Party 2014 didebatkan agar Parpol dapat melakukan rekrutmen Caleg dengan demokratis.
  • Dalam Bab Pemilu Pasal 5, penting untuk membawa ‘buku wajib’ saat membuat konstitusi agar tidak ada yang membawa hasil undang-undang ke MK.
  • Dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu, terdapat 74 pasal pidana yang menurut CEPP sangat tidak baik untuk dilaksanakan karena berhubungan dengan aparta dan ujungnya justru menyerang anggota dewan. 
  • Jika ingin mengubah sistem Pemilu, sebaiknya harus berhati-hati. Di Afrika ketika mengubah sistem keterwakilan perempuan justru hasilnya anjlok. 
  • Keterwakilan perempuan di parlemen paling tinggi di dunia ada di Rwanda sebanyak 65%. 
  • Kriteria untuk sistem Pemilu yaitu accountability, representative, fairness, persamaan hak, pembentukan pemerintahan yang efektif dan akomodatif, pengembangan Parpol, dan perwakilan lokal yang kuat.
  • Studi mengatakan, 68% laki-laki berhasil memenangkan Pileg karena berada di nomor urut satu.
  • Perjuangan aktivis perempuan di zaman reformasi dibantu anggota dewan membuahkan hasil yaitu aturan adanya keterwakilan perempuan sebesar 30%. 
  • Amanah undang-undang adalah menggunakan sistem pemilu yang proporsional, jika ingin diubah menjadi sistem district akan sulit. 
  • Terkait alokasi kursi untuk setiap daerah pemilihan, prinsipnya One Person, One Vote, One Value (OPOVOV), walaupun masih memikirkan keadilan alokasi di luar Jawa.
  • Terkait isu perempuan, nomor urut 1 (satu) sampai 3 (tiga) harus ada perempuannya. Jangan seperti kasus yang terjadi pada PKS yang memberikan nomor urut 1 sampai3tiga kepada perempuan, tetapi di daerah pemilihan yang PKS tidak ada suaranya.
  • CEPP setuju Parpol dibiayai negara, karena Parpol tidak boleh berbisnis. 
  • CEPP tidak tahu hasil Pileg di dalam Pemilu akan signifikan atau tidak, karena pemilih akan konsentrasi kepada Pilpres.
  • CEPP mengusulkan agar Parpol untuk membuat exercise variable kursi di setiap daerah pemilihan.
  • Sistem Pemilu jika indikatornya terbuka-terbatas, maka harus terbuka-terbatas. Namun, apabila partai politik ingin tertutup boleh saja.

LSM Kemitraan

  • LSM Kemitraan didukung oleh United Nations Developments Programe (UNDP) dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mengurus sistem good governance.
  • LSM Kemitraan memberikan naskah akademik Kitab Hukum Pemilu kepada Pimpinan Fraksi di DPR dan Anggota DPR. 
  • LSM Kemitraan diberikan 21 pertanyaan dari Pansus RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu.
  • LSM Kemitraan menyusun naskah akademik RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu, karena melihat semangat konstitusi dan mengusulkan untuk melihat dari sistem hingga ke DKPP.
  • Tujuan Kodifikasi Pemilu adalah menyederhanakan sistem pemilu agar dapat dipahami para pemilih pada umumnya. Selain itu, juga untuk menciptakan sistem Pemilu yang tepat waktu dan menjamin kepastian bagi lembaga penegak hukum. 
  • LSM Kemitraan juga mendorong profesionalisme bagi penyelenggara pemilu. Hal ini untuk menghilangkan insentif bagi penegakan Money Politic dan menciptakan pola partisipasi warga negara sebagai pemilih dan konsekuen. 
  • Aktor utama pemilu adalah partai dan rakyat.
  • Untuk tujuan pengaturan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu versi Pemerintah, LSM Kemitraan menyepakati dengan adanya 2 (dua) tujuan yang harus ditambahkan yaitu terkait penyederhanaan Parpol dan penguatan partisipasi pemilih. Hal ini karena adanya frasa ‘dapat’ dalam Bab Pemilih.
  • Definisi Pemilu serentak versi Pemerintah adalah Pileg dan Pilpres. Ini bukan Pemilu serentak, melainkan adalah Pemilu borongan. LSM Kemitraan mengusulkan agar ada 2 (dua) Pemilu, Pemilu Nasional (Pilpres dan Pileg) dan Pemilu lokal (DPD dan DPRD Kab/Kota). Hal tersebut diusulkan agar konstituen dapat dengan mudah mengkonsolidasikan isunya. Selain itu, juga dapat menguatkan sistem kontrol bagi Parpol agar rakyat melihat kinerja partai.
  • Parliamentary threshold diusulkan agar tetap 3,5% untuk semua tingkatan, tetapi ada alternatif untuk penyederhanaan partai, district magnitude 3 sampai 6 tidak perlu diberlakukan.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan