Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Harmonisasi Rancangan Undang Undang (RUU) Jabatan Hakim — Badan Legislasi DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Tim Ahli

Tanggal Rapat: 19 May 2016, Ditulis Tanggal: 14 Apr 2021,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Tim Ahli Badan Legislasi DPR-RI

Pada 19 Mei 2016, Badan Legislasi DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Tim Ahli mengenai Harmonisasi Rancangan Undang Undang (RUU) Jabatan Hakim. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Dossi Iskandar dari Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura) daerah pemilihan Jawa Timur 8 pada pukul 13.21 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: law-justice.co)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Tim Ahli Badan Legislasi DPR-RI
  • Badan Legislasi DPR-RI telah menerima surat No. 116/KOM.III/MP.IV/V/2016 pada tanggal 26 April 2016 dari pimpinan Komisi 3 DPR-RI untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU tentang Jabatan Hakim.
  • Penugasan tersebut berdasarkan pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU no 12 tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PP) juncto Pasal 105 huruf c UU no 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, juncto Pasal 65 huruf c Peraturan DPR-RI No. 1/2014 tentang Tata Tertib DPR-RI (Tatib DPR), juncto Pasal 22 Peraturan DPR-RI No.2/2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU.
  • Pokok harmonisasi yaitu aspek teknis, aspek substansi dan asas pembentukan PP.
  • RUU tentang Jabatan Hakim telah dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 43 ayat (3) UU No. 12/2011, Pasal 99 ayat (5) TATIB DPR dan Pasal 22 Peraturan DPR-RI tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU.
  • RUU tentang Jabatan Hakim masih memerlukan penyempurnaan, baik mengenai teknik penyusunan PP (legislative drafting) maupun ditinjau dari sisi keterkaitan pasal-pasal dalam RUU tersebut.
  • Ketentuan Pasal 4 huruf a RUU perlu diubah, dengan mengubah frasa "kemandirian" menjadi frasa "kemerdekaan".
  • Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UUD NKRI Tahun 1945. Dengan demikian, ketentuan Pasal 4 huruf a RUU menjadi berbunyi "mewujudkan kemerdekaan Hakim dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya".
  • Perubahan rumusan pasal 5 RUU dengan mengganti frasa "melakukan" dengan "menyelenggarakan" agar sesuai dengan ketentuan Pasal 2 dan 8 RR.
  • Dengan demikian ketentuan Pasal 5 RUU berbunyi "Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berkedudukan sebagai Pejabat Negara yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman."
  • Perubahan rumusan Pasal 6 ayat (1) RUU dengan mengubah rumusan norma "Jabatan Hakim terdiri atas..." menjadi "kedudukan hakim di lingkungan peradilan terdiri atas hakim pertama, hakim tinggi dan hakim agung.
  • Perubahan rumusan Pasal 7 RUU dengan menghapus frasa "bertempat" pada rumusan ayat 1,2 dan 3 RUU. Dengan demikian rumusan pasal 7 ayat 1 RUU berbunyi "Hakim pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a berkedudukan di pengadilan tingkat pertama."
  • Pasal 7 ayat 2 RUU berbunyi "Hakim tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b berkedudukan di pengadilan tinggi ." Pasal 7 ayat 3 RUU berbunyi "Hakim Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berkedudukan di MA.
  • Ketentuan Pasal 20 huruf d RUU perlu diubah redaksinya cukup ditulis dengan rumusan "sarjana hukum, sarjana syariah atau sarjana hukum islam."
  • Ketentuan Pasal 20 huruf h RUU, perlu diubah dengan menghilangkan frasa "... sebagai advokat, jaksa, polisi, notaris, mediator atau arbiter tersertifikasi..."
  • Dengan demikian, ketentuan pasal 20 huruf h berbunyi "memiliki pengalaman berpraktik di bidang hukum paling singkat lima tahun."
  • Ketentuan Pasal 22 RUU, ada catatan "Ketentuan pendidikan hakim sebagai pendidikan profesi harus sesuai dengan UU 20/2003 Sisdiknas. Karena itu perlu diperjelas model pendidikannya apakah seperti pendidikan notaris, IPDN atau yang lain.
  • Terlebih pendidikannya hanya selama dua tahun, kemudian ayat 3 ketentuan lebih lanjut ....diatur bersama oleh... tidak lazim, karena ketentuan lebih lanjut menunjuk pada jenis produk hukumnya dan bukan pembuat produk hukumnya.
  • Sementinya ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP karena jika disebut peraturan bersama MA dan pemerintah maka tidak lazim dan kabur, karena pemerintah tidak jelas menunjuk siapa.
  • Ketentuan Pasal 23 RUU ada catatan "untuk mendapatkan hakim yang memiliki kapasitas yang baik, selain lulus pendidikan, maka sebelum diangkat, seorang calon hakim harus lulus pengabdian atau magang kerja sebagaimana ketentuan beberapa profesi lain."
  • Ketentuan Pasal 25 RUU ada catatan "apakah ketentuan Pasal 25 mengenai syarat diangkat sebagai ketua dan wakil ketua hanya berpengalaman 7 tahun sebagai hakim, jika tidak seperti ada putusan ketua pengadilan tinggi maka perlu disebutkan untuk melengkapi ketentuan pasal 25."
  • Ketentuan pasal 36 RUU ada catatan "perlu diatur ketentuan penerapan sanksi jika hakim melanggar larangan rangkap jabatan."
  • Ketentuan Pasal 38 RUU ada catatan "Penempatan hakim pertama harusjuga mempertimbangkan alokasi kebutuhan sehingga sesuai dengan kebutuhan peradilan dan tidak terjadi penumpukan dalam suatu wilayah tertentu," Agar singkron dengan Pasal 18.
  • Ketentuan Pasal 39 RUU ada catatan "Istilahnya teknis peradilan atau teknis yudisial sebab yang sering digunakan adalah istilah teknis yudisial agar sesuai dengan ketentuan di Pasal 50 yang juga menggunakan istilah yudisial."
  • Ketentuan Pasal 40 RUU ada catatan "Apakah hakim masih mengurusi administrasi peradilan, apakah tugas administrasi peradilan sebaiknya menjadi tugas panitera dan tenaga kesekretariatan peradilan."
  • Ketentuan Pasal 41 RUU ada catatan "Promosi hakim pertama oleh tim promosi perlu melibatkan unsur lain di luar MA sehingga lebih akuntabel dan fair, sebab status hakim sudah berbeda sebagai pejabat negara."
  • Ketentuan Pasal 43 RUU ada catatan "Pembinaan hakim tinggi sebaiknya melibatkan KY sehingga pembinaannya lebih simultan dan tidak semata-mata teknis yudisial saja. Sehingga ayat 2 tidak hanya dilakukan oleh MA."
  • Ketentuan Pasal 44 RUU ada catatan "agar konsisten dengan ketentuan penempatan hakim pertama, maka pertimbangan penempatan hakim tinggi tidak semata prestasi hasil pendidikan hakim dan pengembangan wawasan kebangsaan hakim.
  • Perlu pertimbangan kinerja dan pengamalan sebagai hakim pertama, perlu diperjelas yang dimaksud hasil pendidikan hakim apakah berarti ada pendidikan lanjutan bagi calon hakim tinggi.
  • Demikian apa yang dimaksud dengan pengembangan wawasan kebangsaan hakim, terutama terkait dengan batasan atau parameter penilaiannya."
  • Ketentuan Pasal 19 ayat 1 perlu diubah dengan menghilangkan frasa "dan KY". Hal ini untuk disesuaikan dengan Putusan MK yang pokoknya menegaskan bahwa KY tidak dapat terlibat dalam proses rekrutmen calon hakim pada tingkat pertama.
  • Ketentuan Pasal 24 RUU ada catatan "perlu dirumuskan ketentuan tambahan mengenai sistem aparatur yudikatif, sehingga pemahamannya lebih utuh dan mengalr runtut dengan ketentuan di atasnya. Ketentuan ayat 3 kalau sudah ada ketentuan PP maka dapat diangkat pokok-pokok materinya dalam RUU ini."
  • Perlu ada ketentuan peralihan untuk mengatur kondisi yang terjadi saat ini, terkait pelaksanaan pasal-pasal yang ada dalam UU ini.
  • Asas pembentukan PP yaitu RUU Jabatan Hakim secara garis besar memenuhi asas-asas pembentukan PP, namun berdasarkan kajian tersebut di atas RUU ini masih perlu penyempurnaan khususnya dari asas kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan.
  • Hal ini agar sesuai dengan Pasal 5 huruf a UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PP juncto Pasal 23 huruf a Peraturan DPR-RI tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU ini.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan