Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Usulan terhadap RUU Pertanahan — Komisi 2 DPR RI Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Guru Besar Hukum Agraria UI, Guru Besar IPB bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan dan Sumber Daya Alam (SDA), serta Guru Besar Hukum Agraria Universitas Padjadjaran

Tanggal Rapat: 3 Oct 2018, Ditulis Tanggal: 20 Jul 2020,
Komisi/AKD: Komisi 2 , Mitra Kerja: Prof. Dr. Budi Mulyanto, M.Sc - Guru Besar IPB bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan dan Sumber Daya Alam (SDA)

Pada 3 Oktober 2018, Komisi 2 DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Guru Besar Hukum Agraria UI, Guru Besar IPB bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan dan Sumber Daya Alam (SDA), serta Guru Besar Hukum Agraria Universitas Padjadjaran terkait usulan atau masukan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan. Rapat ini dipimpin dan dibuka oleh Herman Khaeron dari fraksi Demokrat dapil Jawa Barat 8 pukul 10:40 WIB. (ilustrasi: antarafoto.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Prof. Dr. Arie Sukanti Hutagalung - Guru Besar Hukum Agraria UI
  • Ada beberapa hal yang dituangkan dalam RUU Pertanahan yaitu land banking (bank tanah) peradilan pertanahan, hak masyarakat adat atas tanah ulayat; hak milik satuan rumah susun, dan sistem publikasi tanah dari negatif ke positif.
  • Salah satu tujuan bank tanah adalah (1) sebagai pengembangan lahan untuk meningkatkan nilai dan garansi; (2) mengendalikan keseimbangan antara kebutuhan dengan ketersediaan tanah; (3) mengendalikan mekanisme pasar tanah yang menjamin efisiensi dan rasionalitas harga; (4) mengefisienkan dan menjamin nilai tanah yang wajar serta adil; (5) memadukan kebijakan, strategi, implementasi dan evaluasi yang berkaitan dengan tanah. Namun, patut dipertanyakan pihak yang akan mengelola dan mendukungnya dengan baik.
  • Untuk peradilan pertanahan, sebaiknya kewenangan dilimpahkan pada Badan Penyelesaian Sengketa agar hasil yang diperoleh adil. Urgensi dibentuknya peradilan tanah karena jumlah sengketa semakin meningkat sementara kemampuan hakim untuk menyelesaikannya terbatas.
  • Mengenai tanah ulayat masyarakat adat, pokok permasalahan yang utama adalah perlunya tanah adat ini diatur dalam suatu perundang-undangan.
  • Tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan erat satu sama lain. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat sebagai suatu kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat.
  • Hak ulayat merupakan hubungan hukum (hak dan kewajiban) antara suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan suatu wilayah tertentu yang merupakan tanah ulayatnya yang merupakan lebens raum bagi para warganya sepanjang masa untuk mengambil manfaat dan sumber daya alam termasuk tanah yang ada di dalam tanah ulayatnya. Hubungan itu selain merupakan hubungan lahiriah, juga merupakan hubungan batiniah yang bersifat religio-magisch.
  • Selanjutnya, soal ulayat hak milik satuan rumah susun, hal ini masih dipertanyakan layak atau tidaknya masuk dalam RUU Pertanahan. Tujuan pembangunan rumah susun adalah (1) pemenuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat; (2) mewujudkan permukiman yang serasi, selaras, dan seimbang; (3) meremajakan daerah-daerah kumuh; (4) mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan; (5) mendorong permukiman yang berkepadatan tinggi.
  • Soal sistem publikasi dari negatif ke positif, perlu adanya perubahan. Apabila seseorang yang sudah lima tahun berturut-turut tinggal di tanah tersebut dan mengelolanya, maka ia adalah pemilik sah sehingga tanah tak perlu didaftarkan. Apalagi orang tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mendaftarkan tanahnya.
  • Mengenai reklamasi, pengaturan yang ada hanya mengenai tanah timbul. Namun belum adanya aturan soal tanah reklamasi yang direkayasa. Reklamasi akan berdampak positif apabila diatur dan dikontrol dengan tepat oleh pemerintah.

Dr. Ida Nurlinda, SH, MH - Guru Besar Hukum Agraria Universitas Padjadjaran
  • Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria di Pasal 1-15, pada awalnya dianggap prinsip negara dalam mengelola dan menguasai tanah. Namun setelah orde baru, UU ini hanya menjadi aturan semata yang mengatur mengenai tanah.
  • Dirinya menyetujui perlu adanya penguatan lembaga, tetapi perlu diingat bahwa RUU Pertanahan ini tidak bisa mengabaikan pengaturan yang telah ada karena hal tersebut dapat memicu konflik kewenangan.
  • Kewenangan pengawasan negara perlu diikuti dengan prinsip pengelolaan yang baik. Negara harus melihat permasalahan tanah ini sebagai hak bangsa. Tanah negara itu harus diluruskan posisinya karena seringkali yang menjadi masalah adalah penegaraan hak-hak tanah masyarakat adat.
  • Dalam RUU Pertanahan ini, masih mengedepankan hal sektoral dan menyalahartikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) serta menjadi kesalahan besar apabila HPL disejajarkan dengan Hak Guna Bangunan (HGB).
  • Soal luas minimum kepemilikan tanah, hal ini sudah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Terkait hak ulayat, seharusnya ada harmonisasi dengan aturan perlindungan dan pengakuan masyarakat hak adat. Pengakuan dan perlindungan itu harus diwujudkan sebagai pluralisme hukum yang lemah. Maksudnya adalah harus meletakan norma hukum adat dalam peraturan daerah tetapi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip UU Nomor 5 Tahun 1960 dan RUU Pertanahan yang ada.
  • Pengukuran tanah adat harus memperhatikan budaya dan kearifan lokal masyarakat adat. Hal yang penting dalam RUU Pertanahan adalah restrukturisasi reforma agraria yang ada. Reforma agraria jangan hanya menjadi distribusi tanah dan pengelolaan aset, lalu juga perlu ada penentuan subjek dan objek.
  • Mengenai publikasi tanah, hal yang terpenting adalah penyajian sistem informasi yang akurat dan menimbulkan kepercayaan hukum. Lalu, apabila pendaftaran tanah ini meliputi kawasan hutan dan pesisir, maka perlu ada pengaturan mekanisme pengelolaan dan pihak yang berwenang.
  • Soal mekanisme perizinan, hal ini berpotensi merusak sistem hukum agraria sehingga perlu dipertanyakan logika hukumnya.
  • Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan karena ada pengaturan mengenai larangan alih fungsi lahan.
  • Soal peradilan tanah, memang perlu kehadirannya namun jangan hanya menjadi keranjang sampah saja. Lalu terkait bank tanah, patut dipertanyakan urgensinya dan sebaiknya hanya HPL yang berada di dalamnya.

Prof. Dr. Budi Mulyanto, M.Sc - Guru Besar IPB bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan dan Sumber Daya Alam (SDA)
  • UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria tak dapat dicabut karena mengatur alam dengan kebutuhan rakyat. Memang ada beberapa hal dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tak berjalan baik seperti hak guna air, namun aturan ini telah menghubungkan sumber daya alam dengan kebutuhan masyarakat. Apabila UU Nomor 5 Tahun 1960 dicabut, maka akan menjadi malapetaka.
  • Mengenai definisi pertanahan dalam draft RUU Pertanahan, aturan ini harus dapat berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Adanya RUU Pertanahan ini diharapkan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya atas tanah dasar laut dapat memperoleh hak dan pemberdayaan layak.
  • Soal hak guna ruang atas-bawah tanah, akibat tidak adanya pemahaman atas permukaan bumi, ini dapat menimbulkan konflik dalam pengelolaan tanah.
  • Lalu dalam draft RUU Pertanahan, belum adanya poin soal nilai tanah padahal pemahaman ini penting agar saat tanah berinteraksi atau digunakan maka memiliki nilai ekonomi dan sosial.
  • Soal reforma agraria dan bank tanah, sebenarnya merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
  • Terkait teknis pendaftaran tanah, partisipasi masyarakat penting untuk mendukung pelaksanaan yang maksimal. Lalu analisis hubungan hukum antara tanah dengan subjek belum dapat ditangani secara baik.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan