Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) – Komisi 8 DPR RI Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)

Tanggal Rapat: 3 Oct 2018, Ditulis Tanggal: 23 Apr 2020,
Komisi/AKD: Komisi 8 , Mitra Kerja: Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)

Pada 3 Oktober 2018, Komisi 8 DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Rapat ini dibuka dan dipimpin oleh Marwan Dasopang dari fraksi PKB dapil Sumatera Utara 2 pukul 10:42 WIB

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Majelis Ulama Indonesia (MUI)
  • Secara filosofis RUU ini memiliki tujuan yang mulia, yaitu melindungi martabat manusia dari ancaman kekerasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945, khususnya berkaitan dengan ketentuan yang mengatur perlindungan hak asasi manusia.
  • Secara sosiologis, RUU ini dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya kekerasan seksual di Indonesia yang secara statistik masih cukup tinggi dan cenderung meningkat.
  • Secara yuridis, diperlukan penguatan dari aspek regulasi agar upaya pencegahan dan pemberantasan kekerasan seksual memiliki payung hukum yang kuat mulai dari pencegahan, perlindungan, pemulihan korban dan penindakan pelaku, serta pemidanaan yang dilakukan secara komprehensif dan sistematis.
  • Definisi ‘kekerasan seksual” perlu dirumuskan kembali karena pengertian yang ada masih terlalu luas dengan cakupan tindakan yang bersidat alternatif atau kumulatif terutama berkaitan dengan frasa “yang berakibat atau dapat berakibat” kesengsaraan kerugian penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. Frasa “dapat berakibat” mempunyai pengertian yang sangat luas karena sifatnya dapat berupa suatu potensi yang belum pasti sehingga rumusan ini perlu disempurnakan agar tidak multi tafsir, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
  • Ketentuan draft Pasal 11 ayat (2) berkenaan dengan bentuk /jenis kekerasan seksual perlu ditinjau kembali karena dapat menimbulkan kesulitan dalam implementasinya, khusus berkaitan dengan lingkup kekerasan penegakannya. Beberapa di antaranya adalah bentuk kekerasan seksual berupa “pemaksaan alat kontrasepsi” dan “pemaksaan perkawinan”. Khusus bentuk kekerasan seksual “pemaksaan perkawinan” akan bersinggungan dengan prinsip-prinsip dalam norma agama.
  • Ketentuan tentang pembentukan lembaga “Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam pelaksanaan pemantauan penghapusan Kekerasan Seksual” dalam Pasal 81 dan ketentuan tentang tugas dan kewenangan lembaga ini dalam Pasal 82 perlu dipertimbangkan kembali urgensi agar tidak tumpang tindih dengan kelembagaan yang sudah ada baik di Kementerian maupun kelembagaan Penegakan Hukum.
  • Ketentuan Pidana dalam RUU ini yang menyimpangi ketentuan dalam KUHP perlu disinkronisasi. Sebab pada saat yang sama DPR juga sedang menyusun RUU KUHP yang didalamnya juga mengatur masalah ini seperti dalam Pasal 681 huruf g, dan Pasal 682 huruf ee sampai dengan jj RUU KUHP. Ancaman hukumanya berbeda sehingga menimbulkan potensi penggunaan pilihan hukum yang merugikan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
  • Dengan berbagai catatan dan pandangan tersebut, maka MUI mendukung RUU ini namun harus dibahas secara cermat dan hati-hati dan perlu sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain yang setingkat dan yang lebih tinggi serta sesuai dengan nilai dan prinsip ajaran agama yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
  • Perlu dirumuskan definisi yang jelas dan tegas tentang kekerasan seksual sesuai dengan prinsip-prinsip syariah untuk disampaikan kepada DPR sebagai bahan penyempurnaan RUU Penghapusan Kekerasan seksual sebelum disahkan.
  • Pemerintah dan DPR mengutamakan aspek preventif terhadap hal-hal yang menimbulkan rangsangan seksual dan upaya pencegahannya, antara lain tentang berbusana yang menimbulkan peluang terjadinya tindak kekerasan seksual.
  • Istilah kekerasan seksual diubah menjadi kejahatan seksual.

Persekutuan Gereja Indonesia (PGI)
  • Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas. Hal ini disebabkan karena adanya ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender yang mengakibatkan adanya penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial-budaya, dan politik.
  • Kekerasan seksual termasuk sebagai kejahatan kemanusian dan tindakan kriminal.Kekerasan seksual tidak selalu berupa perilaku yang langsung mengarah pada fungsi reproduksi, misalnya pelecehan seksual yang dapat berupa tindakan verbal seperti melalui perkataan yang merendahkan atau memperlihatkan gambar-gambar pornografi. Prinsipnya, perilaku tersebut mengarah pada aktivitas seksual yang tidak diinginkan. Hal yang sama juga pada pemaksaan perkawinan yang mengarah pada hubungan seksual yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak. Ada pihak yang dirugikan dari setiap tindakan kekerasan seksual, termasuk dalam pemaksaan perkawinan.
  • Merujuk pada UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, maka yang masuk dalam kategori penyiksaan seksual adalah apabila perbuatan yang melibatkan satu atau lebih bentuk lain/ memperoleh pengakuan atau keterangan dari korban, saksi, atau dari orang ketiga lebih bentuk/jenis kekerasan seksual, ditujukan untuk :
    • Memperoleh pengakuan atau keterangan dari korban, saksi atau dari orang ketiga dan/atau;
    • Memaksa korban, saksi atau dari orang ketiga untuk tidak memberikan keterangan; dan/atau;
    • Menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan martabatnya; dan/atau;
    • Tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi.
  • Menyikapi permasalahan atau kasus Kekerasan Seksual, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sejak 2017 mendorong sinode/gereja mendirikan Women Crisis Center (WCC), sehingga jika terdapat kasus kekerasan–gereja melalui WCC mampu memberikan perlindungan dan pendampingan hukum. Kedepan jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan oleh pemerintah, PGI akan memfasilitasi gereja-gereja anggotanya untuk dapat membangun sinergi dengan stakeholders.
  • Dari pengalaman memberikan layanan terhadap korban Kekerasan seksual tersebut PGI merasakan dan memandang :
    • Dibutuhkan payung hukum untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual bagi perempuan dan anak, mengingat sejauh ini penanganan perkara kekerasan seksual belum ada rujukan yang memberi perlindungan hukum bagi korban.
    • Untuk memastikan terlaksananya peraturan ini dengan baik kedepan, kami mengusulkan penguatan pada pasal yang mengatur tentang peran serta organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan dan organisasi lainnya untuk mengupayakan pencegahan, pemulihan, penanganan dan penegakan hukum dan pemantauan.
  • Untuk menangani kasus kasus seperti itu, RUU haruslah mencakup, mengatur, bernuansa, berorientasi sebagai berikut :
    • RUU mengatur secara tegas dan jelas tentang dimensi pencegahan, pemulihan, pemantauan dan sembilan jenis kekerasan, ketentuan pidana, hukum acara.
    • RUU ini merupakan UU khusus sehingga perlu mencakup secara lengkap hukum material dan formil.
    • Sebaiknya azas yang disebut dalam UU pembentukan peraturan perundangan dicakup dan mendasari seluruh pasal pasal dalam RUU ini terutama azas non diskriminasi yang berarti berlaku untuk semua pelaku atau korban tidak peduli suku agama atau jabatan.
    • Sebaiknya RUU ini memuat azas keberlakukan personalitas yaitu bahwa RUU ini bisa diberlakukan tehadap siapapun warga Indonesia dan dimanapun baik korban maupun pelaku.

Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi)
  • RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus berisi substansi yang meliputi: upaya pencegahan kekerasan seksual, perubahan hukum acara, bentuk bentuk pemidanaan terhadap pelaku kekersan seksual, sistem pemulihan korban, perumusan pengaturan jenis jenis kekerasan seksual, pemantauan pelaksanaan RUU Penghapusan kekerasan seksual.
  • Mendukung perumusan payung hukum nasional yang melindungi korban kekerasan seksual secara umum untuk untuk perempuan dan anak secara khusus dari segala jenis tindakan kekerasan seksual.
  • Mendukung korban kekerasan seksual membutuhkan penanganan dan pemulihan komprehensif.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)
  • Definisi Kekerasan Seksual agar disederhanakan menjadi: “Perbuatan seksual yang mengarah kepada fungsi dan/atau alat reproduksi dan/atau seksualitas seseorang, secara paksa dan/atau bertentangan dengan kehendak seseorang, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis dan seksual, serta merugikan secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
  • Penjabaran bentuk-bentuk kekerasan seksual dan definisi masing-masing perlu diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan rumusan yang jelas, tidak multitafsir, tidak menjerat orang yang bukan pelaku, tidak menjerat orang yang dalam posisi al mukrah (dipaksa oleh pelaku/orang) dan al-madhghuth (terpaksa oleh sistem).
  • RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak cukup hanya mengatur pencegahan karena pencegahan saja tidak mampu mengatasi kekerasan seksual yang sudah terjadi dan dampak (mafsadat) yang ditimbulkannya, dari segi fisik, sosial, ekonomi, moral, spiritual, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
  • RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu mengatur aspek hukum acara yang memudahkan pihak yang terdzolimi (korban, keluarga korban, dan pendamping korban) mendapatkan hak-haknya. Menghadirkan hukum acara yang menjamin mudahnya akses keadilan adalah sebuah kewajiban karena hukum acara itu adalah sarana mewujudkan keadilan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kaidah maa laa yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (apa yang tidak dapat menyempurnakan kewajiban kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib).
  • RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu mengatur pemantauan karena negara sebagai ulil amri bertanggung jawab memastikan berjalannya perlindungan setiap warga negara dari kekerasan seksual melalui melalui Lembaga Nasional HAM yang mempunyai mandat spesifik penghapusan kekerasan terhadap perempuan, setidaknya karena empat alasan sebagai berikut:
    • Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban dari pada laki-laki karena sistem sosial yang ada menjadikan laki-laki sebagai subjek dalam perbuatan seksual;
    • Budaya di masyarakat masih menganggap bahwa urusan seksual adalah urusan perempuan;
    • Secara biologis perempuan lebih mudah dikenali sebagai pelaku dalam perbuatan seksual karena jejak biologisnya, sementara laki-laki tidak memiliki jejak biologis setelah melakukan perbuatan seksual;
    • Dalam pelaksanaannya lembaga HAM yang mempunyai mandat dapat berkoordinasi dengan lembaga lain agar mekanisme pemantauan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
  • RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu mengatur ketentuan pidana yang tidak menghukum korban, tidak menghukum yang bukan pelaku, mempertimbangkan aspek penjeraan pelaku (az zajru) dan pemulihan bagi korban (al-jabru). Pemulihan korban sangat perlu diatur secara khusus karena pemulihan korban belum ada aturan spesifik dalam peraturan perundang undangan yang sudah ada.
  • Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual penting sebagai instrumen membangun peradaban bangsa yang berkemajuan dan berkeadilan bagi seluruh warga negara agar bebas dari segala bentuk kedzoliman termasuk kekerasan dan diskriminasi, sejalan dengan kearifan nusantara yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai implementasi nilai-nilai ke-tauhid-an.
  • Sebagai salah satu bagian dari komponen hukum, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan mengisi kekosongan hukum di Indonesia terkait perlindungan masyarakat dari kekerasan seksual. Hal ini akan memudahkan aparatur penegak hukum menjerat pelaku kekerasan seksual. Pengesahan RUU ini menjadi UU juga akan berkontribusi pada lahirnya budaya baru yang lebih adil dan beradab dalam melihat persoalan kekerasan seksual dan dampaknya bagi korban, keluarga, komunitas, dan negara. Masyarakat dengan budaya baru ini, akan melahirkan aparatur penegak hukum dan juga penyelenggara negara yang berperspektif keadilan gender dan memiliki keberpihakan pada korban dalam menyikapi persoalan kekerasan seksual.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan